Thursday, January 7, 2016

Optimus Patter

OPTIMUS PATTER


Srrk... kedua mata mungil yang semula terpejam kini terlihat mulai bergerak. Gadis cantik berusia tujuh tahun itu terbangun sempurna saat seorang laki-laki dengan kaca mata minus mengguncangkan tubuh mungilnya. Memintanya untuk terbangun.
"Ayah." Suara gadis kecil itu terdengar parau dan lebih cenderung serak. Laki-laki yang di panggil Ayah itu tersenyum dan mengusap pelipis gadis kecil kesayangannya itu.
"Selamat pagi Princess Aurora Ayah?"
Gadis kecil itu tersenyum lebar saat sapaan pagi itu kembali ia dengar. Sapaan yang selalu ia dengar sejak tiga tahun yang lalu. Gadis itu beranjak dari duduknya dan mengucek kedua matanya yang terasa kering dan diakhiri dengan menguap yang hasilnya membuat Ayahnya tersenyum.
"Selamat pagi juga pangeran princess Aurora." Balas gadis kecil itu.
Ayahnya tersenyum dan memberikan kecupan manis di kening putri kecilnya. "Tadi malam ada mimpi apa?" Tanyanya.
Gadis kecil itu terdiam sejenak. Menatap dalam mata Ayahnya dan kemudian tersenyum manis. Beranjak sedikit dan mencium pipi Ayahnya.
"Semalam Naina mimpi indah, Yah." Jawab gadis yang bernama Naina. Naina Dhiafakhri.
"Oh iya? Mimpi apa? Cerita dong sama Ayah."
Naina tersenyum. Melirik jam weker di atas nakas dan ia pikir ia masih punya cukup waktu untuk bercerita sebelum ia bersiap untuk pergi sekolah. Naina kembali menatap Ayahnya yang masih menunggunya untuk bercerita.
"Naina mimpi, Bunda." Ucap Naina mengawali ceritanya.
Ayahnya yang semula tersenyum. Kini terdiam. Senyumnya sedikit luntur dan hanya menyisakan senyum samar yang nyaris tak terlihat.
"Naina mimpi kalau keluarga kayak dulu lagi. Ayah, Bunda, dan Naina. Kita ketemu setiap pagi. Nemenin Naina main. Nemenin Naina belajar. Jalan bareng. Foto bareng. Seru-seruan bareng. Di dalam mimpi Naina. Bunda masih baik. Gak kayak sekarang. Bunda jahat, gak mau ngurusin Naina lagi. Di mimpi Naina. Setiap pagi yang nyiapin sarapan itu Bunda, bukan Ayah-"
"Cukup!" Naina menghentikan ucapannya dan menunduk. Ia tahu Ayahnya tidak suka ia menceritakan ini.
"Apa ini mimpi yang sama dengan mimpi-mimpi sebelumnya?" Tanya Ayahnya. Dan Naina mengangguk dengan kepala menunduk.
Gadis kecil itu memejamkan matanya saat merasakan nafasnya mulai tercekat. Terlebih saat bayangan wajah cantik Bunda-nya melintas di kepala cantiknya.
"Naina cuma mau Bunda kayak dulu, Yah. Peduli Naina. Peduli sama Ayah. Jujur, Naina kangen sama Bunda, Yah." Lirih Naina.
Laki-laki yang berstatus sebagai Ayahnya itu mengerti. Menarik Naina kedalam pelukannya dan berusaha menghentikan tangisan yang mulai terpancing keluar dari bibir mungil Naina. Ia tidak pernah bisa melihat malaikat kecilnya yang cantik ini menangis.
"Ada Ayah, sayang. Jangan nangis ya? Bunda cuma lagi sibuk. Makanya dia gak bisa nemeni Naina setiap saat kayak Ayah nemenin Naina." Bisiknya.
***
Naina menuruni tangga dengan wajah murung seperti biasa. Sekarang ia sudah rapi dengan seragam sekolah dan rambutnya yang panjang di gerai dengan hiasan bandana pita pink yang cantik.
Langkah kaki nungilnya terhenti saat sampai di anak tangga terakhir. Matanya menatap sendu kearah meja makan. Memperhatikan Ayahnya yang sibuk menyiapkan roti untuk bekalnya di sekolah.
"Sayang? Ayo sini. Ayah udah bikin susu kesukaan kamu. Habisin ya? Habis itu kita berangkat. Ayah gak bisa lama-lama. Ayah ada client di kantor."
Naina tidak membalas senyuman Ayahnya. Hanya mengangguk dan segera melangkah menghampiri Ayahnya. Naina bisa melihat wajah lelah Ayahnya saat ini. Tanpa berucap apapun Naina meraih gelas berisi susu putih di atas meja dan segera meminumnya sampai habis.
"Ini bekal-nya ya? Ayah bawain banyak. Kamu bilang kan temen kamu suka minta. Ayah gak mau anak Ayah kelaparan karna rotinya cuma sedikit. Jadi Ayah buatin lebih banyak."
Naina masih menatap sendu Ayahnya yang kini mulai memasukkan kotak makanan berisi roti ke dalam sebuah tas kecil. Lalu merapikan dasinya dan meraih tas kerja.
"Kita berangkat sekarang."
Naina merasa pertahanan kelopak matanya rapuh dan membiarkan air sialan itu turun. Rasanya tidak tega melihat Ayahnya seperti ini. Jarang istirahat. Harus antar jemput sekolah. Belum lagi pekerjaan rumah yang minta di jamah.
"Ayah. Terima kasih." Naina mengucapkannya dengan suara tercekat dan menghambur memeluk Ayahnya.
"Sama-sama princess Ayah. I love you."
Naina hanya mengangguk dan mengeratkan lingkaran tangannya di leher sang Ayah. Membiarkan Ayahnya mengangkat tubuh mungilnya untuk menuju garasi dan mengantarnya kesekolah sebelum Ayahnya pergi ke kantor.
***
"Presentasi yang luar biasa. Anda benar-benar luar biasa Manager (namakamu)."
Wanita yang di sebut (namakamu) itu tersenyum dan mengucapkan banyak terima kasih karna presentasinya untuk proyek pembangunan mall di terima dengan baik.
Rapat ini selesai dengan sangat sukses. (Namakamu) segera mengemasi peralatannya dan melangkah keluar. Jabatannya sebagai Manager MS Group membuatnya di hormati banyak orang. Sifatnya yang tegas dan profesional banyak menerima decak kagum dan acungan jempol.
"Manager (Namakamu)!"
Langkah (namakamu) yang anggun terhenti saat sebuah suara menyerukan namanya dengan sangat lantang dan jelas. (Namakamu) memutar tubuhnya untuk melihat siapa pemilik suara itu.
"Ada yang bisa saya bantu?" Tanya (namakamu) saat langkah seorang... gadis. Berhenti di hadapannya.
Gadis itu tersenyum. "Anda Manager (namakamu)?" Tanya gadis itu.
"Iya. Ada apa?" (Namakamu) kembali bertanya.
Gadis itu tidak langsung menjawab. Gadis itu semula mengulum senyumnya semakin lebar lalu mengulurkan tangannya. "Saya Steffi. Sekertaris baru pak Iqbaal. Suami Anda." Ucap gadis itu.
(Namakamu) tidak memasang senyumnya. Bahkan matanya hanya sekali melirik tangan Steffi yang masih menunggu jabatan tangannya. Hingga Steffi kembali menarik tangannya setelah faham kalau (namakamu) tidak akan menerima salam perkenalan darinya.
"Saya sangat mengagumi Anda. Saya datang kesini hanya untuk meminta tanda tangan Anda. Anda inspirasi saya dalam hal bekerja. Boleh kah saya mendapat tanda tangan Anda?" Tanya Steffi.
(Namakamu) hanya menganggukkan kepalanya dan meraih bolpoin. Lalu menggoreskan tanda tangannya pada kertas yang sudah Steffi siapkan.
"Kalau sudah tidak ada yang di bicarakan saya permisi." (Namakamu) memutar tubuhnya hendak pergi.
"Tunggu!" (Namakamu) menghela nafas saat Steffi menghentikan langkahnya lagi.
"Bukankah suami Anda pemilik perusahaan Dhiafakhri Group? Kenapa Anda bekerja untuk MS Group? Bukankah perusahaan suami Anda juga sedang berkembang pesat? Bahkan Dhiafakhri Group menempati urutan ketiga sebagai perusaha maju di Indonesia? Kenapa Anda memilih menjadi Manager MS Group?"
Pertanyaan Steffi membuat (namakamu) memejamkan matanya. Dengan sekali bergerak (namakamu) memutar tubuhnya dan menatap Steffi yang kini masih menatapnya dengan tatapan meminta penjelasan.
"Saya dan suami saya memiliki karir yang berbeda. MS Group memiliki pandangan yang berbeda dengan Dhiafakhri Group. Dan saya lebih nyaman berada di sini. Perlu Anda tahu Nona Steffi. Saya dan suami saya itu memiliki pola pikir yang berbeda, tujuan hidup yang berbeda, cara kerja yang berbeda. Kalau saya bekerja di perusahaan suami saya. Semua orang hanya akan menganggap saya sebagai nyonya besar atau istri direktur dan itu tidak membuat saya nyaman. Semua tentang saya dan suami saya itu berbeda. Hanya satu dari kami yang sama... hati. Permisi."
Steffi cukup tercengang mendengar jawaban (namakamu). Semua dalam dirinya dan Iqbaal berbeda? Hanya hati yang sama? Cukup romantis. Tapi lebih cenderung miris. Steffi meringis saat menatap kertas berisi tanda tangan (namakamu) yang terukir dengan sangat apik. Lalu matanya kembali menatap punggung (namakamu) yang kini sudah mulai menjauh.
***
Iqbaal membenarkan posisi kaca matanya. Kembali membuka berkas dan mulai menatap layar monitor di hadapannya. Sampai fokusnya pecah saat ponselnya bergetar.
"Hallo?"
'Aku pulang malam. Ada meeting sama client penting. Bilang sama Naina aku mencintainya.'
Tuut tuut tuut... Iqbaal menghela nafas. Selalu seperti ini. Setelah selesai berbicara wanita itu langsung mematikan sambungan telfonnya. Dan ia selalu berucap seperti ini setiap harinya. Iqbaal bahkan sampai hafal kata-kata itu di luar kepala.
'Sampai kapan kamu kayak gini, (namakamu)? Aku cuma gak tega sama Naina. Dia pengen kamu ada saat dia lagi masa pertumbuhan dan saat ia belajar. Dia merindukan Bundanya.'
Iqbaal menghela nafas. Melepaskan kaca matanya dan mengurut pelan tulang hidung di antara kedua alisnya. Merasakan kepalanya pening memikirkan perasaan Naina yang mungkin akan kembali kecewa karna Bundanya tidak akan pulang sebelum Naina tertidur.
Clek! Iqbaal segera mengenakan kaca matanya saat seseorang memasuki ruangannya. Yang pasti bukan sembarang orang. Iqbaal tersenyum saat laki-laki itu duduk di hadapannya.
"Apa kabar Bang Kiki?" Tanya Iqbaal seraya menegakkan duduknya.
"Setiap hari lo nanyain itu. Kenapa? Ada masalah?" Tanya Kiki yang melihat Iqbaal tampak kusut hari ini. Terlebih mata pandanya semakin hari semakin terlihat.
"Biasa lah." Jawab Iqbaal seraya tersenyum tipis.
Kiki menghela nafas. Menyandarkan punggungnya dan memperhatikan langit-langit ruang kerja Iqbaal.
"Bang? Nanti lo bisa bantuin gue?" Tanya Iqbaal.
Kiki mengalihkan pandangannya kembali menatap Iqbaal dengan alis terangkat. Meminta Iqbaal mengatakan bantuan apa yang bisa ia lakukan untuk Iqbaal.
"Jemput Naina di sekolah ya? Gue capek banget. Nanti lo bawa aja Naina kesini. Biar nanti dia pulang bareng sama gue setelah kerjaan gue selesai." Ucap Iqbaal.
"Cuma itu? Okey. Gak masalah gue jemput Naina. Gue juga udah kangen banget anak lo yang satu itu."
Iqbaal hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih saat Kiki mengatakan ia sanggup untuk menjemput Naina sekolah. Iqbaal menengadahkan kepalanya dan menghela nafas panjang. Lalu memejamkan matanya. Merasakan seluruh badannya yang terasa remuk.
***
Kiki bersandar pada badan mobilnya. Bersindekap dada dan memperhatikan para ibu-ibu muda yang baru saja menjemput anak-anaknya. Kiki menyipitkan matanya untuk mencari Naina.
Dan beberapa detik kemudian matanya menangkap sosok gadis kecil yang cantik tengah melangkahkan kakinya dengan wajah murung. Tangan mungilnya menenteng tas biru berisi bekal yang di siapkan Ayahnya tadi pagi. Kiki hanya tersenyum tipis melihat tatapan berkaca yang di tujukan pada teman-teman sebayanya yang tengah bergandengan tangan ibunya masing-masing.
"Naina!"
Suara teriakan Kiki mampu membuat Naina mengalihkan pandangan padanya. Tatapannya masih sama tapi langkahnya tertuju pada Kiki. Dan Kiki tersenyum saat Naina sudah berada di hadapannya.
"Tos dulu." Seperti biasa. Kiki selalu mengajak Naina untuk tos ketika mereka bertemu.
"Paman? Bunda udah pulang?" Tanya Naina.
Kiki bisa mendengar jelas suara tercekat Naina. Dengan seutas senyum. Kiki mengusap pipi Naina yang lembut.
"Yang harus Naina tahu. Bunda pasti pulang. Sekarang, Naina harus ikut paman kekantor Ayah. Ayah udah nungguin Naina di sana." Ucap Kiki.
Naina memasang wajah yang lebih murung. Hampir setiap hari ia tidak melihat wajah Bundanya lagi sejak dua tahun lalu. Kalau pun sempat bertemu. Itu kalau Bundanya pulang sebentar untuk mandi dan kembali pergi dengan alasan meeting.
"Naina jangan sedih. Masa princess-nya Paman sedih sih? Gini deh, paman beliin ice cream yuk? Berapapun Naina minta. Paman beliin."
Naina menggelengkan kepalanya. "Naina mau ketemu Ayah aja." Lirih Naina.
Kiki menelan ludahnya saat Naina mengucapkan itu dan segera membuka pintu mobil. Kiki bisa melihat seberapa besar kesedihan yang terpancar di raut wajah Naina. Gadis kecil yang sangat merindukan Bundanya yang lebih memilih sibuk dengan pekerjaan.
Kiki melepaskan nafas beratnya dan segera berlari kecil menuju kemudi mobil. Mengantarkan Naina ke kantor Iqbaal dan membiarkan Naina beristirahat di sana sampai jam kerja Iqbaal selesai.
Kiki menelan ludahnya saat Naina mengucapkan itu dan segera membuka pintu mobil. Kiki bisa melihat seberapa besar kesedihan yang terpancar di raut wajah Naina. Gadis kecil yang sangat merindukan Bundanya yang lebih memilih sibuk dengan pekerjaan.
Kiki melepaskan nafas beratnya dan segera berlari kecil menuju kemudi mobil. Mengantarkan Naina ke kantor Iqbaal dan membiarkan Naina beristirahat di sana sampai jam kerja Iqbaal selesai.
***
Naina terlihat sibuk dengan buku gambar di pangkuannya dan sekotak pensil warna. Naina beberapa kali menarik nafas panjang dan melirik Ayahnya yang sibuk dengan pekerjaannya.
"Hai?"
Naina mengangkat wajahnya saat mendengar suara bisikan. Naina hanya tersenyum tipis saat melihat gadis cantik di hadapannya. Gadis cantik yang setiap hari bertemu dengannya dan memberinya cokelat. Si sekertaris. Steffi.
"Tante punya sesuatu buat Naina." Bisik Steffi yang sesekali melirik kearah Iqbaal. Berharap Ayah Naina itu tidak melihatnya yang tengah bersama Naina.
"Apa Tante?" Tanya Naina.
Steffi tersenyum. Mulai menarik kedua tangannya yang tersembunyi di balik punggungnya. Steffi semakin mengembangkan senyumnya saat melihat Naina membulatkan matanya dan perlahan mulai mengukir senyum manis.
"Naina suka panda kan?" Tanya Steffi.
Steffi mengulurkan tangannya untuk menyerahkan hadiah darinya. Satu buah boneka panda berukuran tanggung dengan tangan kanan yang tengah memegang bambu muda dan satu helai daun bambu.
"Suka banget Tante. Ini buat Naina?" Tanya Naina yang kini memeluk boneka panda pemberian Steffi setelah yakin kalau Steffi menganggukkan kepalanya.
"Tadi Tante gak sengaja lewat toko boneka. Terus Tante liat boneka ini. Dan Tante inget kalau Naina itu suka panda, jadi Tante beliin buat Naina." Ucap Steffi.
Naina tersenyum dan semakin erat memeluk boneka pandanya yang baru. Dan dengan ini koleksi boneka pandanya bertambah. "Makasih ya Tante?" Ucap Naina. Tak lupa di akhiri dengan kecupan manis untuk Steffi di pipi kanan.
"Sama-sama, sayang." Steffi merasa puas karna bisa membuat Naina tersenyum dan menghilangkan raut wajah murung yang setiap saat menghiasi wajah manis Naina karna terlalu merindukan Ibunya.
"Tante? Nanti mau gak nemenin Naina beli ice cream? Naina bosen di sini nungguin Ayah." Tanya Naina.
Steffi melirik ke arah Iqbaal yang masih sibuk dengan berkas-berkasnya dan kembali menatap Naina. Steffi hanya meminta Naina untuk ijin pada Iqbaal untuk pergi bersama. Dan setelah itu Steffi pasti akan menemani Naina kemana pun gadis kecil itu mau pergi.
***
(Namakamu) tersenyum manis saat laki-laki yang menjadi atasannya itu menarik kursi untuknya dan memintanya duduk. "Mau pesen apa?"
(Namakamu) melirik daftar menu di hadapannya. Hampir satu menit (namakamu) sibuk memilih makanan yang menarik untuknya.
"Kayak biasa aja deh." Ucap (namakamu) yang akhirnya memilih menu yang biasa ia pesan saat berada di sini.
Laki-laki itu menganggukkan kepalanya. Ia sudah tahu apa yang (namakamu) mau. Dengan cepat ia memanggil pelayan dan memesankan makanan untuk wanita cantik di hadapannya.
(Namakamu) mengedarkan pandangannya sembari menunggu pesanannya datang. (Namakamu) menatap keluar resto. Tepatnya menatap kedai ice cream seberang jalan. (Namakamu) menyipitkan matanya. Seperti ada menganggu penglihatannya saat ini.
"Kenapa, (namakamu)?" Tanya laki-laki di hadapan (namakamu).
"I-itu... itu kayak Naina." Ucap (namakamu) sembari menunjuk pada gadis kecil yang kini melangkah keluar dari kedai ice cream bersama seorang gadis. Mereka tertawa dengan riang. Dan itu membuat (namakamu) merasakan suatu sensasi di dalam dadanya.
"Sekertaris Steffi." Desis (namakamu).
"Kamu kenal sama perempuan itu?"
(Namakamu) mengalihkan pandangannya kearah laki-laki di hadapannya dan segera mengangguk. "Sekertaris Iqbaal. Suamiku." Jawab (namakamu).
(Namakamu) kembali menatap kearah Steffi yang masih melangkah dengan menggandeng tangan Naina dan tampak membicarakan sesuatu yang lucu dan membuat mereka tertawa bersama. Percaya atau tidak. Hal ini tidak pernah (namakamu) lakukan bersama Naina.
***
Iqbaal melonggarkan dasi yang terasa mencekik lehernya. Meletakkan tas kerjanya diatas nakas dan melepas sepatunya. Iqbaal merasa seluruh tubuhnya remuk. Iqbaal tidak pulang bersama Naina. Gadis kecil itu mengaku sudah di telfon Ibu-nya dan akan pulang bersama (namakamu).
Sebenarnya Iqbaal tidak yakin kalau (namakamu) akan menjemput Naina di kantor. Tapi untungnya ada Steffi yang mau menemani Naina sampai (namakamu) datang. Dan Naina mengatakan ia akan aman jika bersama Steffi lalu meminta Iqbaal untuk segera pulang.
Iqbaal baru saja merebahkan tubuhnya di atas kasur saat mendengar suara gaduh dari lantai bawah. Iqbaal memejamkan matanya dan mendengus kesal. Tidak bisakah ia beristirahat sebentar? Paling tidak sepuluh menit. Agar tubuhnya kembali rileks.
Suara gaduh itu membuat Iqbaal mengacak rambutnya dengan kesal dan segera beranjak turun dan melihat apa yang terjadi. Sebelumnya Iqbaal melepas dasi dan membuka kancing teratas kemejanya untuk mengusir hawa panas yang membuatnya semakin merasa lelah.
"Naina cuma beli ice cream sama Tante Steffi apa itu salah?"
Iqbaal menuruni tangga sedikit lebih cepat setelah mendengar suara Naina yang bergetar. Iqbaal bisa melihat (namakamu) menatap tajam Naina dan mencengkram tangan mungil putrinya.
"Tapi Bunda gak suka kamu deket sama dia! Kamu itu anak Bunda anak Tante Steffi. Dan kamu bisa kan beli ice cream sama Bunda atau Ayah? Jangan sama Tante Steffi!" Ucap (namakamu). Nadanya cukup tinggi dan membuat Naina menyipitkan matanya untuk menahan tangisnya melihat Ibunya semarah ini hanya karna ia dekat dengan Steffi.
"Naina mau beli ice cream sama Bunda. Tapi Bunda yang gak pernah mau nemenin Naina beli ice cream. Bunda selalu sibuk dan gak pernah peduli sama Naina-"
Naina memejamkan matanya saat melihat tangan (namakamu) mulai terangkat ke udara dan membuat kata-katanya terhenti.
"Cuma masalah kecil. Gak usah di besar-besarin."
Naina membuka matanya. Melihat Ayahnya sudah berdiri di sampingnya dan menurunkan tangan Ibunya yang tadi terangkat. Naina melangkah semakin dekat dengan Iqbaal. Bersembunyi di balik tubuh Iqbaal dan semakin erat memeluk boneka pemberian Steffi tadi siang.
"Jangan pernah deketin anak aku sama perempuan lain! Aku gak mau kalau Naina sampai sayang sama perempuan lain selain aku!" Ucap (namakamu) tegas.
"Naina cuma butuh figur Ibu. Dan aku gak bisa liat dia murung setiap hari. Cuma Steffi yang bisa buat dia senyum. Kamu harusnya sadar. Kamu Ibunya. Tapi kamu gak pernah pernah punya waktu buat Naina. Kamu lebih mentingin pekerjaan di banding Naina. Bahkan, saat Naina ulang tahun kamu gak ngucapin sama sekali kan?"
(Namakamu) menghela nafas. Menatap Iqbaal dengan tatapan datar dan seolah ucapan Iqbaal sama sekali tak membuatnya mengerti. (Namakamu) merasakan ponselnya bergetar. Dan (namakamu) kembali menatap Iqbaal.
"Aku harus pergi. Naina... buang boneka itu!" Ucap (namakamu). Wanita itu lalu melangkahkan kakinya keluar dari rumah ini dan kembali pergi. Seperti biasanya.
Naina menatap boneka panda pemberian Steffi dan menghentakkan kakinya menuju kamar. Membiarkan Iqbaal mengejarnya dan mengetuk pintu kamar yang sudah ia kunci. Naina merasa ingin sendiri. Ayahnya tidak tahu apa saja yang (namakamu) katakan sepanjang perjalanan pulang tadi. Dan itu cukup menyakitkan baginya. Di tambah saat ia melihat layar ponsel (namakamu).
"Naina?" Suara Iqbaal membuat Naina menatap pintu yang ada di belakangnya dan kembali menatap boneka panda pemberian Steffi.
"Naina mau sendiri, Yah." Lirih Naina.
Dan setelah itu tidak terdengar lagi suara Iqbaal. Naina melangkah perlahan menuju bed kasur-nya. Tangan kanannya masih menenteng boneka panda. Dan menjatuhkan tubuhnya begitu saja di atas bed kasur. Membiarkan air matanya tumpah mengingat apa saja yang ia dengar ketika ia berada di dalam taksi bersama (namakamu).
'Shafira jangan sedih dong. Nanti Tante beliin boneka kok. Tapi sekarang Tante harus nganterin anak Tante dulu.'
'Iya, Shafira yang nomor satu.'
'Cuma sepuluh menit. Nanti Tante ketemu sama Shafira sama Papa lagi ya?'
Naina memejamkan matanya. (Namakamu) bisa berbicara semanis itu pada anak lain. Bahkan (namakamu) tersenyum saat berbincang via telfon dengan gadis kecil bernama Shafira itu. Tapi, kenapa (namakamu) tidak bisa manis padanya? Kenapa (namakamu) tidak bisa tersenyum untuknya? Kenapa (namakamu) tidak bisa punya waktu dengannya tapi bisa punya waktu untuk anak lain? Kenapa (namakamu) tidak bisa selalu ada untuknya. Tapi selalu ada untuk anak lain? Apa (namakamu) sudah tidak menyayanginya lagi? Oh Tuhan! Kenapa seperti ini? Kenapa (namakamu) berubah sejak memutuskan untuk bekerja.
Naina menepis air matanya. Memori otak kecilnya kembali berputar dan ia dengan jelas melihat foto yang terpasang sebagi wallpaper layar ponsel (namakamu). Itu foto (namakamu) dengan seorang anak kecil. Tapi bukan Naina.
"Kenapa Bunda kayak gini? Kenapa Bunda sayang orang lain tapi gak sama Naina dan Ayah? Apa Bunda udah gak sayang Naina sama Ayah lagi?"
Naina membenamkan wajahnya pada boneka panda di dalam pelukannya. Membiarkan boneka itu menjadi penampung air mata sakit hatinya atas sikap Ibu-nya sendiri.
***
(Namakamu) menutup pintu taksi dan segera memasang senyum saat gadis kecil kesayangannya berlari menyambutnya. Dengan senang hati (namakamu) merentangkan tangannya dan membawa gadis kecil itu masuk kedalam pelukannya.
"Tante lama. Katanya sepuluh menit." Ucap gadis kecil itu. Tak lupa memproutkan bibirnya dengan lucu.
"Maaf sayang. Tadi kan Tante di jalan kena macet jadi telat. Oh iya, kamu udah makan belum?" Tanya (namakamu) mengalihkan pembicaraan agar gadis kecil itu tidak terus menerus memasang wajah cemberutnya.
"Mau di suapin sama Tante. Gak enak di suapin sama Papa."
(Namakamu) tersenyum, menyimpan rambut panjang gadis itu di balik daun telinga kanan agar ia bisa mencium pipi tembem gadis berusia lima tahun itu. "Yaudah Tante suapin."
Gadis kecil itu bersorak riang. Terlebih (namakamu) menggendongnya dan melangkah memasuki rumah tiga lantai milik Ayahnya.
(Namakamu) tersenyum dan beberapa kali memberikan kecupan gemas di pipi gadis kecil kesayangannya. Dan langkahnya terhenti saat ia sampai di meja makan. Di sana sudah ada Ayah dari gadis kecil itu yang tengah menyiapkan makanan untuk gadis kecil itu.
"Shafira gak mau aku suapin. Yah, dia udah kebiasaan sama kamu. Nih?" Laki-laki itu mendekatkan piring berisi makanan kesukaan Shafira.
(Namakamu) meraih piring itu. Sebelumnya ia mendudukkan Shafira di atas kursi dan meminta Shafira untuk menatapnya.
"Jelas Shafira gak mau. Orang Papa Aldi matanya sipit. Gimana mau nyuapin Shafira. Nanti yang ada makanannya bukan masuk mulut tapi malah masuk hidung." Ucap (namakamu) dengan nada berbisik dan sesekali melirik kearah laki-laki yang ia sebut bernama Aldi.
(Namakamu) terkikik pelan saat melihat shafira tertawa mendengar ucapannya dan wajah tidak terima Aldi yang menurutnya lucu. (Namakamu) segera menyuapkan satu sendok makanan kedalam mulut Shafira. Dan dengan senang hati Shafira menerima suapan itu.
"Tante. Habis ini tepatin janji ya?"
(Namakamu) menaikkan satu alisnya dan kembali menyuapkan makanan kedalam mulut mungil Shafira. "Apa?"
Shafira tidak langsung menjawab. Mengunyah makanannya dengan tergesa dan segera meraih segelas air putih dan ekpresinya yang lucu sukses membuat (namakamu) semakin gemas.
"Boneka panda." Jawab Shafira.
"Oh itu. Iya. Nanti habis makan kita jalan. Kita cari boneka panda yang Shafira mau." Ucap (namakamu).
Aldi yang melihat Shafira bersorak hanya tersenyum. Gadis kecilnya sudah menemukan sosok yang dia mau. Dan Aldi bersyukur karna dua tahun lalu ia bisa menemukam (namakamu) di antara ribuan calon karyawan yang memasukkan lamaran ke perusahaannya. Dan saat itu Aldi sendiri yang meng-interview (namakamu) dan langsung menempatkan (namakamu) sebagai manager tetap di MS Group.
***
Iqbaal tersenyum saat Naina keluar dari pintu kamarnya dengan pakaian yang sudah rapi. Iqbaal hanya menghela nafas saat melihat mata sembab gadis kecilnya. Naina masih membawa boneka panda pemberian Steffi dan masih memeluknya seperti saat pertama kali Steffi memberikannya.
"Nanti ada Tante Steffi kan, Yah?" Tanya Naina.
Iqbaal hanya menganggukkan kepalanya dan membalas genggaman tangan Naina. Lalu segera melangkahkan kakinya keluar. Malam ini, Iqbaal ingin mengajak Naina keluar dan mencari hiburan untuk gadis kecil itu agar tidak terus mengingat Ibunya yang belum pulang malam ini.
***
Steffi menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi foodcourt. Sesekali mengetukkan jari telunjuknya pada meja dan melirik jam tangannya. Steffi mengedarkan pandangannya. Dan beberapa detik kemudian senyumnya mengembang.
Steffi mengangkat tangannya dan melambaikan tangannya. Steffi segera menurunkan tangannya saat Iqbaal dan Naina sudah mendekati posisinya.
"Tante Steffi!" Naina melepaskan genggaman tangannya dari tangan Iqbaal dan berlari menghampiri Steffi. Lalu, duduk di samping Steffi dan memeluk Steffi sekali sebelum akhirnya menegakkan duduknya.
"Udah lama? Maaf. Tadi Naina minta beliin ice cream di luar." Ucap Iqbaal sembari membenarkan posisi duduknya.
"Gak papa kok. Aku juga belum lama." Ucap Steffi.
Iqbaal memang pernah mengatakan pada Steffi agar tidak berbicara formal ketika di luar kantor dan di hadapan Naina. Dan Steffi menyanggupinya.
"Tante, temenin Naina main yuk? Naina gak laper. Naina cuma mau main."
Steffi tersenyum menatap wajah Naina yang penuh harap. Tanpa suara Steffi menganggukkan kepalanya. Naina jelas merasa senang. Dengan cepat ia turun dari kursinya dan menarik tangan Steffi untuk menuju arena permainan. Lalu, di ikuti Iqbaal yang mengekor di belakang Naina dan Steffi.
"Pelan-pelan, sayang. Nanti kamu jatuh." Ucap Steffi saat Naina melepaskan genggaman tangannya dan berlari mendahului Steffi.
Steffi hanya sesekali tertawa pelan saat melihat langkah Naina yang mungil. Di tambah tubuhnya yang kecil memeluk boneka panda pemberiannya.
Iqbaal menghela nafas. Hanya bersyukur Naina bisa tersenyum dan melupakan sikap Ibunya sejenak. Hanya saat Naina dekat dengan Steffi. Naina bisa tersenyum dan membuat Iqbaal tidak khawatir.
Steffi mengernyitkan alisnya saat melihat langkah Naina terhenti di depan sebuah toko boneka. Tiba-tiba matanya kembali berkaca. Steffi maupun Iqbaal segera mendekat dan mencari tahu apa penyebab Naina menghentikan langkahnya.
"Bunda." Desis Naina.
Iqbaal menatap lebih dalam toko boneka di hadapannya. Matanya kini terpaku pada satu titik. Seperti ada yang meremas jantungnya saat ini dan sengaja mencabut jantungnya. Membuat jantungnya menggelinding lepas dari tempatnya.
Iqbaal bisa melihat jelas wajah (namakamu) yang tersenyum dengan seorang gadis kecil di dalam gendongannya dan laki-laki yang dengan lancang melingkarkan tangannya di pinggang (namakamu). Yang membuat Iqbaal kecewa adalah kenapa (namakamu) tidak berontak? Kenapa (namakamu) tidak merasa risih dengan lengan pria asing yang bertengger di pinggangnya? Kenapa (namakamu) terlihat santai dan menikmati kebersamaan itu?
"Naina!"
Tatapan Iqbaal buyar saat mendengar Steffi memekikkan nama Naina dan langkah kaki cepat yang menjauh. Iqbaal melihat boneka panda milik Naina tergeletak begitu saja di lantai Mall. Tapi Iqbaal masih setia pada posisinya. Berharap (namakamu) melihatnya berdiri di sini dan menjelaskan apa yang tengah ia lalukan bersama anak kecil dan laki-laki itu yang dengan sangat lancang menyentuh pinggang (namakamu).
***
Steffi hanya memeluk Naina yang menangis dengan kencang. Steffi sengaja membawa Naina ke atap Mall agar gadis kecil itu bisa leluasa menumpahkan rasa sakit hatinya. Steffi mengerti bagaimana perasaan Naina saat ini. Melihat Ibunya sendiri bisa bersikap manis pada anak lain. Itu menyakitkan.
"Kenapa Bunda jahat, Tante? Kenapa Bunda gak bisa kayak Tante? Kenapa Bunda lebih milih jalan sama anak itu dan sama Om itu ketimbang sama Naina sama Ayah? Apa Bunda udah gak sayang Naina lagi?"
Steffi sejak tadi hanya bisa menjadi pendengar yang baik dan selalu berusaha memberikan pelukan terbaik. Ia tidak tahu harus mengatakan apa pada gadis kecil di dalam pelukannya. Karna ia melihat sendiri bagaimana (namakamu) dengan raut wajah bahagaia dan tanpa dosanya menemani anak orang lain membeli boneka.
"Naina benci Bunda-"
"Naina gak boleh benci sama Bunda. Mungkin Bunda punya alasan kenapa kayak gini. Tapi Naina gak boleh benci sama Bunda. Bunda sayang kok sama Naina, sama Ayah. Naina harus percaya itu." Bisik Steffi.
Naina tidak mengucapkan apapun lagi. Hanya semakin mengeratkan pelukan pada tubuh Steffi yang membuatnya merasa nyaman. Dalam hatinya. Naina menyesal. Menyesal karna terlahir dari seorang ibu bernama (namakamu) yang jelas-jelaa sudah tidak menyayanginya lagi. Dan Naina menyesal karna Tuhan tidak menciptakannya untuk lahir dari rahim seorang Steffi yang jelas-jelas menyayanginya sepenuh hati.
Tapi ini takdir. Naina tidak bisa menyalahkan takdirnya. Dan Naina hanya bisa menerima dan melangkahkan kaki untuk menapaki takdir demi takdir yang sudah Tuhan gariskan di hidupnya.
***
(Namakamu) masih memberikan senyum dan terima kasih pada kasir setelah semua pembayaran selesai. Aldi mengambil alih tubuh mungil Shafira dari tangan (namakamu) dan meminta Shafira untuk berterima kasih pada (namakamu) yang sudah membelikannya boneka.
(Namakamu) mengedarkan pandangannya. Dan matanya terhenti pada satu titik. Senyumnya yang manis perlahan luntur. Nafasnya tiba-tiba saja tercekat saat melihat kearah luar toko.
"Iqbaal?" Desisnya.
(Namakamu) melihat Iqbaal meraih boneka panda yang tergeletak di lantai Mall dan sempat menatapnya sesaat. Lalu melangkah pergi.
"Tante ayo pulang. Tapi Tante jangan pulang dari rumah Fira dulu ya? Temenin Fira sampai Fira tidur." Ucap Shafira.
"Okey sayang." Ucap (namakamu).
"(Namakamu)? Makasih udah mau nemenin Shafira."
(Namakamu) hanya menganggukkan kepalanya dan melangkah keluar dari toko. Ada perasaan bersalah yang muncul saat melihat wajah kecewa Iqbaal terpancar jelas. Bagaimana saat ia pulang nanti? Apa Iqbaal akan memarahinya? Atau mungkin tidak membukakan pintu untuknya? (Namakamu) menghela nafas dan menggelengkan kepalanya. Tidak mau terlalu memikirkan hal itu dan akan lebih baik jika ia memikirkan Shafira yang begitu manyayanginya.
"(Namakamu)? Makasih udah mau nemenin Shafira."
(Namakamu) hanya menganggukkan kepalanya dan melangkah keluar dari toko. Ada perasaan bersalah yang muncul saat melihat wajah kecewa Iqbaal terpancar jelas. Bagaimana saat ia pulang nanti? Apa Iqbaal akan memarahinya? Atau mungkin tidak membukakan pintu untuknya? (Namakamu) menghela nafas dan menggelengkan kepalanya. Tidak mau terlalu memikirkan hal itu dan akan lebih baik jika ia memikirkan Shafira yang begitu manyayanginya.
***
(Namakamu) membuka pintu rumah. Tidak terkunci. (Namakamu) menghela nafas dan melangkah dengan lelah. Melangkah menuju kamarnya dan Iqbaal untuk beristirahat. Sebelumnya ia sempat melihat Naina di kamarnya dan hanya tersenyum tipis.
Kembali. (Namakamu) menghela nafas saat memasuki kamarnya. Gelap. Iqbaal sama sekali tak menyalakan lampu kamar atau lampu tidur. (Namakamu) melepas stiletto-nya dan berniat melangkah menuju kamar mandi.
"Apa maksud kamu?"
Langkah (namakamu) terhenti saat Iqbaal secara tiba-tiba bersuara dan lampu kamar menyala dengan terang. (Namakamu) memutar tubuhnya. Menatap Iqbaal yang kini duduk di tepi kasur dengan kepala menunduk.
"Kenapa?" Tanya (namakamu).
Iqbaal menengadahkan wajahnya. Menatap (namakamu) yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi. "Apa maksud kamu nyakitin hati Naina?" Tanya Iqbaal.
"Aku gak nyakitin Naina. Aku sayang sama dia." Jawab (namakamu).
"Kalau kamu sayang sama Naina kenapa kamu tega kayak gini ke dia? Selalu ada buat anak orang lain tapi gak bisa ada waktu buat anak sendiri?" Tanya Iqbaal yang selalu berusaha menahan emosinya.
(Namakamu) hanya tersenyum tipis. Dan bersindekap dada. Ia tahu Iqbaal tidak akan pernah bisa marah padanya. Iqbaal bukan laki-laki yang tega membentak atau menyakiti hati perempuan. Dan Iqbaal sudah berjanji padanya saat pernikahan mereka delapan tahun lalu. Iqbaal tidak akan pernah membentak, menatap tajam, atau pun berbuat kasar padanya ketika ia salah.
Iqbaal beranjak dari posisinya. Melangkah mendekati (namakamu) dan menatap (namakamu) selembut mungkin. Sebisa mungkin ia menahan amarahnya karna teringat Naina yang menangis hebat saat melihat (namakamu) di Mall tadi. Bahkan Naina sampai melarang Steffi untuk pulang dan meminta Steffi untuk selalu menemaninya.
"Ada hubungan apa kamu sama Aldi?" Tanya Iqbaal.
(Namakamu) menelan ludahnya. Menatap wajah Iqbaal dengan kepala sedikit terangkat itu karna Iqbaal memang lebih tinggi darinya.
"Harusnya aku yang nanya sama kamu. Ada hubungan apa kamu sama Steffi? Kenapa dia bisa sedekat itu sama Naina?" (Namakamu) tidak lagi bersindekap dada. Menatap dengan Iqbaal dengan mata berkaca. Entahlah, (namakamu) merasa ada sesuatu yang mendorong air matanya untuk turun.
"Kamu salah faham." Ucap Iqbaal. Laki-laki itu memutar tubuhnya hendak meninggalkan (namakamu) yang mulai menepis air matanya.
"Apa tugas seorang sekertaris menemani putri direkturnya? Atau menjadi kekasih direkturnya yang sudah beristri?"
Pertanyaan (namakamu) membuat Iqbaal menautkan alisnya. Tidak mengerti dengan jalam fikiran (namakamu). Entah apa yang (namakamu) katakan. Sepertinya wanita itu sudah terlalu jauh salah faham.
"Maksud kamu apa nuduh Steffi kayak gitu? Kamu udah berfikiran terlalu jauh!" Suara Iqbaal tiba-tiba saja meninggi. Iqbaal kembali menatap (namakamu) dan kali ini cukup tajam.
(Namakamu) menghela nafas dan menetralkan suaranya yang tercekat. "Aku memang baru kemarin tatap wajah langsung sama Steffi. Tapi aku tahu dia jadi sekertaris kamu setahun terakhir kan? Dan dia sering nemenin Naina. Baal, kamu udah janji kan sama aku kalau kamu gak akan ngambil sekertaris cewek? Tapi buktinya kamu tetep ngangkat Steffi sebagai sekertaris kamu."
"Oh, jadi sikap kamu ke Naina sekarang karna kamu cemburu sama Steffi? Kamu cemburu sama Steffi yang bisa deket sama Naina? Dan karna Steffi sekertaris aku? Konyol." Iqbaal menggelengkan kepalanya. Kembali memutar tubuhnya untuk menjauh dari (namakamu).
"Terus... kamu balas dendam sama aku dengan cara deket sama direktur MS Group dan anaknya? Dan gak peduli sama aku sama Naina?" Tanya Iqbaal lagi. Suaranya sudah tidak tinggi seperti sebelumnya. Ia tidak ingin keadaan ini memanas jika ia menuruti emosinya. Biarlah ia bertanya baik-baik dan (namakamu) menjelaskannya.
"Enggak. Aku deket sama Aldi dan Shafira karna ada sesuatu. Bukan karna aku balas dendam ke kamu karna Steffi yang sekarang lebih dekat sama Naina." Jawab (namakamu).
(Namakamu) segera membalikkan tubuhnya untuk kembali masuk kedalam kamar mandi. Ingin segera menyudahi percakapannya dengan Iqbaal malam ini. (Namakamu) rasa tidak ada gunanya.
"Apa? Apa (namakamu)? Apa yang kamu sembunyiin dari aku? Apa?" Desis Iqbaal.
Iqbaal memejamkan matanya dan melepaskan kaca matanya lalu segera berbaring. Tak lupa sebelumnya ia memadamkan lampu utama dan menggantinya dengan lampu tidur. Meskipun ia masih memikirkan kata-kata (namakamu) sebelum wanita itu masuk ke dalam kamar mandi.
***
Naina menutup pintu kamarnya dengan seragam lengkap. Langkah kaki mungilnya menuruni tangga dengan hati-hati. Perlahan, Naina mulai menjenjangkan kepalanya untuk melihat kearah meja makan untuk melihat siapa yang beraktifitas di sana pagi ini. Dan Naina berharap itu adalah Bundanya.
"Selamat pagi sayang?"
Langkah Naina terhenti saat mendengar suara lembut yang dua tahun belakangan ini tidak menyapanya. Naina berusaha menahan langkah kakinya yang serasa ingin berlari memghampiri meja makan dan memeluk Ibu-nya yang pagi ini sibuk menyiapkan beberapa lembar roti dan meletakkannya ke dalam kotak biru yang biasa Ayahnya isi dengan roti selai strawberry kesukaannya.
"Kenapa diem di tangga? Ayo sini, Bunda udah buatin susu putih kesukaan kamu."
Naina masih bertahan di posisinya. Ia masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
"Bunda?" Naina merasakan suaranya yang bergetar. Kedua kaki mungilnya mulai melangkah maju untuk mendekati Ibu-nya yang saat ini baru saja menutup kotak biru. Kotak bekalnya.
"Iya, Naina. Ayo sini cepetan."
Naina melangkahkan kakinya lebih cepat mendekat kearah (namakamu). Menatap (namakamu) dengan mata berkaca. Merasa bahwa ini hanya mimpi. Mimpi yang terlalu indah.
"Ini minum susunya."
Naina menatap segelas susu putih yang kini berada di hadapannya. Biasanya susu itu di siapkan tangan Ayahnya. Tapi hari ini. Tangan lembut Ibu-nya yang menyiapkan segelas susu itu. Dengan tangan bergetar Naina mulai meraih gelas susu itu. Dan mulai meminumnya secara perlahan.
"Ayah sakit. Tapi tadi pagi Ayah keluar kota. Ada kerjaan yang harus Ayah urus. Bunda gak bisa cuti. Tapi Bunda bawa seseorang buat nemenin kamu."
Ucapan (namakamu) membuat acara minum susu Naina terhenti saat mendengar bahwa Ayahnya sakit tapi tetap mengurus pekerjaan sampai keluar kota.
"Yang bakal nemenin Naina Tante Steffi kan, Bun?" Tanya Naina.
Gerakan (namakamu) terhenti. Wajahnya yang cantik mulai terlihat tak bersahabat mendengar nama Steffi. (Namakamu) menatap Naina dengan wajah datar.
"Jangan harap Tante Steffi datang ke sini! Bunda udah punya temen buat kamu." Ucap (namakamu) kesal.
"Ayah kapan pulang?"
"Dua hari lagi."
"Bunda nanti malam di rumah kan?"
(Namakamu) menghela nafas dan menganggukkan kepalanya. Dan bunyi klakson sebuah taksi membuat (namakamu) memalingkan wajahnya. Lalu, meletakkan sebotol air mineral di sisi sebelah kiri tas Naina.
"Taksinya udah datang. Ayo cepat."
Naina meletakkan gelas susu yang hanya menyisakan setengah gelas susu. Naina meriah tasnya yang telah siap dan kemudian meraih tangan (namakamu). Naina menatap (namakamu) penuh harap.
"Bunda anterin Naina, ya? Naina gak pernah naik taksi sendirian." Ucap Naina. Genggaman tangannya mengerat dan berharap (namakamu) akan menganggukkan kepalanya. Tapi kenyataannya (namakamu) menepis genggaman tangan mungil Naina.
"Bunda sibuk. Terus Bunda juga harus jemput Shafira dari rumah neneknya. Kamu berangkat sendiri aja." Ucap (namakamu) dengan mata yang sama sekali tak menatap Naina. Kedua matanya sejak tadi fokus pada ponsel di tangannya.
Naina menundukkan kepalanya. Menarik nafas panjang dan mulai melangkah perlahan meninggalkan ruang makan dan pergi kesekolah seorang diri. Untuk pertama kalinya. (Namakamu) bahkan tidak peduli saat Naina mulai melangkah meninggalkannya dan pergi sekolah dengan taksi yang sudah dia pesan.
***
Steffi menghentikan langkahnya saat berpapasan dengan Kiki yang baru saja keluar dari ruangan Iqbaal untuk meletakkan beberapa berkas. Kiki hanya tersenyum.
"Selamat pagi, Pak Kiki?" Steffi menyapa dengan sopan. Mengingat Kiki adalah manager di sini.
"Pagi. Oh iya. Iqbaal tadi pagi berangkat keluar kota. Sepertinya lusa baru akan kembali. Semua berkasnya sudah ada di meja. Kalau nanti Iqbaal sudah pulang kamu tinggal beritahu dia."
Steffi segera menganggukkan kepalanya pertanda ia mengerti dan Kiki membalasnya dengan senyum lalu melangkah pergi.
Steffi merasakan getaran ponsel di dalam tasnya. Dengan cekatan, tangan mulusnya meraih ponsel tersebut dan melihat sebuah nama tertera di sana.
"Hallo, Pak Iqbaal?" Steffi membuka ruangan Iqbaal. Melakukan tugasnya untuk menyusun berkas di meja Iqbaal agar tertata rapi dan berurutan.
'Steff, pulang nanti bisa tengokin Naina? Aku takut (namakamu) ninggalin dia sendirian.'
Steffi sempat terdiam beberapa saat sebelum menjawabnya.
"Baik. Saya akan ke sana."
'Gak usah formal, Steffi. Aku lagi gak di kantor dan gak lagi kerja.'
Steffi terlihat menautkan alisnya. Tidak di kantor? Tidak bekerja? Lalu sedang apa Iqbaal di luar kota?
"Hmm iya, tapi kalau kamu lagi gak kerja. Kamu ngapain di luar kota?"
'Aku cuma mau istirahat bentar. Kalau aku di rumah. Aku gak akan bisa istirahat sebelum Naina tidur dan sebelum (namakamu) pulang. Jadi, aku pake alternatif ini. Maaf kalau aku akhirnya ngerepotin kamu?'
Steffi menghela nafas. Meraih kursi dan mulai menyusun berkas di meja Iqbaal sesuai dengan urutan. Kepalanya sedikit miring untuk menghimpit ponselnya dengan bahu.
"Gak masalah. Aku gak ngerasa di repotin kok." Ucap Steffi.
Steffi hanya mendengar Iqbaal berdehem dan di akhiri dengan suara batuk beberapa kali.
"Kamu baik-baik aja?" Steffi merasa penasaran dan mulai menanyakan keadaan Iqbaal.
'Iya, cuma sedikit gak enak badan. Mungkin karna kecapekan aja.'
Steffi menghela nafas lega dan beranjak dari duduknya seraya meraih tas dan melangkah menuju meja kerjanya di depan ruangan Iqbaal.
"Syukurlah kalau begitu. Istirahat yang banyak. Manfaatkan waktu yang ada untuk istirahat yang cukup. Dan cepat kembali. Naina pasti sangat membutuhkanmu."
'Iya, terima kasih atas perhatiannya, Steffi. Dan makasih udah sayang dan peduli sama Naina.'
"Sama-sama."
Tuut tuut tuut... Steffi segera meletakkan ponselnya di atas meja dan mulai menghidupkan CPU komputernya dan mulai bekerja.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul satu siang. Tapi Naina masih duduk di halte yang terletak di depan sekolahnya. Hanya duduk dengan wajah murung seperti biasa. Ini sudah.... hampir dua jam ia menunggu seseorang menjemputnya. Tapi tampaknya tak akan ada yang menjemputnya hari ini.
"Ayah kenapa pergi, sih? Naina butuh Ayah." Lirih Naina.
Dan suara mobil yang berhenti di hadapannya membuat Naina menengadahkan kepalanya untuk melihat siapa yang berhenti di depannya. Saat seseorang keluar dari 'taksi'. Senyuman manis Naina kembali terlihat dan dengan semangat. Naina turun dari Halte. Merentangkan tangannya menyambut siapa yang datang.
"Tante Steffi." Naina menghembur kedalam pelukan Steffi yang langsung mendapat balasan. Naina merasa bahwa Steffi adalah malaikat penyelamatnya saat Ayahnya tidak ada. Steffi datang saat ia hanya duduk sendiri di sini seperti anak bodoh yang menunggu orang tuanya menjemput.
"Naina kenapa gak pulang? Kenapa duduk disini?" Tanya Steffi.
"Bunda gak jemput. Ayah pergi." Lirih Naina.
Steffi tersenyum. Mengusap pipi Naina dengan lembut dan kemudian menggenggam kedua tangan mungil Naina. "Yaudah Tante anterin Naina pulang. Tapi kita beli ice cream buat Naina dulu, yuk?"
"Tante beneran mau beliin ice cream buat Naina?" Tanya Naina menegaskan pendengarannya. Dan anggukan kepala dari Steffi membuat Naina tiba-tiba saja bersorak dan menghadiahi Steffi sebuah kecupan manis di kedua pipi. Lalu menarik tangan Steffi untuk masuk kedalam taksi dengan penuh semangat. Hal itu hanya membuat Steffi tersenyum gemas dan menggelengkan kepalanya.
***
(Namakamu) menatap jam dinding. Sudah hampir jam dua dan Naina belum pulang. Ada kecemasan yang muncul. Sebenarnya ia mau saja menjemput Naina di sekolah. Tapi...
"Tante! Boneka pandanya buat Fira ya? Fira suka banget!"
Suara Shafira yang terdengar riang membuat lamunan tentang Naina buyar dan membuat (namakamu) tersenyum manis saat melihat Shafira yang saat ini berada di rumahnya. Di depan kamar... Naina. Dan memeluk boneka panda berukuran tanggung yang sebelumnya sudah (namakamu) perintahkan untuk di buang.
"Iya sayang. Ambil aja. Lagian kak Naina udah gak main boneka lagi." Ucap (namakamu).
"Kalau boneka yang lainnya? Fira boleh ambil juga?" Tanya Shafira lagi.
"Semuanya Fira boleh ambil." Jawab (namakamu) santai.
Shafira bersorak dan masuk kedalam kamar Naina dengan sangat lancang. Lalu memilih boneka apa saja yang ia suka. (Namakamu) hanya tersenyum melihat tingkah lucu nan menggemaskan putri seorang Alvaro Maldini dengan Almarhum istrinya. (Namakamu) yakin kalau istri Aldi pasti sangat cantik. Melihat Shafira yang sangat cantik dan sangat menggemaskan.
"Tante. Boneka ini?"
(Namakamu) melihat Shafira yang kembali keluar dengan memeluk boneka panda berukuran sangat besar. Bahkan lebih besar di banding tubuh Shafira. Senyuman (namakamu) sedikit luntur. Ia masih ingat dengan jelas kalau boneka itu adalah hadiah ulang tahun Naina di usianya yang ke lima tahun. Dan itu pemberian Iqbaal. Dan (namakamu) masih dengan jelas mengingatnya betapa susahnya mendapatkan boneka panda berukuran besar yang tengah menggendong bayi panda itu. Bahkan, Iqbaal sampai rela mengeluarkan biaya besar demi boneka itu. Dan boneka itu menjadi boneka kesayangan Naina sampai sekarang.
"Boleh sayang. Ambil aja." Ucap (namakamu) santai. Bahkan tersenyum sangat manis.
"Gak boleh!"
(Namakamu) memutar tubuhnya. Ia bisa melihat Naina yang kini berdiri tak jauh darinya dan menggenggam tangan Steffi. Dan kehadiran Steffi membuat amarah (namakamu) kembali terpancing.
"Itu boneka pemberian Ayah! Jangan di ambil! Lagian kamu itu siapa sih? Main ambil barang aku seenaknya! Balikin!" Bentak Naina.
"Tapi Fira suka boneka ini! Tantee!" Shafira menatap (namakamu) yang kini menatap tak suka kearah Steffi.
(Namakamu) mengalihkan pandangannya kearah Shafira yang tengah memasang puppy eyes kearahnya. Dan matanya beralih pada Naina yang menatap marah dengan mata berkaca kearah Shafira.
"Naina. Dia Shafira. Anak Om Aldi. Direktur di tempat Bunda kerja. Jadi hormati dia. Dan biarin dia ambil boneka itu. Kamu kan bisa minta lagi sama Ayah nanti kalau Ayah pulang." Ucap (namakamu).
Steffi yang mendengarnya cukup tercengang. Merasakan genggaman tangan Naina mengerat. Dan air mata itu sudah sangat jelas terlihat. Steffi kembali menatap kearah (namakamu) yang kini kembali menatapnya.
"Apa yang Anda lakukan? Itu hak Naina, bukan hak anak itu." Ucap Steffi.
(Namakamu) memasang wajah datar. Menatap Steffi tak suka. "Keluar dari sini!" Tegas (namakamu).
"Tante jangan tinggalin Naina." Naina menggenggam tangan kanan Steffi dengan kedua tangan mungilnya.
"Keluar dari rumah saya, Jalang!!" Bentak (namakamu).
Steffi terkejut. Jalang? Apa maksudnya (namakamu) mengatainya jalang? Ini penghinaan. Tatapan mata Steffi mengeras. Menatap (namakamu) dengan tatapan yang semula lembut kini berubah marah. Tidak terima dengan penghinaan yang di berikan (namakamu).
"Jalang? Anda bilang saya jalang?" Tanya Steffi.
"Iya! Dan rumah saya tidak boleh di injak oleh wanita jalang seperti Anda! Penggoda suami orang!" Bentak (namakamu).
"Apa maksud Anda berbicara seperti itu?!" Suara Steffi mulai meninggi. Ini benar-benar penghinaan untuknya.
"Tanpa saya jelaskan Anda pasti sudah tahu maksud saya! Jadi silakan keluar dari rumah saya!" Bentak (namakamu).
Steffi tidak mengucapkan apapun lagi. Menepis genggaman tangan Naina dan memilih pergi. Steffi merasa harga dirinya terluka dengan kata-kata jalang yang (namakamu) lontarkan. Apa salah Steffi? Apa karna Steffi selalu bersedia membantu Iqbaal mengurus Naina?
"Tante jangan pergi!"
Steffi sudah tidak mau mendengarkan suara Naina lagi. Dengan amarah yang membumbung tinggi, Steffi pergi dari rumah ini dan tidakakan berminat lagi untuk menginjakkan kaki di rumah ini. Bahkan membantu Iqbaal lagi sepertinya ia tidak akan mau lagi.
Naina menatal (namakamu) yang saat ini sudah menghampiri Shafira dan memeluk Shafira yang masih memeluk boneka miliknya. Naina tidak mau boneka itu di ambil orang yang tak di kenalnya. Itu boneka spesial pemberian dari Iqbaal.
"Balikin bonekanya!" Naina mencoba menarik boneka berukuran sangat besar itu dari tangan Shafira.
Tentu saja Shafira mencoba mempertahankam boneka itu. Itu boneka pilihannya. Boneka yang paling ia inginkan di banding boneka Naina yang lain.
"Tantee..." suara berirama yang memelas meminta bantuan.
"Naina inget apa kata Bunda tadi kan? Kasih aja buat Shafira. Nanti kalau Ayah udah pulang, Naina minta lagi sama Ayah!"
"Gak mau Bunda! Ini itu kado ulang tahun dari Ayah! Ini kesayangan Naina!" Tegas Naina.
(Namakamu) mengehela nafas dan memejamkan matanya. Lalu, mencoba melepaskan kedua tangan mungil Naina dari boneka itu. Dan setelah tangan Naina terlepas dari boneka panda besar itu. (Namakamu) segera menarik Naina turun menuju lantai dasar. Membawa Naina masuk kedalam salah satu kamar tamu.
"Bunda itu bone-"
"Syuut! Dengerin Bunda! Kamu harus hormati Shafira. Kamu harus kasih apa yang dia mau! Kalau dia mau boneka itu yaudah kasih aja! Lagian boneka kayak gitu kan Ayah kamu bisa nyari!" Suara (namakamu) meninggi. Nyaris membentak.
"Kasian Ayah kalau Ayah harus nyari boneka kayak gitu lagi, Bunda. Itu aja Ayah nyarinya susah. Harusnya Bunda belain Naina bukan dia!"
(Namakamu) menggelengkan kepalanya. Tidak mau mengucapkan apapun lagi. Dan segera melangkahkan kakinya. Menutup pintu dan mengunci pintu kamar. Naina tidak berontak atau berusaha menggedor pintu. Ia tahu itu akan percuma. Ibu-nya tidak sama dengan Ayahnya. Ibu-nya tidak menyayanginya. Tapi Ayahnya sangat, sangat, sangat menyayanginya.
"Kasian Ayah kalau Ayah harus nyari boneka kayak gitu lagi, Bunda. Itu aja Ayah nyarinya susah. Harusnya Bunda belain Naina bukan dia!"
(Namakamu) menggelengkan kepalanya. Tidak mau mengucapkan apapun lagi. Dan segera melangkahkan kakinya. Menutup pintu dan mengunci pintu kamar. Naina tidak berontak atau berusaha menggedor pintu. Ia tahu itu akan percuma. Ibu-nya tidak sama dengan Ayahnya. Ibu-nya tidak menyayanginya. Tapi Ayahnya sangat, sangat, sangat menyayanginya.
***
Denting sendok yang beradu dengan piring terdengar menghiasi ruang makan yang sepi. Ketiga manusia ini hanya diam dan menikmati makanan di hadapannya. Naina menatap kearah (namakamu) yang duduk di hadapannya. Perlahan senyum manisnya mulai terlihat. Ini pemandangan yang sangat langka. (Namakamu) makan malam bersamanya itu adalah hal yang langka.
"Tante nanti bacain Fira cerita sebelum tidur kayak biasanya, ya?" Shafira bertanya dengan senyum manis seolah-olah hanya ada dia dan (namakamu) di sini.
Naina hanya terdiam. Seperti biasanya? Jadi maksudnya (namakamu) sering membacakan cerita untuk Shafira? Apa-apaan ini? Naina menatap (namakamu) dengan mata beningnya. Berharap (namakamu) menolak permintaan Shafira dan memilih untuk menemaninya.
"Iya sayang. Mau cerita apa? Nanti Tante ceritain. Pokoknya selama Papa lagi gak bisa jagain kamu. Tante bakal turutin semua kemauan kamu." Ucap (namakamu).
Naina menarik nafas panjang dan menunduk. Harusnya ia tidak perlu berharap. Ia harusnya sudah tahu jawaban apa yang akan (namakamu) berikan pada Shafira. Dan Naina tidak perlu bertanya apa (namakamu) mau menemaninya.
"Bunda. Naina punya tugas. Bunda bisa bantu Naina ngerjain tugasnya?" Naina mencoba bertanya dan berharap mendapat jawaban sesuai dengan yang ia inginkan.
Naina melihat (namakamu) mulai menatapnya. Tapi siluet wajahnya tidak tersenyum semanis saat menatap Shafira.
"Kamu kan tadi denger kalau malam ini Bunda harus bacain cerita buat Shafira. Lagian Bunda denger dari Ayah, kamu itu anak yang pintar. Kamu bisa kerjain tugasnya sendiri kan? Bunda gak suka punya anak manja."
Naina merasa ada yang terhempas di dadanya. Dan harusnya Naina sadar dari awal kalai jawaban itu lah yang akan ia dapat. Dan harusnya Naina sadar kalau (namakamu) tidak menyayanginya seperti Ayahnya menyayanginya.
Naina merasa nafsu makannya hilang. Dengan perlahan ia turun dari kursi dan meraih piringnya. Menyimpannya di tempat yang seharusnya dan mencuci tangan. Tidak ingin berlama-lama berhadapan dengan (namakamu) yang secara terang-terangan memanjakan Shafira. Si anak asing.
"Eeh, kamu mau kemana?"
Langkah Naina terhenti saat ia baru saja berpijak pada anak tangga kedua. "Naina mau ke kamar. Mau ngerjain tugas sekalian istirahat." Jawab Naina.
"Kamar kamu kan di bawah? Yang di atas itu kamar Shafira." Ucap (namakamu).
"Tapi itu kamar Naina!" Tegas Naina.
"Enggak! Kamu mau di kamar tamu atau di gudang?!" Suara (namakamu) tiba-tiba saja meninggi. Membuat Naina merasakan sesuatu yang terluka di dalam relung hatinya.
Naina tidak mengucapkan apapun lagi. Segera melangkahkan kakinya menapaki anak tangga untuk sampai di kamarnya. Jemari mungilnya mulai bergerak mengusap pipinya yang lembut. Menepis bulir-bulir air matanya yang jatuh secara bergantian dan tanpa henti. Tujuannya saat ini adalah mengemasi barangnya dan pindah ke kamar tamu yang ada di lantai dasar.
Naina membuka pintu kamarnya. Memperlihatkan nuasa pink. Wallpaper kupu-kupu berbagai warna yang dulu di buat dengan kedua tangan Ayahnya. Bed kasur dengan sprai dan bed cover bermotif princess disney. Di tambah jejeran boneka panda berbagai ukuran. Bisakah Naina membiarkan kamar ini di tempati orang lain yang tidak ia kenal sebelumnya?
Naina menutup pintu kamarnya. Bersandar pada daun pintu dan membirkan tubuh mungilnya terjatuh. Tangisnya tertahan. Naina tidak mau (namakamu) mendengar tangisannya karna tidak rela meninggalkan kamar kesayangannya yang ia desain dengan Ayahnya sendiri.
"Ayah cepet pulang."
Suaranya yang bergetar dan tertahan membuat siapapun yang mendengarnya pasti akan merasa iba. Di tambah tangisnya yang tertahan membuat Naina terlihat memprihatinkan untuk di lihat.
Perlahan tubuhnya bergerak. Berdiri dan melangkah dengan pelan menuju lemari berwarna ungu muda. Menarik kopernya dari samping lemari dan mulai membukanya. Memasukkan baju-bajunya kedalam koper. Masih berusaha menahan tangisnya. Naina mengemasi baju-baju dan barang-barangnya. Meskipun hanya sementara sampai Ayahnya pulang. Ini tetap saja menyakitkan baginya. Bayangkan saja bagaimana rasanya jika ibu sendiri mengusir kita dari kamar pribadi kita yang seharusnya tidak pernah di masuki oleh orang lain.
Naina menarik nafas panjang. Meredam tangisnya dan membersihkan wajahnya dari air mata. Meraih tas, koper, dan boneka panda yang tadi sempat di minta Shafira. Boneka panda berukuran sangat besar yang tengah menggendong bayi panda. Dan dengan berat hati. Naina keluar dari kamar kesayangannya. Ternyata kepergian Ayahnya dan keberadaan Ibunya membuatnya jauh lebih sakit di banding sebelumnya.
"Tante bonekanya kok di bawa. Itu kan boneka Fira!"
Naina yang baru saja turun segera menghentikan langkahnya. Menatap Shafira yang kini menunjuk ke arahnya dan boneka yang tengah ia peluk.
"Naina. Jangan bawa bonekanya." Ucap (namakamu).
Naina mengeratkan pelukannya pada boneka panda kesayangannya. Dan...berlari sekencang mungkin. Lalu masuk kedalam kamar tamu yang hari ini menjadi kamarnya. Menutup dan mengunci pintunya. Tidak peduli dengan suara teriakan (namakamu) yang memintanya untuk memberikan boneka itu.
"Tanteeee!"
Naina memejamkan matanya saat mendengar teriakan Shafira. Naina lalu menghela nafas. Boneka ini tidak boleh jatuh ke tangan siapapun kecuali dirinya dan Iqbaal. Sampai kapanpun boneka ini hanya miliknya.
Naina meraih gagang telepon rumah yang tersedia di kamar tersebut buka kotak pensilnya dan melihat nomor Iqbaal. Dengan hati-hati jari mungilnya mulai menekan dua belas digit nomor Iqbaal. Lalu meletakkan gagang telepon itu pada telinga kanannya. Tersambung dan ia hanya tinggal menunggu Iqbaal menjawab telfonnya.
'Halo?'
"Ayah." Percayalah. Naina sudah berusaha menetralkan suaranya. Tapi tetap saja terdengar bergetar dan berbeda.
'Naina? Hai sayang. Gimana hari kamu? Seneng gak di temenin Bunda? Oh iya, Bunda hari ini dirumah kan jagain kamu?'
Naina tersenyum miris. Bulir air matanya kembali jatuh saat mendengar pertanyaan-pertanyaan dari Iqbaal. Entahlah, rasanya pertanyaan itu sangat menyakitkan bagi Naina.
"Iya, Yah. Bunda seharian di rumah. Nyiapin sarapan, nyiapin susu, nganter Naina sekolah. Pokoknya Bunda mirip banget sama Ayah kalo lagi di rumah." Oh Tuhan! Anak ini berbohong.
Naina kembali tersenyum. Membekap bibirnya dengan telapak tangannya. Rasanya benar-benar sesak dan membuat Naina serasa ingin berteriak. Mengatakan pada dunia bahwa ia sangat membenci ibunya.
'Syukurlah kalau gitu. Kamu udah makan, sayang? '
"Udah, Yah. Ayah kapan pulang? Naina denger Ayah sakit. Tapi Ayah tetep maksa pergi karna ada tugas."
'Secepatnya Ayah pulang, sayang. Ayah gak papa. Cuma kecapek-an aja. Gak usah di fikirin ya?'
Naina tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Lalu kembali menepis air matanya.
'Naina kenapa? Dari tadi kok suaranya beda? Naina nangis?'
Naina tersenyum dan kembali menepis air matanya. Menarik nafas dalam-dalam dan kembali berusaha menetralkan suaranya.
"Naina nangis karna kangen sama Ayah. Makanya Ayah cepet pulang."
'Iya, Ayah akan cepat pulang. Jangan nangis lagi, ya?'
"Iya, Ayah."
'Yaudah kamu tidur. Ini udah malam. Good night and I love you.'
"Night and love you too."
Naina kembali meletakan gagang telepon itu setelah sambungan teleponnya terputus. Sedikit lega setelah mendengar suara Iqbaal. Naina menatap boneka panda yang kini terbaring di tengah ranjang berukuran king size. Sangat besar.
Naina menjatuhkan tubuhnya begitu saja. Dan kepalanya tepat berada di badan besar boneka panda itu. Menarik nafas panjang dan mulai memejamkan matanya. Mencoba untuk menghilang dan membuat dunianya sendiri. Dunia mimpi yang bisa ia ciptakan sendiri sesuai kemauannya. Melupakan apa yang terjadi hari ini.
***
Kiki berdiri di depan pagar rumah Iqbaal. Berkali-kali melirik jam tangannya dan berharap yang ia tunggu segera keluar. Tadi pagi, Iqbaal menghubunginya dan memintanya untuk mengantar Naina ke sekolah pagi ini.
Dan senyuman itu mengembang saat melihat Naina keluar dari dalam rumah seorang diri. Tapi senyuman itu luntur saat melihat kedua mata cantik Naina yang sembab parah pagi ini.
"Selamat pagi, Paman Kiki." Naina tersenyum menyapa Kiki dan memberikan salam dengan mencium punggung tangan Kiki.
"Pagi, sayang. Kita berangkat sekarang?" Tanya Kiki.
Naina hanya menganggukkan kepalanya. Segera masuk kedalam mobil setelah Kiki membukakan pintu untuknya. Naina hanya berharap hari ini semuanya akan lebih baik di banding hari sebelumnya. Meskipun tadi pagi juga menyakitkan baginya. Karna (namakamu) sama sekali tak mau bicara dengannya karn ia membawa boneka yang di inginkan Shafira.
"Kenapa, sayang? Kok diem gitu?" Tanya Kiki.
Naina tersenyum dan membenarkan posisi duduknya. "Gak papa, Paman." Jawab Naina.
Kiki tahu itu bohong. Kiki bisa melihat kedua mata Naina berkaca-kaca dan siap menangis. Kiki menghela nafas. Melirik kembali jam tangannya. Masih ada waktu cukup panjang.
"Kita mampir sebentar, ya?" Tanya Kiki.
"Terserah Paman." Jawab Naina.
Kiki kembali tersenyum. Mengusap puncak kepala Naina dan kemudian memarkirkan mobilnya di depan kedai ice cream 'miliknya' yang masih tutup. Kiki segera membukakan pintu untuk Naina dam menarik lengan Naina dengan perlahan memasuki kedai ice cream yang masih bertuliskan closed.
"Naina mau ice cream rasa apa?" Tanya Kiki yang kini mengangkat tubuh mungil Naina untuk naik keatas kursi tinggi di depan meja kasir. Dimana pengunjung bisa melihat langsung ice cream buatannya tersaji dengan manis.
"Ini kan masih tutup, Paman."
Kiki untuk kesekian kalinya tersenyum dan meraih celemek lalu mengenakannya dan berjalan menuju posisinya di hadapan Naina dan di depan beberapa rasa ice cream yang baru saja di buat tadi malam sebelum tutup.
"Ini kedai milik Paman. Jadi Naina mau ice cream kapan aja. Paman bisa kasih. Sekarang, Naina mau ice cream rasa apa? Cokelat? Strawberry? Vanilla? At-
"Strawberry aja." Potong Naina cepat.
Kiki menganggukkan kepalanya dan segera meracik ice cream spesial untuk Naina. Sesuai dengan rasa ice cream favorite Naina. Strawberry. Gadis kecil itu memang penggemar berat strawberry.
Hampir lima menit Kiki menyiapkan ice crem yang baru setengah jadi itu. Dan kini, satu gelas ice cream rasa strawberry dengan toping kacang, lecy utuh, dan siraman madu tersaji dengan manis di hadapan Naina.
"Ice cream Strawberry spesial untuk keponakan Paman yang cantik." Ucap Kiki seraya memberikan setangkai mawar merah pada Naina.
"Terima kasih, Paman." Naina memberikan satu kecupan di pipi kanan Kiki dan mulai meraih sendok ice cream. Menyendoknya dengan perlahan. Meskipun begitu tetap saja belepotan dan itu membuat Kiki tertawa pelan melihatnya.
Setidaknya dengan hal ini Naina melupakan kesedihannya sejenak dan berimajinasi dengan rasa manis ice cream yang bercampur dengan madu murni beserta kacang. Meskipun Naina bukan keponakan kandungnya. Kiki sangat menyayangi Naina seperti keponakan bahkan putrinya sendiri.
***
Naina melangkahkan kakinya dengan santai seperti biasanya. Memperhatikan teman-temannya yang terlihat bahagia bersama Ibunya masing-masing. Naina hanya bisa tersenyum miris. Lalu, matanya menatap kearah pagar. Dan senyumnya mengembang.
"Paman Kiki?" Naina berlari menghampiri Kiki yang sudah menjemputnya.
Di sambut pelukan dan usapan manis di puncak kepala membuat Naina tersenyum sangat manis. "Kita pulang, ya? Paman punya kejutan buat Naina."
"Kejutan?"
Kiki menganggukkan kepalanya. Membuka pintu mobilnya dan segera meminta Naina untuk masuk. Kiki mengulum senyumnya. Dan berlari kecil menuju kemudi mobil dan mengantar Naina pulang.
***
"Kamu gak bisa bertindak kayak gini! Ini berlebihan! Itu kamar Naina dan itu hal Naina. Aku sendiri yang nyusun kamar itu dan desain kamar itu bareng Naina! Kamu gak bisa seenaknya ngasih kamar itu buat anak orang lain yang jelas-jelas bukan anggota keluarga kita!"
(Namakamu) hanya menatap datar. Melangkahkan kakinya dengan santai untuk meletakkan majalah. "Kamu baru pulang, Baal. Jangan marah-marah. Lagian kamu bilang kalau kamu pulang dua hari lagi. Kenapa hari ini udah pulang?"
Iqbaal melonggarkan dasi yang mencekik lehernya. Menatap (namakamu) dengan raut wajah kesal dan tidak terima. Masalahnya ini sudah berlebihan di mata Iqbaal. Semua milik Naina, (namakamu) berikan pada Shafira begitu saja.
"Aku sengaja pulang lebih awal dari jadwal karna aku tahu kamu pasti gak bersikap baik sama Naina! Dan benar kan? Kamu tega nyuruh anak kamu tidur di kamar tamu dan ngebiarin anak gak tahu asal usul itu tidur di kamar Naina dan mainin mainan Naina sesuka hat-"
"TUTUP MULUT KAMU! Jangan pernah ngatain Shafira anak gak tahu asal usul!-"
"Kenapa?! Apa yang buat kamu lebih belain anak orang lain di banding anak kandung kamu sendiri?! Apa aku punya salah?! Atau Naina punya salah?! Kalau iya, kamu kasih tahu aku apa salah aku!" Iqbaal tidak tahan lagi. Membentak menjadi satu-satunya pilihan. Melanggar janji pernikahan sudah tidak Iqbaal pedulikan lagi.
Yang terpenting adalah Naina. Malaikat kecilnya yang manis dan cantik. Tidak peduli jika akhirnya (namakamu) besar padanya. Yang penting Naina tetap mendapatkan haknya sebagai putri Dhiafakhri di rumah ini.
Iqbaal menarik nafas panjang dan memejamkan matanya. "Sekarang aku tanya sama kamu... kamu masih cinta sama aku?" Tanya Iqbaal.
"Iya, aku cinta sama kamu. Aku cinta banget sama kamu." Jawab (namakamu) cepat. Matanya terlihat mulai berkaca-kaca saat ini. Mungkin wanita ini mulai merasakan sesak.
"Kalau kamu cinta sama aku... bisa kamu keluar dari MS Group?"
(Namakamu) menatap Iqbaal intens. Terlihat berfikir dan merasa sesak saat melihat tatapan memohon di mata Iqbaal. Jujur (namakamu) tidak tega melihatnya.
"Maaf aku gak bisa. Sampai kapanpun aku gak bisa keluar dari MS Group." (Namakamu) segera memalingka wajahnya dan mulai melangkah meninggalkan Iqbaal dengan menepis air matanya yang tiba-tiba saja turun. Sejujurnya ia tidak bisa menyakiti Iqbaal.
"Kenapa? Jelasin sama aku, (namakamu). Kenapa? Saat kita nikah delapan tahun lalu kamu udah janji sama aku kalau gak akan ada satu pun rahasia yang kamu sembunyiin dari aku." Tanya dan ucap Iqbaal dengan suara lirih..
(Namakamu) memejamkan matanya dan merasakan dadanya mulai sakit menahan sesak. (Namakamu) memejamkan matanya kuat-kuat untuk menahan tangisnya. Ini pertanyaan yang cukup menyakitkan baginya.
"Maaf aku gak bisa. Suatu saat kamu akan tahu apa alasanku. Maaf, Baal." Lirih (namakamu).
Iqbaal menghela nafas dan menunduk. Hanya mendengarkan suara langkah kaki (namakamu) yang menjauh. Tuhan, apa maksud semua ini? Iqbaal merasa lelah. Sangat lelah. (Namakamu) juga mengingkari janji pernikahan mereka.
"Apa ini kejutannya, Paman?"
Kiki dan Naina berdiri di ambang pintu sejak tadi. Mendengar semua percakapan dan pertengkaran antara Iqbaal dan (namakamu). Dan Kiki bisa merasakan tangan mungil Naina menggenggamnya dengan sangat erat. Dan suara bergetar Naina yang membuat hati Kiki merasakan apa yang Naina rasakan.
"Apa ini kejutannya, Paman?"
Kiki dan Naina berdiri di ambang pintu sejak tadi. Mendengar semua percakapan dan pertengkaran antara Iqbaal dan (namakamu). Dan Kiki bisa merasakan tangan mungil Naina menggenggamnya dengan sangat erat. Dan suara bergetar Naina yang membuat hati Kiki merasakan apa yang Naina rasakan.
***
Naina melemaskan tubuhnya. Membiarkan tubuh mungilnya bersandar pada tubuh Ayahnya. Memperhatikan langit malam yang tidak di hiasi bintang sama sekali. Tampaknya awan mendung sedang memenuhi kota. Sejak sepuluh menit yang lalu, ia dan Iqbaal duduk di balkon kamar Naina. Hanya diam dan bergulat dengan pikiran masing-masing.
"Ayah? Naina boleh nanya?" Naina mulai buka suara. Berharap keheningan ini segera berakhir.
"Boleh."
Naina tersenyum tipis. Sempat melirik wajah Ayahnya yang berada tepat di atas kepalanya. Lalu menghela nafas dan sedikit menunduk. Naina merasa ragu menanyakan hal ini pada Iqbaal.
"Salah gak sih, Yah? Kalau Naina sekarang benci sama Bunda. Naina gak mau punya Bunda kayak Bunda?" Tanya Naina lirih.
Iqbaal menghela nafas dan memejamkan matanya. Semakin mengeratkan kedua lengannya yang melingkar pada tubuh mungil Naina yang kini bersandar pada tubuhnya.
"Salah. Naina gak boleh benci sama Bunda. Naina harus sayang Bunda." Bisik Iqbaal.
"Tapi Bunda gak sayang Naina. Bunda sayang anak itu. Bunda juga gak sayang Ayah." Suara Naina mulai terdengar bergetar di akhir kalimat. Iqbaal hanya tersenyum mendengarnya dan memberikan ciuman lembut di puncak kepala Naina. Lalu kembali memeluk Naina lebih erat.
"Bunda sayang Naina. Bunda sayang Ayah. Naina harus percaya itu." Ucap Iqbaal.
Naina hanya menggelengkan kepalanya. Dan bergerak berputar. Membenamkan wajah manisnya pada dada bidang Iqbaal dan mulai terisak di sana. Iqbaal bisa merasakan kedua tangan mungil Naina mencengkram kemeja yang ia kenakan saat ini.
"Ini cuma sementara, sayang. Ayah yakin Bunda pasti kembali kayak dulu. Bunda pasti akan jauh lebih sayang sama Naina suatu saat nanti." Ucap Iqbaal.
Ucapan Iqbaal sama sekali tak membuat tangis Naina berhenti. Yang ada gadis kecil itu semakin mencengkram kuat kemejanya dan mencoba memyembunyikan isak tangis menyakitkan yang cukup memilukan jika di dengar.
Dan malam ini Iqbaal habiskan untuk menghentikan tangisan Naina dan membuat Naina percaya kalau semuanya akan kembali seperti dulu lagi.
***
(Namakamu) duduk di salah satu kursi yang terdapat di hadapan meja makan. Mendudukan Shafira di pangkuannya dan terlihat menyuapi Shafira semangkok sereal plus susu. Sesekali (namakamu) jahil dengan sengaja membuat Shafira kesal karna salah mengarahkan sendok pada hidung. Dan itu berakhir dengan tawa manis keduanya.
(Namakamu) mengalihkan pandangannya. Menatap Naina yang pagi ini sudah rapi dengan seragam sekolahnya dan berdiri di anak tangga terakhir. Naina menatapnya dengan wajah muram seperti biasa.
"Ini susu pagi ini, sayang."
Pandangan (namakamu) kini terhalangi tubuh Iqbaal yang berdiri tepat di hadapan Naina dan memberikan segelas susu pada Naina. (Namakamu) menghela nafas dan kembali dengan aktifitasnya bersama Shafira.
"Kita berangkat sekarang aja, ya?"
Naina menatap Iqbaal yang kini tersenyum kearahnya. Tanpa Iqbaal katakan pun Naina bisa melihat dengan jelas gurat kelelahan di wajah Iqbaal. Dan itu membuat Naina di serang rasa tidak tega jika Ayahnya mengantarnya sekolah hari ini.
"Naina berangkat pake taksi aja, Yah. Ayah istirahat aja." Ucap Naina seraya meletakkan gelas yang masih menyisakan setengah gelas susu putih di atas meja yang terletak tak jauh dari tangga dengan vas bunga besar di atasnya.
"Ayah gak capek. Lagian sejak kapan Naina naik taksi sendiri? Pokoknya Ayah anterin." Iqbaal segera meraih lengan Naina dan menariknya dengan lembut meninggalkan rumah dengan pemandangan manis di meja makan.
Naina mengalihkan pandangannya. Melirik kearah (namakamu) yang saat ini kembali sibuk dengan Shafira yang entah sampai kapan tinggal di sini dan menginjak-injak hak-nya sebagai Nona Dhiafakhri di rumah ini.
***
Steffi menutup ruangan Iqbaal setelah selesai meletakan berkas yang harus Iqbaal selesaikan. Kembali ke posisinya dan kembali bekerja. Kemarin ia sama sekali tak menemui Naina. Steffi merasa malas datang kerumah itu karna (namakamu) pasti ada di rumah, mengingat bocah kecil itu masih ada di rumah Iqbaal.
"Kenapa kemarin telfonnya gak di angkat?"
Steffi hampir saja berteriak saat sebuah kepala tiba-tiba saja muncul di hadapannya dengan sebuah pertanyaan. Steffi menghela nafas dan menggelengkan kepalanya dengan samar.
"Maaf, Pak Iqbaal. Kemarin saya sibuk." Jawab Steffi.
Steffi melihat Iqbaal menghela nafas dan tegak berdiri. Dan Steffi bisa melihat kalau Iqbaal masih memperhatikannya.
"Kemarin... kamu gak nemuin Naina? Padahal Naina bilang dia kangen sama kamu." Tanya dan ucap Iqbaal lagi.
"Sekali lagi maaf, Pak. Tapi sepertinya Anda harus melihat jabatan saya di perusahaan ini. Saya seorang sekertaris. Bukan baby sister." Ucap Steffi. Wajah cantiknya tampak sangat serius. Mirip para sekertaris pada umumnya dan tidak seperti Steffi yang sebelumnya.
"Aku gak pake bahasa formal-"
"Meskipun begitu Anda adalah atasan saya, direktur perusahaan ini. Dam sudah sepantasnya saya menghormati Anda dengan berbicara sopan. Saya hanya tidak ingin mendapat julukan tidak mengenakan seperti yang di katakan Nyonya (namakamu)."
Iqbaal menautkan alisnya. Julukan tidak mengenakan dari (namakamu)? Iqbaal mencondongkan tubuhnya untuk melihat wajah serius Steffi yang kini terfokus pada layar monitor di hadapannya dan sibuk menyelesaikan tugas-tugasnya.
"(Namakamu) bilang apa sama kamu?" Tanya Iqbaal.
"Akan lebih baik jika Anda bertanya langsung pada Nyonya (namakamu) tentang apa yang sudah beliau katakan pada saya."
Iqbaal kembali menghela nafas dan menegakkan kembali tubuhnya. Steffi tampaknya sedang tidak baik. Terlihat marah tapi cara bicaranya masih lembut. Iqbaal menganggukkan kepala tanpa berucap apapun. Mulai berfikir akan menghubungi (namakamu) dsn meminta penjelasan tentang apa yang Steffi katakan.
***
Aldi terdiam. Menatap pada sebuah benda yang selalu membuatnya tersenyum saat melihat isinya. Itu hal manis bagi Aldi. Tapi sepertinya tidak bagi orang lain yang melihatnya. Dan komentar menjijikan pasti akan ia dapat ketika ada yang melihatnya.
"Maaf kalau akhirnya akan ada yang tersakiti sama hal ini (namakamu). Maaf kalau akan ada yang kecewa. Tapi... aku gak bisa nahan semuanya. Shafira sayang banget sama kamu dan berkali-kali bilang sama aku buat jadiin kamu Ibu-nya. Tapi aku gak bisa. Aku gak mau ngerusak rumah tangga kamu sama Iqbaal."
Aldi melunturkan senyumnya saat mengingat bahwa (namakamu) sudah memiliki keluarga. Aldi memejamkan matanya. Tidak adakah cara lain yang lebih manis selain ini?
Aldi kembali membuka matanya dan menganggukkan kepalanya secara samar. Ia mantap dengan apa yang ada di fikirannya. Jemarinya mulai bergerak di atas keyboard. Membuka sebuah situs online dan mulai berjelajah di sana. Masa bodo jika ada yang mengatainya gila atau semacamnya. Aldi tidak peduli itu.
***
Naina pulang dengan di jemput Kiki lagi. Sempat mampir ke kedai ice cream milik Kiki dan menikmati ice cream strawberry kesukaannya. Naina melihat rumahnya kosong. Sepertinya (namakamu) dan Shafira pergi. Naina menarik nafas panjang. Menaiki tangga dan menuju kamarnya untuk beristirahat di dalam kamar Ayahnya.
Suara telepon menghentikan langkah mungil Naina. Dengan perlahan ia kembali turun dan segera menerima telepon yang masuk.
"Halo?"
'Naina... jangan buka tivi ya? Ayah mohon.'
Naina menautkan alisnya. Suara Iqbaal bergetar dan berat.
"Ayah kenapa?" Naina terlihat khawatir saat ini. Menggenggam gagang telepon dengan cukup kuat.
'Ayah baik-baik aja. Naina jangan buka tivi. Jangan buka youtube. Jangan buka sosial media... Ayah mohon.'
"Ee, iya, Yah. Naina gak akan buka."
'Terima kasih, sayang.'
Naina hanya menganggukkan kepalanya. Dan sambungan telfon itu terputus. Naina meletakkan kembali gagang telepon itu dan melangkah dengan alis bertaut. Ada apa? Itu yang kini memenuhi benak Naina.
***
Iqbaal menjambak rambutnya kasar. Tidak percaya dengan pemberitaan salah satu media dan sebuah video youtube yang ternyata baru di unggah tadi pagi. Iqbaal masih sangat tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Sangat sulit di percaya.
Steffi mengalihkan pandangan kearah Kiki yang berdiri di sebelahnya. Sesekali melirik kearah layar monitor Iqbaal yang masih menampilkan sebuah gambar dan video. Steffi tahu Iqbaal pasti terkejut dengan ini.
"Baal? Lo baik-baik aja kan?" Kiki mencoba bertanya.
Iqbaal hanya diam memejamkan matanya dan menopang keningnya dengan kedua telapak tangannya. Ini terlalu sakit untuk di terima. Iqbaal merasakan nafasnya berat. Dadanya benar-benar sesak. Setelah ini apa yang akan terjadi? Iqbaal harap bukan hal yang buruk.
"Itu pasti cuma kerjaan orang yang iseng. Jangan langsung percaya." Ucap Kiki lagi.
Iqbaal semakin merasakan dadanya sesak. Sakit. Sangat tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Iqbaal sangat yakin setelah ini tidak akan ada yang baik-baik saja. Termasuk Naina.
"Tinggalin gue sendiri." Desis Iqbaal.
Steffi kembali menatap Kiki dan menganggukkan kepalanya. Lalu menarik tangan Kiki. "Kendaliin emosi kamu. Minta penjelasan sama (namakamu) secara baik-baik. Aku yakin semuanya akan baik-baik saja." Ucap Steffi.
Kiki mengangguk menyetujui ucapan Steffi dan detik selanjutnya Steffi berhasil menarik tangan Kiki untuk keluar dari ruangan Iqbaal dan meninggalkan Iqbaal dengan kesendiriannya.
Praang! Iqbaal melempar semua foto (namakamu) yang semula terpajang rapi di atas meja kerjanya. Membiarkan foto itu rusak karna pecahan beling. Membiarkan wajah cantik di foto itu rusak karna pecahan beling.
Kiki dan Steffi hanya bisa menghela nafas mendengarnya. Wajar jika Iqbaal sangat marah dan kecewa. Ini sudah sangat keterlaluan dan kelewat batas.
"Kita harus nemuin Naina. Jangan sampai Naina tahu soal ini sebelum Iqbaal yang ngasih tahu." Ucap Kiki.
Steffi sempat menunduk sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya. "Aku gak pernah nyangka kalau direktur MS Group bisa setega itu ngunggah video itu."
Kiki hanya tersenyum tipis. Nyaris tidak terlihat. Sekarang yang Kiki fikirkan hanya Naina. Gadis kecil itu tidak boleh tahu tentang hal ini. Kecuali Iqbaal sendiri yang memberitahukannya. Kiki hanya tidak mau Naina bersedih atas kasus ini.
***
Shafira melangkahkan kakinya dengan riang dan menggenggam tangan (namakamu) dengan lembut. Melewati berbagai toko. Dan tiba-tiba langkah (namakamu) terhenti saat sampai di depan sebuah toko televisi yang menampiln satu channel tivi nasional. Sebuah berita yang akhirnya membuat jantungnya lepas dari rongganya.
'Video asusila itu tersebar luar beberapa jam setelah di unggah. Sampai saat ini kami belum bisa menghubungi direktur dari MS Group dan istri dari direktur Dhiafakhri Group atas kasus ini.'
(Namakamu) bisa mendengarnya dengan jelas dan sebuah video yang di putar dan di blur secara penuh. (Namakamu) segera melepaskan genggaman tangan Shafira dan meraih ponselnya. (Namakamu) mulai mencari sebuah kontak.
Kasus ini jelas menyita banyak perhatian publik. Mengingat MS Group dan Dhiafakhri Group adalah dua perusaha paling berpengaruh di Indonesia dan perusahaan paling maju di Indonesia.
"Tante? Itu kan foto Papa sama Tante? Kenapa ada di tivi?" Tanya Shafira.
(Namakamu) menutup teleponnya setelah berkali-kali tak ada jawaban sama sekali. (Namakamu) menepis air matanya. Ia tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Ia tidak pernah berfikir bahwa ini akan terungkap secepat ini.
Sekarang, (namakamu) sangat berharap Iqbaal atau pun Naina tidak melihatnya!
***
Iqbaal melangkahkan kakinya dengan pelan menapaki satu per satu anak tangga rumahnya. Rumahnya kosong karna Kiki dan Steffi sudah mengajak Naina pergi keluar. Berkali-kali Iqbaal mengusap wajahnya dengan kasar. Mencoba untuk tidak percaya dengan kenyataan.
Terduduk di tepi kasur dengan wajah menunduk dan prustasi. Iqbaal memilih untuk tidak menyalakan lampu dan membiarkan semuanya gelap. Ini akan membuat keadaannya menjadi lebih baik.
Braak! Iqbaal memejamkan matanya saat pintu kamarnya terbuka dengan sangat kasar dan langkah kaki yang mendekat. Iqbaal memalingkan wajahnya. Meskipun gelap. Ia bisa melihat wajah siapa yang kini berada di hadapannya melalui cahaya yang masuk dari celah-celah ventilasi di kamar ini.
"Maaf."
Iqbaal menarik nafas panjang dan mencoba menahan sesaknya. Terlebih suara bergetar dari bibir manis istrinya terdengar memukul gendang telinga dan relung hatinya. Dan kali ini Iqbaal merasakan kedua lengan (namakamu) memeluk kedua kakinya dan menyandarkan kepalanya pada dengkul Iqbaal.
"Apa ini yang kamu maksud? Apa ini yang nyebab-in sifat dan sikap kamu berubah ke aku dan Naina?" Tanya Iqbaal. Suara masih terdengar pelan. Tapi (namakamu) tahu kalau Iqbaal sangat kecewa padanya.
"Aku... aku minta maaf, Baal. Aku gak bermaksud khianatin kamu. Tapi itu terjadi gitu aja. Aku minta maaf." Lirih (namakamu). Isak tangisnya mulai terdengar kencang. Menandakan bahwa ia menyesal.
"Apa maaf kamu bisa ngembaliin semuanya? Aku udah gagal bimbing kamu jadi istri yang baik. Aku gagal ngajarin kamu buat jaga diri kamu dari hasutan setan... aku gagal jadi suami yang baik buat kamu." Lirih Iqbaal.
(Namakamu) terlihat memejamkan matanya. Semakin erat memeluk kaki Iqbaal dan meminta maaf pada suaminya. Mengakui bahwa semua ini adalah salahnya. Mengakui bahwa semua ini kesalahan terfatal yang pernah ia buat secara sadar.
"Apa salah aku? Apa salah aku sampai kamu berani lakuin ini ke aku? Kamu sadar? Kamu ngancurin hidup aku. Nyakitin hati aku. Dan nyakitin hati anak aku!" Suara Iqbaal mulai terdengar tegas.
(Namakamu) hanya bisa menggumamkan kata maaf dan maaf. Mulai ada rasa takut saat Iqbaal menepis kedua lengannya dan beranjak. (Namakamu) segera meraih tangan Iqbaal. Tidak akan membiarkan Iqbaal pergi sebelum memaafkannya.
"Aku gak akan ngingkarin janji aku sewaktu aku nikahin kamu dulu. Aku gak akan bentak kamu. Tapi maaf... aku gak pernah janji buat gak benci sama kamu!" Iqbaal segera menepis tangan (namakamu) dari tangannya. Melangkah meninggalkan (namakamu) yang sampai saat ini masih menggumamkan kata maaf.
"Aku mohon maafin aku, Baal. Aku sayang sama kamu. Aku minta maaf!"
Iqbaal bisa mendengar teriakan itu saat Iqbaal sudah menuruni anak tangga. Dan dalam hatinya Iqbaal sudah berkata kalau ia tidak akan pernah bisa memaafkan (namakamu). Tidak akan pernah bisa menerima wanitanya yang ternyata sudah mengkhianatinya sejak dua tahun yang lalu. Dan dengan tanpa dosa wanitanya membuat malaikat kecilnya sakit hati setiap harinya.
***
Naina menuruni anak tangga. Pagi tadi ia di antar pulang Kiki. Naina merasa cukup senang karna akhirnya Shafira pulang ke rumahnya sendiri dan Naina bisa menempati kamarnya lagi. Naina menjenjangkan lehernya untuk melihat aktifitas di meja makan. Dan ia mendapati Ayahnya yang beraktifitas seperti biasa.
"Pagi, Ayah?" Naina menghambur dalam pelukan Iqbaal dan terlihat memaksakan sebuah senyuman.
"Pagi, sayang." Serak. Itu yang Naina dengar.
Naina tersenyum tipis. Menggerakkan lengannya untuk meminta Ayahnya menekuk lutut dan mensejajarkan tingginya. Dan Iqbaal menurut.
"Kenapa?" Tanya Iqbaal seraya tersenyum.
Naina tersenyum. Matanya mulai kembali berkaca-kaca. Jemari mungilnya mulai menelusuri kedua pipi Iqbaal dan menyentuh mata dengan lingkaran panda yang terlihat memprihatinkan.
"Ayah jangan sedih. Naina tahu Ayah gak bisa terima semua ini. Naina tahu semuanya, Yah. Naina tahu semua tentang Bunda. Naina ngerti perasaan Ayah. Tapi Naina salut sama Ayah yang gak marahin Bunda. Naina cuma berharap Ayah sama Bunda gak akan pisah cuma gara-gara ini. Ayah bener. Naina gak benci sama Bunda. Naina sayang sama Bunda. Dan Naina gak mau gara-gara masalah ini Ayah sama Bunda pisah. Naina yakin. Ada jalan terbaik di tengah masalah ini."
Naina membiarkan air matanya terus turun mengingat seberapa besar kesalahan yang sudah di buat Ibu-nya. Naina bahkan tidak menghapus air matanya sama sekali. Kedua tangan mungilnya masih mengusap-usap lingkaran panda di sekitar mata Iqbaal.
"Naina tahu semuanya?" Tanya Iqbaal.
Naina menganggukkan kepalanya. Dan memejamkan mata saat memori otak kecilnya kembali berputar pada hari kemarin. Di mana ia tidak menuruti perintan Ayahnya untuk tidak menonton televisi atau pun youtube.
"Naina tahu Ayah sakit sama semua ini. Tapi Naina mohon jangan turutin hati Ayah. Naina tahu isi hati Ayah. Naina gak mau, Yah." Lirih Naina lagi.
Iqbaal menepis bulir air mata dari kedua pipi malaikatnya. Tersenyum miris dan menatap dalam mata Naina. "Semua pasti akan baik-baik aja." Ucap Iqbaal.
"Tapi Naina gak mau, Ayah! Naina cuma mau Ayah sama Bunda! Jangan, Ayah! Naina mohon." Naina mulai menangis kencang layaknya anak kecil pada umumnya. Tidak seperti tadi yang tertahan.
"Percaya sama Ayah kalau itu yang terbaik, sayang. Ayah yakin semua akan baik-baik saja." Iqbaal mengakhiri ucapannya dengan sebuah kecupan di kening Naina dan di lanjutkan pelukan hangat. Membiarkan air mata Naina membasahi kemejanya dan membuat kemejanya kotor. Iqbaal tidak pernah memperdulikan hal itu.
Iqbaal mendengar suara ketukan stiletto yang terdengar cukup keras. Iqbaal melihat kearah tangga. (Namakamu) turun dengan pakaian kantornya yang rapi. Raut wajahnya bahkan sudah berubah. Seperti biasanya.
"Wartawan gak ada yang tahu alamat rumah kita kan?" Tanya (namakamu) dengan sesekali membenarkan posisi jam tangannya.
"Aku pulang malam. Dan masalah ini... aku harap kamu bisa lupain. Lagian ini juga hal biasa. Aku kan udah nikah duluan sama kamu. Jadi gak ada yang rugi di sini.... aku pergi." Lanjutnya.
Kata-kata yang terucap sangat santai dan tanpa beban membuat Iqbaal tak percaya. Itukah istrinya? Hanya merasa bersalah ketika ia marah? Dan beberapa jam setelahnya akan kembali santai tanpa memikirkan seberapa sakit hatinya Iqbaal? Oh Tuhan! Bisakah bunuh Iqbaal sekarang?
"Ayah jangan dengerin Bunda. Pokoknya Ayah gak boleh lakuin! Kalau sampai Ayah lakuin itu... Naina bakal benci sama Ayah!" Naina menatap Iqbaal penuh harap. Berharap Ayahnya tidak menuruti kata hatinya. Naina tidak ingin itu terjadi.
Iqbaal menunduk. "Maaf."
"Ayah jangan dengerin Bunda. Pokoknya Ayah gak boleh lakuin! Kalau sampai Ayah lakuin itu... Naina bakal benci sama Ayah!" Naina menatap Iqbaal penuh harap. Berharap Ayahnya tidak menuruti kata hatinya. Naina tidak ingin itu terjadi.
Iqbaal menunduk. "Maaf."
***
(Namakamu) menundukkan kepalanya. Memakai kaca mata hitam dan syal merah. Berlari kecil menghindari kerumunan orang-orang yang menamakan diri mereka sebagai reporter dan wartawan.
"Nyonya (namakamu). Bisa minta waktu Anda sebentar? Kami hanya perlu penjelasan Anda tentang video yang beredar luas di masyarakat saat ini. Apa benar bahwa Anda berselingkuh dari suami Anda?"
"Apakah semua itu Anda lakukan demi mempertahankan posisi Anda sebagai manager terbaik MS Group?"
"Apa yang Anda pikirkan saat Anda berani melakukan hal itu?"
"Apa Anda tidak sadar bahwa hal ini sangat merusak citra Anda sebagai istri direktur Dhiafakhri Group dan juga citra pak Aldi sebagai pemilik dari MS Group dan sekaligus pelaku utama dalam video asusila yang saat ini beredar?"
(Namakamu) menggeram kesal. Merasakan kedua telinganya panas. (Namakamu) tidak akan pernah bersuara dan memilih untuk segera masuk ke dalam lobby kantor dan meninggalkan kerumunan manusia cerewet yang terus bertanya dan meneriaki namanya.
"Selamat pagi?"
(Namakamu) mengalihkan pandangannya. Mendapati seorang laki-laki tampan di berdiri di hadapannya dengan senyum manis tanpa ada sedikit pun beban.
"Pagi, Al." (Namakamu) segera melepas kaca mata dan syal merah yang mengalung di lehenya. Lalu mengayunkan kedua kakinya secara beriringan bersama Aldi.
"Pagi ini rasanya spesial. Banyak manusia cerewet di depan kantor." Ucap Aldi yang di akhiri dengan kekehan kecil.
(Namakamu) menganggukkan kepalanya dan segera masuk ke dalam lift bersama Aldi. Keduanya terlihat biasa saja. Seperti tidakada beban sama sekali bahkan seperti tidak merasa bersalah sama sekali.
"Kamu... marah gak soal video itu?" Tanya Aldi.
"Marah? Kenapa harus marah. Kan kita udah biasa kayak gitu. Udahlah. Itu cuma orang-orang aja yang terlalu lebay lihat video itu. Lagian kan sebelum kita kayak gini, aku udah nikah sama Iqbaal. Jadi kalau pun aku hamil, aku gak perlu takut. Karna aku punya suami." Jawab (namakamu).
Aldi tersenyum mendengar penjelasan (namakamu). Entahlah, ia rasa (namakamu) mulai menaruh perasaan padanya. Itu terbukti dengan tidak marahnya (namakamu) jika ia menyebar video itu. Bahkan wanita itu juga tidak pernah menolak jika ia ingin mengabadikam moment yang menurut Aldi 'penting'. Dan kenyataannya (namakamu) bukan hanya wanita milik Iqbaal. Tapi miliknya juga.
***
Iqbaal menatap benda yang di pegangnya. Antara yakin dan tidak. Iqbaal memejamkan matanya, mencoba mencari opini lain untuk tidak melakukan ini. Tapi suara decitan pintu membuat Iqbaal segera membuka mata dan menyimpan benda itu di dalam lagi mejanya sebelum seseorang itu melihat.
"Di luar banyak wartawan. Apa lo gak mau nemuin mereka sebentar? Keberadaan mereka mengganggu kenyaman kerja."
Iqbaal menghela nafas. Menegakkan duduknya dan menatap Kiki yang kini berdiri di hadapannya. "Usir mereka. Bukan maksud gue gak mau nemuin mereka dan jelasin semuanya. Tapi karna gue gak tahu apa-apa. Dan gue gak mau konsetrasi kerja gue terganggu karna mereka... gue harus tunggu (namakamu) buat bikin conferensi pers. Cuma (namakamu) sama Aldi yang bisa jawab semuanya." Ucap Iqbaal.
Kiki menganggukkan kepalanya mengerti. Menghela nafas dan menarik kursi. Sebelum ia pergi. Ia ingin menanyakan keadaan Iqbaal hari ini. Pasalnya, saat Iqbaal datang. Ia melihat Iqbaal yang begitu lemas. Dugaan sementara Kiki adalah Iqbaal syok dengan kabar ini.
"Lo gak papa kan?" Tanya Kiki.
Iqbaal hanya menganggukkan kepalanya. Melepaskan nafas berat dan menunduk. Otaknya yang pintar masih terus di penuhi dengan pemberitaan kemarin siang tentang (namakamu). Itu membuat Iqbaal merasa pusing dan lelah.
"Tapi kayaknya hari ini lo lemes banget. Kalo gitu nanti gue aja yang jemput Naina." Ucap Kiki lagi.
Iqbaal hanya menganggukkan kepalanya dan kembali bersandar pada sandaran kursi besar yang ia duduki saat ini.
"Steffi bilang hari ini dia yang mau jagain Naina."
Hanya sekedar basa basi. Tidak ada obrolan yang lebih penting. Dan Iqbaal hanya menganggukkan kepalanya untuk membalas ucapan demi ucapan yang Kiki lontarkan. Iqbaal hanya merasa tidak percaya dengan kenyataan yang ada di hadapannya. Sama sekali tidak percaya.
***
Naina terduduk di halte yang biasa ia duduki saat menunggu jemputan yang datang terlambat. Naina duduk di sini sejak sepuluh menit yang lalu dan melamun. Naina sempat membuka ikatan di rambutnya dan membiarkan rambut panjangnya menutupi wajahnya yang kini berhias malu.
Naina pikir hal ini tidak akan berdampak pada pergaulannya di sekolah dan hanya berdampak padanya dan Ayahnya. Tapi sayangnya Naina salah. Teman-temannya menjauhinya karna pemberitaan miring tentang Ibunya yang berselingkuh di belakang Ayahnya. Bahkan orang tua teman-temannya secara terang-terangannya menyindir Ibunya di depannya secara langsung dan mengatakan bahwa Ibunya adalah wanita jalang yang gila harta.
Itu jelas menyakitkan. Orang-orang memandang ibunya dengan sebelah mata. Terlebih tuduhan bahwa ibunya adalah wanita gila harta. Naina sempat mengumpat di dalam hatinya dan mengatakan bahwa ibunya bukan wanita seperti itu. Tapi , bukti ada di depan mata. Dan Naina sama sekali tak bisa mengelak untuk membela ibunya yang mulai saat ini akan selalu mendapat cibiran dari semua orang.
Naina mulai menggerakkan tangannya dan mengusap pipinya yang mulai basah. Yang Naina fikirkan saat ini adalah Iqbaal. Naina tidak tahu bagaimana perasaan Ayahnya saat ini. Apa rasa sakit Ayahnya sama dengan rasa rakit yang ia rasakan saat ini? Naina bahkan tidak bisa membayangkannya.
Saat Naina mulai tertunduk lebih dalam dan isak tangis mulai terdengar. Sebuah tangan terulur dengan memberikan satu cup kecil ice cream strawberry saus cokelat. Naina menengadahkan kepalanya. Menatap siapa yang saat ini duduk di sampingnya dan mengulurkan ice cream padanya.
"Tante Steffi?" Desis Naina.
Steffi. Saat ini duduk di samping Naina. Sebenarnya ia sudah duduk di samping Naina sejak tiga menit yang lalu. Dan ia lebih memilih memperhatikan Naina sejenak sebelum menyerahkan ice cream yang baru saja ia beli.
"Tante udah pernah bilang kan sama kamu kalau kamu gak boleh nangis? Maaf beberapa hari yang lalu Tante marah sama kamu karna Bunda kamu? Ini Tante bawain Ice cream. Di makan. Habis itu ikut Tante, ya?"
Naina meraih ice cream dari tangan Steffi lalu kembali menatap Steffi dengan tatapan bertanya.
"Ikut Tante jalan-jalan. Dan nanti Naina tidur di rumah Tante, ya? Naina harus tahu kalau Ayah butuh waktu buat sendiri. Biarin Ayah kamu sendiri dulu. Besok biar Tante yang anterin kamu sekolah." Ucap Steffi.
"Tapi kasian kalau Ayah sendirian, Tante. Nanti kalau Ayah kenapa-kenapa gimana?"
Steffi tersenyum tipis mendengar ucapan Naina. Tangan Steffi bergerak mengusap lembut rambut Naina dan memberikan kecupan manis di kening gadis kecil itu.
"Biarin Ayah selesain masalahnya sama Bunda. Naina ngerti kan maksud Tante?"
Naina butuh waktu beberapa detik untuk menganggukkan kepalanya dan mendapat pelukan dari Steffi. Naina balas memeluk. Ia tidak pernah merasakan pelukan senyaman ini kecuali pelukan Ayahnya yang super nyaman.
***
Iqbaal kembali membiarkan kamarnya gelap. Iqbaal memang masih belum tidur dan sibuk melamun. Di tangannya ada sebuah benda yang akan mengubah hidupnya. Terutama rumah tangganya.
Getaran ponsel membuat lamunan Iqbaal buyar. Iqbaal menatap layar ponselnya yang saat ini menampilkan nama seseorang. Iqbaal segera menggeser tombol hijau yang tertera di layar ponselnya.
'Baal? Aku pulang kerumah Aldi. Shafira butuh aku. Dan... aku gak pulang!'
"Gak perlu ngomong. Bukannya kamu udah sering kayak gini?"
'Bagus deh kalo kamu tahu. Dan bilang sama Naina-'
"Naina di rumah Steffi!" Potong Iqbaal cepat.
Hening.
Iqbaal tidak mendengar suara (namakamu) setelah memberitahukan keberadaan Naina. Butuh waktu sekitar lima sampai sepuluh detik untuk (namakamu) kembali bersuara.
'Aku bakal jemput Naina!' Bentak (namakamu).
"Bu-"
Tuut tuut tuut... Iqbaal menghela nafas. Sambungan telfonnya terputus begitu saja setelah (namakamu) membentaknya. Iqbaal memejamkan mata. Menggenggam lebih erat benda yang ada di tangannya. Iqbaal harus melakukan ini agar semua orang tidak menghina (namakamu) lagi.
***
Naina bertepuk tangan kecil saat Steffi kembali dengan sepiring spagetti lezat yang siap di santap. Saat ini Naina terduduk di meja makan rumah Steffi dan menikmati kebersamaan bersama Steffi.
"Di makan, ya? Habisin. Ini spesial buat Naina." Ucap Steffi yang baru saja memasangkan sapu tangan ke dua paha Naina agar baju Naina tidak kotor jika ada makanan yang terjatuh.
"Makasih, ya, Tante." Naina segera meraih sendok dan garpu untuk menikmati spagetti buatan Steffi.
Steffi tersenyum. Senang rasanya bisa melihat Naina makan selahap ini dan tidak mengingat (namakamu) sama sekali. Menurut Steffi itu lebih baik. Karna memang harusnya gadis sekecil Naina tidak memikirkan permasalah yang terjadi di antara kedua orang tuanya.
Suara bel yang berdenting membuat pandangan Steffi beralih fokus. "Naina tunggu di sini, ya? Tante buka pintu dulu."
"Naina ikut Tante!" Naina segera turun dari kursinya dan berlari menghampiri Steffi yang sudah sampai di depan pintu.
Steffi segera menarik handle pintu dan membuka pintu tersebut. Dan senyuman Steffi menghilang saat melihat siapa yang bertamu di rumahnya malam ini. Steffi segera menatap Naina yang kini bersembunyi di balik punggungnya dan menggenggam ujung baju Steffi denga kuat bahkan terkesan menarik.
"Ngapain lo kesini?" Tanya Steffi ketus.
"Gue mau jemput Naina! Dia gak boleh ada di rumah lo!"
Steffi kembali melirik Naina yang semakin mencengkram kuat baju yang Steffi kenakan saat ini dan kembali menatap wanita yang kini berdiri di hadapannya dengan angkuh.
"Naina pulang!!" Bentakan itu meluncur dari bibir (namakamu) saat melihat Naina mengintip dari balik punggung Steffi.
"Enggak. Naina mau di sini sama Tante Steffi." Lirih Naina.
(Namakamu) berdecak kesal. Melangkah mendekat kearah Steffi dan mengulurkan tangannya untuk meriah tangan Naina secara kasar sehingga Naina berada di sampingnya. Perlakuan itu tentu membuat Steffi menggeram kesal.
"Lo itu kenapa selalu kasar sama Naina?! Lo bisa bujuk dia baik-baik kan?!" Bentak Steffi.
(Namakamu) menggenggam. Tepatnya mencengkram. Tangan Naina dengan kuat dan membuat Naina mulai meringis. Naina menatap Steffi dengan tatapan meminta tolong dan mata berkaca.
"Dia anak gue! Gue berhak mau apain dia! Dan lo! Lo cuma orang asing yang coba ngerusak rumah tangga gue sama Iqbaal!" Bentakan itu kembali terdengar.
Steffi membulatkan matanya? (Namakamu) menuduhnya sebagai penghancur rumah tangga (namakamu) dan Iqbaal? Steffi tersenyum miring dan sinis.
"Lo nuduh gue yang ngancurin rumah tangga lo sama Iqbaal?! Lo punya kaca gak, sih? Lo ngaca dong yang ngancurin rumah tangga lo sama Iqbaal itu siapa?! Elo sendiri!!"
(Namakamu) merasa ada yang ingin meledak di dalam rongga dadanya. Steffi tidak mau di salahkan. Tapi (namakamu) merasa kalau kehadiran Steffi lah yang membuat hubungannya dengan Iqbaal menjadi hancur seperti ini.
"Semua ini karna lo yang masuk ke dalam kehidupan gue sama Iqbaal!" Bentak (namakamu).
Steffi tersenyum miring dan bersindekap dada. "Gue? Lo masih aja gak nyadar kalau lo itu gak lebih dari sampah dan pantes di sebut jalang!" Ucap Steffi sinis.
"LO!!"
"Fakta kan? Lo itu jalang! Mana ada seorang istri yang berani melakukan hubungan intim bersama laki-laki lain di saat perempuan itu masih berstatus sebagai istri! Apa lo gak sadar kalau lo itu udah berzina di belakang Iqbaal dan ngancurin rumah tangga lo sendiri!!" Bentak Steffi.
Nafas (namakamu) terlihat mulai semakin memburu. Genggaman tangannya pada tangan Naina dan berhasil membuat gadis kecil itu berteriak kesakitan. (Namakamu) merasa harga dirinya di injak-injak oleh Steffi secara kejam.
(Namakamu) merasa hatinya panas dan dirinya yang sangat ingin meledak dan memukul Steffi karna semua ucapannya. (Namakamu) segera memutar tubuhnya dan menarik Naina dengan kasar.
"Tante!" Teriak Naina.
Steffi tersadar bahwa Naina di tarik paksa (namakamu) saat ini. Steffi segera melangkahkan kakinya dan berhasil meraih tangan Naina yang masih bebas. Menariknya dan menghentikan langkah (namakamu).
"Naina tetap di sini!" Tegas Steffi.
"Naina anak gue! Gue yang berhak atas Naina! Sekarang lepasin Naina atau lo gue tuntut ke pengadilan!" Bentak (namakamu) lagi.
"Tante lepasin. Biarin Bunda bawa Naina. Di rumah ada Ayah. Naina gak papa, Tante." Lirih Naina.
"Lo denger kan?!" (Namakamu) segera membuka pintu mobilnya dan memaksa Naina masuk ke dalam mobil.
Steffi terpaksa melepaskan Naina karna Naina sendiri yang minta. Steffi memejamkan mata dan menghela nafas. Mencoba meredam emosinya yang sudah mencai ubun-ubun. Tidak rela sebenarnya membiarkan Naina pulang bersama wanita iblis itu. Steffi segera meraih ponselnya dan mencari kontak nama Iqbaal. Mungkin ia akan memberitahu laki-laki itu bahwa Naina di bawa pulang (namakamu).
***
"Bunda udah bilang jangan berhubungan lagi sama Tante Steffi! Kenapa kamu gak bisa nurut sama Bunda?!" Bentakan itu menggema memenuhi seluruh sudut ruangan.
(Namakamu) menekuk lututnya. Mencengkram dagu Naina dan meminta gadis kecil itu untuk segera menjawab. Tapi yang ada Naina malah semakin kencang menangis dan mengatakan bahwa ia merasa kesakitan.
"JAWAB! KAMU ITU GAK BISU NAINA!!" Bentakan kasar itu segera melukai hati Naina yang mendengarnya.
"Naina... sayang... Tante Steffi. Dan Tante Steffi sayang sama Naina... gak kayak Bunda... jahat!" Ucap Naina lirik.
(Namakamu) merasa kupingnya panas mendengar jawaban Naina. Cengkraman dagu itu terlepas dan beralih mencengkram tangan Naina seperti sebelumnya dan meremasnya dengan sangat kuat. Hal itu tentu membuat Naina berteriak kesakitan.
"Ayaah!!" Naina berharap Iqbaal ada di kamarnya dan mendengar teriakannya.
Naina memejamkan matanya karna (namakamu) yang seperti sangat marah dan melampiaskan kemarahannya pada Naina.
"Aku udah bilang jangan pernah kasar sama Naina!" Bentakan lain menggema bersamaan dengan terhempasnya tangan Naina.
Naina membuka matanya dan melihat Iqbaal berdiri di hadapan (namakamu). Naina segera bersembunyi di balik punggung Iqbaal. Menatap pergelangan tangannya yang memerah dan terasa sangat sakit.
"Aku gak suka dia berhubungan sama Steffi!"
"Kenapa?! Kamu aja deket sama Shafira! Kenapa Naina gak boleh deket sama Steffi?!" Iqbaal balas membentak.
"Steffi itu peng-"
"Kamu sendiri yang ngancurin keluarga kita! Kamu selingkuh di belakang aku! Sayang sama anak lain tapi benci sama Naina! Dan parahnya kamu udah berani berhubungan intim sama laki-laki lain yang bukan muhrim kamu!! Apa itu gak cukup bukti kalau kamu yang udah ngancurin pernikahan kita yang udah jalan delapan tahun?!"
(Namakamu) bungkam. Mulai menyadari bahwa yang di ucapkan Iqbaal semuanya benar. Ia memang menyayangi Shafira dan melupakan Naina. Ia lebih menyayangi Aldi dan mengabiskan waktu bersama Aldi di banding Iqbaal. Semua itu adalah kenyataannya.
"Aku harap kamu introspeksi diri! Dan lihat kalau semua ini kesalahan kamu! Bukan orang lain!" Ucap Iqbaal tegas.
"Kita naik Naina." Iqbaal segera menggendong Naina dengan lengan kanannya. Membawa Naina masuk kedalam kamarnya untuk beristirahat. Tidak peduli dengan (namakamu) yang saat ini masih terdiam di tempatnya.
Dan suara stiletto yang melangkah menjauh menuju pintu keluar. Iqbaal memutar kepalanya dan melihat (namakamu) yang menjauh keluar dari rumah ini. Iqbaal hanya menggelengkan kepalanya. (Namakamu) pergi lagi dan Iqbaal tidak perlu bertanya kemana istrinya itu akan pergi. Yang pasti kerumah laki-laki yang mungkin sudah menggeser posisinya di hati (namakamu).
***
Aldi membenarkan jasnya dan tersenyum tipis. Lalu, menarik kursi resto dan berhadapan dengan...
"Ada apa Anda meminta saya datang ke sini... Pak Iqbaal?" Tanya Aldi.
Iqbaal tidak tersenyum sama sekali. Sempat melirik kearah sisi kanannya. Naina. Gadis kecil itu menatapnya dengan mata berkaca dan memohon pada Iqbaal.
Iqbaal menghela nafas. Merogoh saku celananya dan menunjukkan benda yang sejak kemarin membuat hatinya sangat hancur. Lalu meletakkannya di atas meja di hadapan Aldi.
"Saya ingin melamar Anda... untuk istri saya."
Iqbaal tidak tersenyum sama sekali. Sempat melirik kearah sisi kanannya. Naina. Gadis kecil itu menatapnya dengan mata berkaca dan memohon pada Iqbaal.

Iqbaal menghela nafas. Merogoh saku celananya dan menunjukkan benda yang sejak kemarin membuat hatinya sangat hancur. Lalu meletakkannya di atas meja di hadapan Aldi.


"Saya ingin melamar Anda... untuk istri saya."


Aldi membulatkan matanya saat mendengar ucapan Iqbaal. Terlebih saat melihat benda bundar berkilau dan sebuat benda kecil panjang yang kini berada di atas meja di hadapannya. Aldi sempat melirik kearah Naina yang kini memeluk Iqbaal dari samping tanpa mendapat balasan dari Iqbaal.


"A-Anda?" Aldi menghentikan kata-katanya. Lalu matanya kembali menatap apa yang kini ada di hadapannya. 


"Anda sudah menghamili istri saya. Dan Anda harus bertanggung jawab. Jika saja video... Hhh mesum itu tidak tersebar. Mungkin saya tidak akan pernah tahu jika Anda yang sudah menghamili istri saya san saya pasti akan beranggapan jika itu adalah anak saya. Tapi... kenyataannya itu adalah bayi Anda. Jadi Anda yang harus bertanggung jawab." Ucap Iqbaal menjelaskan.


Aldi terdiam. Hamil? (Namakamu) hamil? Dengannya? Aldi masih tidak percaya jika hubungan itu membuahkan hasil yang luar biasa untuknya. Perlahan namun pasti, Iqbaal bisa melihat Aldi tersenyum. Dan apakah ada yang tahu bahwa senyuman itu sangat melukai hati Iqbaal dan Naina?


***


Iqbaal terduduk di pojok kamarnya. Di tempat paling gelap saat malam tiba dan paling gelap saat ia tidak menyalakan lampu sama sekali. Adakah yang tahu kalau Iqbaal saat ini... menangis? Tidak salahkan jika seorang laki-laki menangis karna sakit hati? Semua manusia bebas untuk berekspresi. Jadi tidak ada salahnya jika Iqbaal menangisi kenyataan yang saat ini ia hadapi. Kenyataan terburuk yang pernah ia terima.


Tidak ada hal lain yang Iqbaal lakukan selain melamun dan... menangis. Jujur Iqbaal masih bingung tentang apa kesalahannya pada (namakamu) sampai-sampai wanita itu membombardir dirinya seperti ini. 


Iqbaal mulai menunduk menggenggam rambutnya sendiri dan mulai menjambaknya. Ia sangat berharap Tuhan mencabut nyawanya sekarang. Ini terlalu sakit untuk di terima. Atau lebih baik jika Tuhan memberinya sebuah penyakit agar ia bisa tahu apakah (namakamu) khawatir dan takut kehilangan dirinya atau tidak. Agar ia tahu apakah (namakamu) memang masih mencintainya atau tidak.


Suara decitan pintu terdengar. Tapi Iqbaal tidak beranjak dari duduknya sama sekali. Bahkan ia masih menjambak rambutnya dengan kasar saat lampu utama di kamar ini menyala dengan sangat terang. Lalu di susul suara ketukan sepatu stiletto yang mendekat. Iqbaal tidak peduli dengan semuanya. Yang ia pedulikan hanya hatinya yang saat ini terasa hancur dan tidak bisa merasakan apapun.


Tapi sebuah pelukan hangat membuat Iqbaal semakin memejamkan matanya. Ia mengenali aroma citrus di dekatnya saat ini. Dan ia mengumpat karna tidak mengunci pintu sebelumnya dan membuat (namakamu) melihat keadaannya. 


"Apa salah aku sampai kamu tega giniin aku, (namakamu)?" Tanya Iqbaal lirih. Tidak berniat membalas pelukan (namakamu). Hanya membiarkan wanita itu memeluknya semakin erat.


"Maaf. Kamu sama sekali gak punya salah." Jawab (namakamu). Suaranya mulai terdengar bergetar. 


Iqbaal menghela nafas. Memejamkan matanya dan merasakan lagi rasa sakit yang mulai menjalar sampai ke jantungnya. "Tapi kenapa? Kenapa kamu lakuin ini? Kenapa kamu ngancurin aku? Kenapa kamu ngancurin rumah tangga kita?" Tanya Iqbaal lagi.


(Namakamu) memejamkan matanya dengan perlahan. Merasakan dadanya yang tiba-tiba saja terasa sangat sesak. (Namakamu) mulai merasa menyesal melakukan semuanya. Tapi, semuanya sudah terjadi. Waktu tidak bisa berputar kembali kebelakang. Semua kenyataan harus di hadapi dengan perasaan siap atau tidak siap. Dan Tuhan kembali mengingatkan bahwa penyesalan selalu menghiasi akhir sebuah cerita dramatis.


"Aku... aku sayang sama Aldi. Aku akui aku cinta sama Aldi dan aku sayang sama Shafira. Saat aku sama Aldi. Aku lupa semuanya. Dan aku akui kalau aku terlalu larut saat sama Aldi. Maaf Iqbaal." Ucap (namakamu) lirih.


Iqbaal menarik nafas panjang. Merasakan ada yang meledak di dalam dadanya dan membuatnya hancur dalam sekejap. Tidak adakah yang lebih sakit dari ini?


***


Naina mengayunkan kedua kaki mungilnya menapaki lantai lantai kantor Iqbaal. Tadi pagi ia sudah berjanji pada Ayahnya untuk datang dan menunggu Iqbaal selesai kerja untuk jalan bersama. Naina tidak takut datang ke kantor ini seorang diri. Ia sudah mengenal semua pegawai di kantor ini dengan baik dan mereka tidak akan berani berbuat maca-macam padanya. 


"Tante Steffi!" 


Naina tersenyum manis saat ia berdiri di depan meja kerja Steffi dan melihat Steffi yang sibuk dengan komputer dan kertas-kertas yang tidak Naina mengerti. Dan senyuman itu semakin mengembang saat Steffi menatapnya dengan wajah yang sedikit terkejut.


"Kamu ngapain kesini?" Tanya Steffi dengan intonasi suara yang lembut.


"Mau ketemu Ayah." 


Naina bisa melihat Steffi tersenyum dan mengalihkan pandangan sejenak. Lalu kembali menatapnya. "Ayah ada di dalam. Kamu masuk aja." Ucap Steffi. 


Naina menganggukkan kepalanya dan mengucapkan terima kasih pada Steffi sebelumnya dan segera melangkahkan kakinya menuju ruangan Iqbaal yang tertutup rapat. Mendorong pintu kaca yang tertutup gorden cokelat dan segera melangkah masuk.


Naina menutup pintu perlahan. Melangkah menuju sofa marun untuk meletakkan tas sekolahnya dan kemudian menghampiri Iqbaal yang saat ini menidurkan kepalanya di atas meja kerja yang berukuran besar.


Langkah mungilnya terayun dengan sangat pelan saat ia menyadari bahwa Ayahnya tertidur. Melangkah semakin dekat dan berhenti saat jaraknya sudah sangat dekat. Naina memperhatikan setiap lekukan wajah Ayahnya yang sangat menggambarkan sebuah kelelahan. Kantung matanya masih terlihat jelas di balik kaca mata minus yang selama ini menghiasi kedua matanya. 


Naina merasa ada yang berontak di dalam dadanya. Melihat Ayahnya terlelap seperti ini dengan wajah lelah membuatnya merasa tidak tega. Tangan mungilnya perlahan terangkat. Menyentuh pipi Iqbaal dan merasakan kulit halus Iqbaal yang hangat. Tahukah jika mata Naina sudah berkaca-kaca sekarang? 


Naina mengalihkan pandangannya menatap apa yang yang berada di tangan Iqbaal yang tergeletak di atas meja. Lengan yang Iqbaal gunakan sebagai bantal. Naina melihat frame foto berukuran kecil. Dan foto itu membuat Naina membiarkan bendungannya jebol dan membiarkan air matanya jatuh secara bergantian. Foto itu. Foto saat ulanh tahunnya yang ke lima. Tepatnya dua tahun lalu. 


Di dalam foto itu semua masih terlihat baik-baik saja. Ayahnya yang tersenyum dan mencium pipi kirinya. Lalu, Ibunya mencium pipi kanan dan dirinya yang berada di tengah tersenyum lebar. Naina masih ingat jelas saat foto itu di ambil. Foto bahagia terakhir yang pernah mereka abadikan. Saat Naina ulang tahun ke enam. (Namakamu) hanya memberikan ucapan selamat lewat skype karna (namakamu) berada di luar kota bersama Aldi. Dan tahun kemarin (namakamu) bahkan sama sekali tidak mengucapkan apapun saat Naina ulang tahun. Jangankan mengucapkan. Ingat saja mungkin tidak.


"Ayah... Naina minta maaf kalau selama ini nyusahin Ayah. Selama ini buat Ayah harus sibuk ngurusin semua keperluan Naina. Naina minta maaf sama Ayah karna Naina selalu aja buat Ayah sedih dengan banding-bandingin Ayah sama Bunda. Naina minta maaf karna Naina udah buat Ayah kayak gini." Lirih Naina.


Jemari mungilnya bergerak dengan sangat pelan dan berhenti pada lingkaran hitam di sekitar mata Iqbaal. Naina merasa semakin bersalah karna sudah membuat Ayahnya sampai kelelahan seperti ini. 


"Sekarang Naina gak akan halangi Ayah buat nentuin pilihan. Naina terima semua keputusan Ayah. Naina terima soal yang Ayah kemarin. Tapi Naina minta satu dari Ayah... jangan capek lagi, Yah. Jangan siksa diri Ayah sendiri. Jangan sakitin diri Ayah sendiri cuma buat Naina sama Bunda. Ayah berhak bahagia. Ayah berhak dapetin semua kebahagiaan Tuhan. Atas nama Bunda... Naina minta maaf, Yah." Ucap Naina lirih.


Naina menepis air matanya. Bergerak mendekat dan memberikan satu kecupan tulus di pipi Iqbaal. Melepas kaca mata minus milik Iqbaal. Lalu mencium kedua mata Iqbaal yang di hiasi lingkaran hitam. Dan setelah itu tangisnya meledak.


"Naina sayang Ayah. Naina sayang banget sama Ayah. Naina mau selamanya sama Ayah. Naina gak mau pisah dari Ayah. Ayah itu Ayah terbaik buat Naina dan gak akan pernah ada yang bisa gantiin Ayah di hati Naina. Ayah satu-satunya orang tua Naina. Naina sayang banget sama Ayah." Suaranya kini tidak lagi terdengar lirih. Tapi serak dan bergetar hebat. 


Naina merasa sangat sesak dan sangat sulit untuk bernafas. Naina membekap bibirnya yang hampir saja meneriakan kesakitan yang ia rasakan di dalam relung hatinya. Ini terlalu sakit untuk bocah berusia tujuh tahun seperti Naina.


Naina segera melangkahkan kakinya meninggalkan meja Iqbaal dan berlari menuju sofa marun. Meraih bantal sofa dan membenamkan wajahnya di sana. Membenakan tangis yang tak tertahan. Dan Naina harap Iqbaal tidak bangun sebelum ia selesai menangis.


***


"Jadi sekarang Fira boleh panggil Tante, Bunda?" Shafira tersenyum dengan mata yang berbinar mendengar ucapan (namakamu) yang kini duduk di sofa di dalam ruangan Aldi.


"Iya sayang. Sebentar lagi Tante bakal jadi Bunda kamu. Dan kamu tahu? Sebentar lagi kamu punya adik." Ucap (namakamu) yang diakhiri dengan tangan yang mengusap perut datarnya.


Shafira jelas membulatkan matanya. Menatap (namakamu) dengan tatapan yang sulit untuk di artikan. Lalu matanya menatap perut (namakamu) yang masih datar.


"Tan- Bunda?" 


(Namakamu) segera menganggukkan kepalanya dengan senyum manis. "Iya, Bunda hamil. Dan sebentar lagi Bunda bakal nikah sama Papa Aldi." Jawab (namakamu).


Shafira bersorak dan segera merentangkan tangannya untuk memeluk (namakamu) yang di balas dengan kekehan gemas yang keluar dari bibir (namakamu). Shafira sangat bahagia mendengar kabar ini. Bahkan gadis kecil itu sampai menitikkan air mata karna terlalu bahagia. Terlebih di rahim calon ibunya ada si jabang bayi calon adiknya yang tengah tumbuh. Hal itu adalah hadiah plus plus yang ia terima.


"Kalau Bunda udah nikah sama Papa. Apa Bunda akan tinggal sama Om Iqbaal dan anak itu?" Tanya Shafira.


"Jelas enggak dong, sayang. Bunda akan tinggal sama kamu. Sama Papa." Jawab (namakamu) santai.


Shafira kembali memeluk (namakamu) dengan sangat erat. Impiannya menjadikan (namakamu) sebagai Ibu barunya akan segera terwujud. Shafira benar-benar tidak bisa menggambarkan dengan kata-kata lagi. Seberapa ia bahagia? Sangat, sangat, sangat, sangat, sangat bahagia!.


***


Naina mengerjapkan matanya. Kedua matanya menyipit dan ia mulai terduduk. Memperhatikan di mana ia tertidur. Dan helaan nafas itu terdengar dari bibir mungil Naina. Kedua mata cokelat gelapnya mengedar. Ia masih berada di ruang kerja Ayahnya. Tapi ia tidak melihat keberadaan Ayahnya di sini.


"Ayah?" 


Naina beranjak dari duduknya. Mencoba mencari keberadaan Iqbaal saat ini. Naina sempat melirik jam dinding yang berada tak jauh dari sofa marun tempatnya tertidur dan jam itu baru saja menunjukkan pukul tiga sore. 


Clek! Naina yang saat ini sibuk mencari Iqbaal di seluruh sudut ruangan segera mengalihkan pandangannya kearah pintu. Dan Naina mendapati Kiki masuk dengan membawa tiga map hijau di tangannya.


"Naina? Sejak kapan kamu di sini?" Pertanyaan itu membuat Naina segera melangkah mendekat kearah Kiki yang masih berdiri di ambang pintu.


"Paman. Tahu di mana Ayah? Pas Naina bangun Ayah gak ada." Tanya Naina.


Kiki terdiam sejenak. Lalu tersenyum tipis. Melangkah untuk meletakkan tiga map berisi berkas itu lebih dulu dan kembali pada Naina yang masih menunggu jawabannya. Kiki menekuk lututnya, menyentuh pelipis Naina dengan lembut.


"Naina jangan takut. Ayah baik-baik aja." Ucap Kiki seraya tersenyum tipis.


"Memangnya Ayah di mana?" Tanya Naina lagi.


Kiki kembali tersenyum. "Ayah tadi kelelahan. Dan pingsan di lift. Tapi Ayah udah gak papa. Nanti sore Ayah jemput Naina di sini." Jawab Kiki selembut mungkin.


Padahal Kiki berharap dengan senyuman dan suara lembut yang di bumbui harapan bisa membuat Naina tidak menangis saat mendengar kabar tentang Iqbaal. Tapi gadis kecil itu tetap saja menangis. Tidak meraung-raung memang. Tapi tangisnya tertahan.


"Jangan nangis, hei. Tadi Ayah udah bilang sama Paman kalau nanti sore Ayah jemput Naina di sini. Ayah baik-baik aja, sayang." Ucap Kiki lembut.


Naina menunduk dan mengkatup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia teringat apa yang ia ucapkan pada Iqbaal. Ia ingat bagaimana wajah lelah Iqbaal tertidur lelap. Dan bayangan itu sangat melukai hati kecilnya yang rapuh. Iqbaal segalanya baginya. Iqbaal satu-satunya orang tua yang selalu ada dan menyayanginya. Jadi wajar jika Naina menangis mendengar Iqbaal sakit bahkan sampai pingsan seperti apa yang di katakan Kiki.


"Ayah di mana, Paman?" Tanya Naina lirih.


Kiki menghela nafas. Dan saat ia akan menjawab pertanyaan Naina, suara decitan pintu membuatnya memutar sedikit kepalanya untuk melihat siapa yang masuk ke dalam ruangan ini. 


"Naina? Kamu sudah bangun?" 


Naina yang mendengar pertanyaan itu segera menengadahkan wajahnya. Dan ia melihat Iqbaal berdiri di depan pintu yang sudah tertutup dan tangan kanannya terlihat menenteng kantong kresek biru berisi banyak sekali snack dan... ice cream. Itu tidak akan pernah tertinggal.


"Ayah." Desis Naina.


Naina segera melangkahkan kakinya menghampiri Iqbaal dan menyentuh telapak tangan Iqbaal. Merasakan suhu tubuh Iqbaal yang normal dan menengadahkan wajahnya untuk menatap wajah Iqbaal yang jauh lebih tinggi darinya.


"Ayah gak papa?" Tanya Naina.


Iqbaal menautkan alisnya. Lalu menekuk kedua lututnya agar tingginya sejajar dengan Naina. Iqbaal hanya tersenyum tipis saat melihat Kiki mengkode untuk ia pergi. Dan setelah mendapat anggukan kepala dari Iqbaal. Kiki segera melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan ini. Meninggalkan Iqbaal menghabiskan waktu bersama malaikat kecilnya.


"Ayah baik-baik aja. Lebih baik sekarang kita duduk. Nih, Ayah udah beliin snack sama ice cream." Ucap Iqbaal seraya menunjukkan kantong kresek yang berada di tangannya. 


Naina masih belum tersenyum. Gadis kecil itu malah memperhatikan siluet wajah Iqbaal yang terlihat sangat lelah. Jemari mungilnya kembali bergerak dan menyentuh kedua pipi Iqbaal dengan lembut. Lalu berhenti pada kantung mata berwarna gelap atau yang orang-orang sebut lingkaran mata panda. Dan dua jempolnya bergerak samar di daerah itu. Seperti berusaha menghapus warna gelap yang menetap di sana san membuat wajah Iqbaal terlihat jauh lebih tua.


"Ayah harus tahu. Naina sayang banget sama Ayah. Naina mau selamanya hidup Naina sama Ayah. Sampai kapanpun sama Ayah. Bareng sama Ayah. Karna Ayah adalah Ayah terbaik yang pernah Tuhan takdirin buat jadi Ayah Naina." Ucap Naina lirih. 


Iqbaal tersenyum haru mendengarnya. Putri kecilnya bisa berbicara seperti itu padanya. Untuknya. "Ayah jauh lebih sayang Naina. Ayah juga berharap yang sama. Ayah harap kita bisa selamanya bersama. Sampai suatu saat Naina sudah besar dan tahu arti keluarga. Betapa berharganya sebuah keluarga. Dan tahu betapa susahnya menjaga keharmonisan keluarga. Ayah harap Ayah bisa dampingin Naina sampai saat itu tiba. Tapi tetap. Tuhan yang menentukan semuanya. Sampai kapan Ayah bisa nemenin Naina. Ayah cuma bisa merencanakan. Dan Tuhan yang memutuskan." 


Naina tersenyum mendengarnya. Melangkah lebih dekat dan memeluk Iqbaal dengan dua lengan mungilnya. Naina benar-benar tidak tega melihat Ayahnya kesakitan seperti ini karna ulah Ibunya. Menurut Naina, (namakamu) sudah sangat keterlaluan dan sikapnya yang tidak wajar itu membuat kebencian perlahan tumbuh di dalam hati Naina untuk (namakamu). Ibunya.


"I love you, Dad." Bisik Naina.


"Love you too, My Angel." Iqbaal balas berbisik.


Naina membenamkan wajahnya di leher Iqbaal. Menikmati pelukan hangat Ayahnya yang begitu tulus dan nyaman. Perasaan tidak tega itu kembali mencuat saat bayangan mengerikan tentang kelakuan Ibunya kembali berputar bak roll film yang sadis. Apa semuanya harus berakhir seperti ini? Tuhan. Ini terlalu mengerikan!


***


Hari sudah berlalu. Dan hari itu kian dekat. Iqbaal berkali-kali mengumpat waktu yang berjalan terlalu cepat. Besok! Hari mengerikan dalam hidupnya akan terjadi. Berkali-kali pula Iqbaal tidak ingin mempercayai yang namanya takdir.


Saat ini Iqbaal duduk berhadapan dengan Steffi. Gadis itu duduk di hadapan Iqbaal di sebuah resto yang sering mereka kunjungi. Entah itu berdua, bertiga dengan Kiki atau Naina, dan kadang ber-empat bersama Kiki dan Naina. Tapi kali ini mereka hanya berdua. Naina masih berada di jam sekolah.


"Steffi? Aku harap besok kamu datang dan temani Naina. Aku gak tahu apa aku bisa lihat semua itu." Lirih Iqbaal.


Steffi menganggukkan kepalanya dan menghela nafas. Sebenarnya ada yang ingin ia tanyakan pada Iqbaal. Dan ia sudah sejak kemarin ingin bertanya. Tapi waktunya selalu tidak tepat.


"Ee, Baal? Bukannya seorang perempuan itu tidak boleh memiliki suami lebih dari satu? Kecuali yang satu bercerai."


Iqbaal tersenyum mendengarnya. Ia tentu sudah memikirkan ini sebelum ia mengambil keputusan terberat ini. Iqbaal menatap Steffi lebih intens dan sebuah senyuman menghiasi wajah tampannya saat ini.


"(Namakamu) hanya akan memiliki satu suami." Jawab Iqbaal. Dan jawaban ini tentu saja membuat Steffi menautkan alisnya.


"Maksudnya?"


"Lihat besok. Besok akan ada jawabannya. Yang pasti, suami (namakamu) hanya satu." Iqbaal mengakhiri ucapannya dengan sebuah senyuman manis. 


Steffi hanya memasang ekspresi bingung dan segera meraih minuman pesanannya. Sejujurnya ia merasakan ada sesuatu yang berbeda. Seperti ada yang di sembunyikan Iqbaal. Steffi mencicipi sedikit minumannya dan kembali tersenyum. Matanya terus memperhatikan siluet wajah Iqbaal dan mencoba untuk mencari apa yang sebenarnya di sembunyikan Iqbaal dari semua orang.
"Lihat besok. Besok akan ada jawabannya. Yang pasti, suami (namakamu) hanya satu." Iqbaal mengakhiri ucapannya dengan sebuah senyuman manis.
Steffi hanya memasang ekspresi bingung dan segera meraih minuman pesanannya. Sejujurnya ia merasakan ada sesuatu yang berbeda. Seperti ada yang di sembunyikan Iqbaal. Steffi mencicipi sedikit minumannya dan kembali tersenyum. Matanya terus memperhatikan siluet wajah Iqbaal dan mencoba untuk mencari apa yang sebenarnya di sembunyikan Iqbaal dari semua orang.
***
Naina berdiri di depan cermin lemari. Menatap tubuh mungilnya yang berbalut gaun putih ala putri raja. Rambutnya yang semula lurus kini terlihat bergelombang di bagian bawah dan sebuah bandana putih dengan pita putih menghiasi kepalanya.
Gadis kecil itu terlihat sangat cantik dengan wajahnya yang 'kalem' dan senyumnya yang manis. Tapi hari ini, Naina tidak akan pernah tersenyum manis. Naina menepis air matanya yang mulai berjatuhan. Otak kecilnya mulai membayangkan bagaimana kondisi hati Ayahnya saat ini. Yang Naina tahu hanya satu. Hancur. Mungkin tidak ada lagi kata-kata yang bisa menggambarkan bagaimana kondisi hati Ayahnya saat ini.
"Kita turun sekarang, sayang. Om Aldi sama Shafira udah datang. Dan bentar lagi Bunda kamu turun."
Naina merasa dadanya sesak saat mendengar suara Steffi yang terdengar lembut. Ia tidak mau melihat semuanya. Ia tidak mau melihat Ibunya bersanding dengan laki-laki lain selain Ayahnya. Naina memejamkan mata dan menundukkan kepalanya. Rasanya terlalu sakit membayangkan perasaan Ayahnya.
"Tante? Boleh gak Naina ketemu Ayah sekarang? Sebelum Bunda nikah sama Om Aldi?" Tanya Naina.
Steffi terdiam saat mendengar suara serak Naina dan mata berkaca gadis kecil itu. Steffi melangkah mendekat. Menekuk lututnya dan menepis air mata Naina yang membuat wajah cantik dan manis Naina sedikit tertutup dengan kesedihan.
"Boleh. Tapi Naina harus janji... Naina gak boleh nangis kayak gini di depan Ayah. Naina harus bisa keliatan bahagia di depan Ayah. Lakuin itu demi Ayah. Naina pasti tahu kan gimana perasaan Ayah sekarang?"
Naina menganggukkan kepalanya. Lalu meraih tissue dan menghapus bulir-bulir air matanya. Saat melihat Steffi tersenyum. Naina segera meraih tangan Steffi dan meminta Steffi membawanya bertemu dengan Iqbaal.
***
Iqbaal menunduk. Berkali-kali memukul dadanya yang terasa sesak dan sakit. Iqbaal berkali-kali mengutuk dirinya karna sudah membiarkan hari ini terjadi. Menyesal? Sudah pasti. Iqbaal merasa bodoh karna sudah membiarkan (namakamu) bahagia di atas semua air mata kesakitannya.
Iqbal membuka mata saat mendengar suara pintu terbuka. Iqbaal mengusap wajahnya kasar dan menarik nafas panjang. Lalu, memutar tubuhnya untuk melihat siapa yang datang. Dan senyumnya mulai tertarik saat melihat malaikatnya melangkah mendekat dengan senyuman manis yang terpancar jelas.
"Ayah gak papa?" Naina yang baru saja berdiri di hadapan Iqbaal segera bertanya seraya menyentuh telapak tangan Iqbaal untuk memastikan bahwa Ayahnya baik-baik saja.
Iqbaal jelas tersenyum dan memberikan sentuhan lembut di pelipis Naina. "Ayah baik-baik saja." Jawab Iqbaal.
Naina tersenyum. Lalu, berusaha untuk naik dan duduk di pangkuan Iqbaal. Memeluk tubuh kurus Iqbaal dengan kedua tangan mungilnya yang lembut dan menyandarkan kepalanya pada dada bidang Iqbaal. Berusaha mendengarkan teriakan kesakitan dari dalam hati Iqbaal.
"Nai, Ayah boleh minta sesuatu?"
Naina hanya menganggukkan kepalanya. Membuka telinga lebar-lebar untuk mendengarkan apa permintaan Ayahnya.
"Setelah Bunda menikah... Naina mau gak? Tinggal sama Paman Kiki?" Tanya Iqbaal dengan hati-hati.
Naina menautkan alisnya. Sedikit melirik keatas untuk melihat raut wajah Iqbaal. Dan hasilnya. Naina melihat kedua mata Iqbaal berkaca-kaca dan terlihat susah payah untuk menahan tangisnya.
"Emangnya Ayah kemana? Naina gak mau ikut siapapun. Naina mau ikut Ayah." Lirih Naina.
Iqbaal memejamkan mata. Memeluk Naina semakin erat dan air mata itu jatuh secara perlahan. Iqbaal merasakan dadanya sangat sesak. Bisakah semua ini berakhir sekarang Tuhan?
"Naina gak bisa ikut Ayah. Naina gak boleh ikut Ayah. Tapi Ayah gak mau Naina tinggal sama Bunda. Karna Ayah tahu Naina gak akan bahagia sama Bunda. Dan satu-satunya orang yang bisa bahagiain Naina kayak Ayah bahagiain Naina itu cuma Paman Kiki." Ucap Iqbaal. De
Dengan susah payah Iqbaal menahan suaranya agar tidak terdengar bergetar. Mengucapkan semua itu membuat hatinya merasakan sakit yang luar biasa. Dan Iqbaal bisa merasakan kedua tangan Naina mulai mencengkram jas hitam yang ia kenakan.
"Naina gak mau jauh dari Ayah. Naina mau sama Ayah aja." Lirih Naina.
Iqbaal kembali tersenyum tipis. Memberikan kecupan lembut pada puncak kepala Naina. Memeluk Naina jauh lebih erat dari pada sebelumnya. Ini hari yang sangat menyakitkan baginya. Hari yang mematikan. Hari yang paling menghancurkannya.
***
Naina duduk bersama Steffi di kursi barisan ke tiga. Sedangkan Iqbaal di barisan pertama. Saat ini semua tamu undangan sudah hadir dan duduk pada kursi berhias kain putih dan bunga yang berjejer rapi menghadap ke depan. Mereka semua siap menyaksikan janji suci yang akan segera di ucapkan dua insan manusia yang saling mencintai. Mungkin.
Naina duduk di antara Kiki dan Steffi, berkali-kali menepis air matanya saat melihat Shafira yang berdiri di samping Aldi dan tersenyum sangat manis. Gadis kecil itu... merebut Ibunya.
Semua tamu undangan berdiri saat (namakamu) mulai keluar dari balik pintu dan melangkah dengan sangat anggun di atas karpet merah. Gaun panjang berwarna putih yang menjuntai dan menyapu lantai membuat penampilannya terlihat sangat cantik dan anggun.
Iqbaal memejamkan mata dan menundukkan kepalanya. Delapan tahun lalu, (namakamu) berjalan anggun seperti ini untuk menghampirinya dan bersama-sama berjanji pada hati dan Tuhan untuk hidup bersama. Tapi kali ini, (namakamu) kembali melangkah seperti delapan tahun lalu untuk kedua kalinya dan untuk laki-laki lain.
Suara tepuk tangan membuat Iqbaal membuka matanya dan menengadah. Melihat Aldi yang mengulurkan tangannya untuk menyambut (namakamu). Dan tangan mungil Shafira pun menyambut (namakamu) dengan kebahagiaan yang terpancar sangat jelas di mata ketiganya.
Naina memilih memeluk Kiki yang masih duduk di kursinya. Tidak mau melihat adegan yang begitu menyakitkan hatinya. Terlebih melihat Ayahnya yang sudah pasti terluka sangat dalam. Dan luka itu semakin dalam saat (namakamu) sama sekali tak merasa bersalah atas perbuatannya.
BRUUK! Suara itu terdengar sangat jelas di susul dengan suara gaduh dan terkejut yang memekakan telinga.
"Iqbaal!" Kiki setengah berteriak dan segera melepaskan pelukan Naina yang langsung di ambil alih Steffi.
(Namakamu) yang baru saja akan memulai pernikahannya dengan Aldi merasa sangat terkejut saat Iqbaal tiba-tiba saja jatuh tak sadarkan diri di atas rerumputan yang menjadi lantai pernikahan (namakamu) dan Aldi.
"Ayah kenapa Tante?" Naina berteriak. Mencoba melepaskan pelukan Steffi dari tubuh mungilnya dan mencoba berlari untuk melihat apa yang terjadi pada Iqbaal.
"Iqbaal." Desisan itu keluar dari bibir (namakamu) yang di hiasi lipstick pink yang manis. Entahlah, matanya saat ini berkaca dengan sendirinya. Bunga yang semula ia genggam sudah terlepas entah kemana.
(Namakamu) menjinjing gaunnya dan coba untuk mendekat kearah kerumunan orang yang saat ini memgerumuni Iqbaal. Rasa khawatir itu muncul secara tiba-tiba. Dan kini ia bisa melihat Kiki yang berusaha menekan-nekan dada Iqbaal bekali-kali untuk pertolongan pertama.
Dan suara "Bruuk!!" Itu kembali terdengar saat (namakamu) menjatuhkan tubuhnya tepat di samping Iqbaal. Ia bisa melihat wajah Iqbaal yang berubah pucat dan wajah panik Kiki yanh terus berusaha menekan dada Iqbaal sampai ambulance datang.
Samar-samar (namakamu) mendengar Naina yang terus berteriak memanggil Ayahnya. Teriakan dan tangisan itu sukses membuat hati (namakamu) terluka untuk pertama kalinya. Tangannya meraih telapak tangan Iqbaal. Menggenggamnya dengan erat dan merasakan nafasnya yang mulai tercekat.
"Baal-"
"Ambulance datang! Ayo cepat!" Seseorang berteriak.
Kiki langsung menghentikan pertolongannya. Membantu beberapa petugas medis mengangkat tubuh Iqbaal dan segera melarikannnya ke rumah sakit. Kiki sempat menatap sinis (namakamu) yang masih terduduk dan dengan cukup kasar menepis tangan (namakamu) yang menggenggam tangan Iqbaal.
"Naina." Kiki segera menggendong Naina yang menangis melihat Ayahnya di bawa pergi petugas berseragam putih.
Di ikuti Steffi yang berlari kecil di belakang Kiki. Sedangkan (namakamu) masih terdiam. Seolah mencerna apa yang baru saja terjadi pada... suaminya. Biar bagaimanapun juga (namakamu) masih mencintai Iqbaal. Dan masih menganggap Iqbaal sebagai suaminya yang sah.
***
Steffi berkali-kali mengusap puncak kepala Naina. Berusaha menghentikan tangisan gadis kecil itu. Steffi tahu kalau Naina sangat mengkhawatirkan Iqbaal saat ini. Iqbaal sangat berharga bagi Naina.
Steffi mengalihkan pandangannya saat pintu ICU terbuka dan Kiki baru saja keluar. Wajahnya menunjukkan Sesuatu yang tidak baik. Steffi mencoba berfikit positive dan beranggapan bahwa Iqbaal pasti baik-baik saja.
"Nai..." Kiki menghentikan ucapannya saat sampai di hadapan Steffi dan menekuk lututnya agar sejajar dengan Steffi yang saat ini duduk di kursi ruang tunggu. Jemari tangannya menyentuh rambut Naina penuh kelembutan.
"Ayah mau ketemu sama kamu. Ada yang mau Ayah omongin sama Naina." Lanjutnya.
Naina segera merenggangkan pelukannya. Menepis air matanya dan segera turun dari pangkuan Steffi. Lalu, menatap Kiki yang menatapnya dengan senyum tipis dan terkesan di buat-buat.
"Naina boleh masuk?" Tanya Naina dengan suaranya yang terdengar sangat parau dan serak.
Kiki menganggukkan kepalanya. Sebelum Naina masuk. Kiki sempat meraih ikat rambut yang sebelumnya ia minta dari Steffi lalu mengikat rambut panjang Naina. Dan diakhiri dengan mengusap kedua pipi Naina yang lembab.
"Jangan nangis ya, sayang?" Ucap Kiki. Sangat kentara kalau saat ini Kiki menahan suaranya yang tercekat agar terdengar baik-baik saja.
Naina hanya menganggukkan kepalanya tanpa berjanji. Kiki segera membukakan pintu ICU di mana Iqbaal saat ini terbaring. Lalu menutupnya kembali setelah Naina masuk.
"Ada apa? Semua baik-baik saja kan?" Steffi mulai tidak tahan untuk tidak mengetahui kebenarannya. Dan setelah Steffi bertanya. Kiki memilih duduk dan menunduk.
"Komplikasi ginjal. Dan semua itu karna Iqbaal terlalu sering kelelahan, konsumsi makan tidak sehat, dan kurang minum air putih. Yah, semua ini pantas Iqbaal dapat. Laki-laki itu sudah terlalu banyak menanggung beban.
***
Naina melangkahkan kakinya dengan hati-hati. Takut sepatunya menimbulkan suara dan akan mengusik tidur Iqbaal. Tapi, akhirnya Naina melihat mata Iqbaal terbuka. Dan kepalanya bergerak sangat pelan.
"Sayang?" Desisan itu membuat langkah Naina terhenti. Gadis kecil itu merasakan kedua kakinya berat dan nafasnya tercekat. Hal itu terus mendorong air matanya untuk turun jauh lebih deras dari pada sebelumnya.
Mask oksigen itu, infus itu, selang dan kabel yang tidak Naina tahu fungsinya itu berhasil membuat batin kecilnya terkoyak. Dengan susah payah Naina melangkah mendekat. Berdiri di sisi kanan ranjang Iqbaal dan menyentuh tangan Iqbaal yang di infus.
"Ayah." Lirih Naina.
Iqbaal yang mendengar itu tahu kalau putri kecilnya takut melihatnya seperti ini. Tangan kirinya bergerak melepaskan mask oksigen yang menutupi hidung dan mulutnya. Dengan susah payah Iqbaal menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum.
"Naina... sini naik, sayang." Lirih Iqbaal.
Naina segera menarik kursi yang terletak tak jauh dari ranjang Iqbaal dan menggunakannya sebagai pijakan. Lalu, naik ke sisi ranjang yang masih kosong. Berbaring dengan posisi miring dengan lengan kanan Iqbaal sebagai bantal dan tangan kanannya memeluk tubuh Iqbaal. Itu semua permintaan Iqbaal.
"Naina sayang gak sama Ayah?" Tanya Iqbaal.
Naina segera menganggukan kepalanya dan mengeratkan pelukannya.
"Naina sayang Paman Kiki?" Tanya Iqbaal lagi.
Dan lagi-lagi Naina mengangguk. Tidak mengucapkan apapun karna saat ini Naina sibuk dengan rasa sakitnya.
"Naina sayang Tante Steffi?" Iqbaal kembali bertanya.
"Iya, Yah. Naina sayang Ayah, Paman Kiki, Tante Steffi. Naina sayang kalian bertiga." Lirih Naina.
"Naina gak sayang Bunda?" Untuk kesekian kalinya Iqbaal bertanya.
Naina terdiam beberapa saat. Lalu, dengan ragu menggelengkan kepalanya. Dan pelukan tangan mungilnya semakin mengerat. Iqbaal bisa merasakannya.
"Naina gak sayang Bunda. Naina benci Bunda. Bunda jahat, Bunda udah buat Ayah kayak gini. Bunda itu gak punya hati!" Ucap Naina. Sedikit berteriak. Mungkin untuk mengungkapkan bahwa ia membenci Ibunya yang jahat.
Iqbaal memejamkan matanya. Ada yang membuatnya merasakan sakit. Iqbaal menarik nafas panjang dan membuka matanya lagi. Memberikan kecupan pada puncak kepala Naina dan membalas pelukan putri kecilnya. Malaikat kecilnya. Berharap waktu ini tidak akan cepat berakhir.
"Naina, Ayah sayang sama Naina. Sayang banget. Naina harus tahu kalau Ayah sebenernya pengen bareng Naina terus sampai Naina dewasa nanti. Ayah mau lihat Naina lulus sekolah, lulus kuliah dan jadi orang yang berhasil. Ayah pengen dampingi Naina sampai Naina jadi orang yang berguna, dewasa, punya keluarga, bahkan sampai Naina tua nanti. Ayah pengen selalu ada di samping Naina. Tapi..." Iqbaal menghentikan ucapannya. Menarik nafas panjang untuk mengisi paru-parunya yang hampir kehabisa oksigen karna sesak yang mendera.
"Tapi... waktu Ayah gak panjang-"
"Ayah!" Naina memotong ucapan Iqbaal dengan cepat. Naina tahu apa maksud Iqbaal. Dan pelukan itu terasa begitu erat.
Iqbaal memejamkan matanya kuat. Sebisa mungkin ia menahan rasa sakitnya dan bersikap biasa saja di depan Naina.
"Ayah gak boleh ngomong gitu. Ayah pasti ada di samping Naina sampai Naina dewasa nanti, Yah. Ayah jangan buat Naina takut." Ucap Naina. Dan kini Naina secara terang-terangan menangis di dalam dekapan Iqbaal.
Iqbaal memberikan kecupan pada kening Naina, menciumnya dengan lembut dan cukup lama. Merasakan lembutnya kulit halus putri kecilnya yang mungkin sebentar lagi tidak akan pernah ia rasakan lagi. Miris memang. Tapi ini takdir.
"Naina harus ingat. Ayah... Iqbaal Dhiafakhri sangat menyayangi Naina Dhiafakhri. Putri kecil Ayah, malaikat kecil Ayah, hidup Ayah." Bisik Iqbaal.
Naina menangis semakin kencang. Dari bisikan itu Naina tahu bahwa Iqbaal menahan sakit. Naina merasa tidak ada lagi kata-kata yang bisa menggambarkan kondisi hatinya. Sakit? Lebih. Takut? Lebih. Hancur? Lebih dari itu.
"Naina harus janji sama Ayah. Saat Ayah pergi Naina harus bahagia. Naina gak boleh nangis atau sedih karna harus pisah dari Ayah. Naina harus jadi anak baik, Naina harus sukses suatu hari nanti, Naina harus nurut sama Paman Kiki sama Tante Steffi... dan Naina harus maafin Bunda. Jangan benci Bunda lagi. Biar bagaimana pun juga Bunda itu Bunda kamu. Orang yang paling Ayah sayang setelah kamu."
Naina kembali terisak. Meremas baju rumah sakit yang Iqbaal kenakan saat ini. Naina berharap semua yang di ucapkan Iqbaal itu bohong. Sema ucapan Iqbaal hanyalah lelucon yang sudah pasti tidak lucu. Adakah yang tahu seberapa rasa takut Naina kehilangan Iqbaal sekarang?
"Ayah jangan tinggalin Naina. Ayah... Naina sayang Ayah, Naina gak mau Ayah pergi. Kalau Ayah pergi Naina juga harus pergi. Gak ada yang sayang sama Naina kecuali Ayah. Naina mohon jangan tinggalin Naina sendirian, Yah... Naina minta maaf karna selama ini Naina nyusahin Ayah sampai Ayah sakit kayak gini. Sekali lagi Naina mohon, Ayah."
Naina membenamkan wajahnya di dalam dada bidang Iqbaal. Membenamkan tangisnya yang terdengar sangat menyakitkan. Bahkan Iqbaal tidak bisa lagi menahan air matanya melihat Naina menangis dan memohon seperti ini. Mungkin rasa sakit Naina tidak sesakit apa yang Iqbaal rasakan. Tapi bagi gadis kecil seusia Naina ini sudah terlalu menyakitkan.
Iqbaal memejamkan matanya mencium kening Naina lamat-lamat dan menikmati setiap detik hidupnya yang mungkin akan berakhir sebentar lagi
Menikmati semua akhir dari perjalannya di dalam dekapan Naina. Putri kecilnya yang cantik.
Sejujurnya, Iqbaal sangat berharap (namakamu) ada di sini. Mengucapkan kata cinta untuknya sebelum semuanya berakhir. Memberikan pelukan terhangat dan paling tulus untuknya. Hanya untuk kali ini. Tapi, Iqbaal sadar bahwa sudah tidak ada lagi namanya di hati (namakamu). (Namakamu) sudah menghapusnya. Menghapusnya tanpa perceraian. Dan berakhir dengan Tuhan yang menyelesaikan semuanya.
"I love you, Naina Dhiafakhri... Princess kesayangan Ayah. I love you." Bisik Iqbaal.
Naina semakin terisak dan semakin meremas kuat baju rumah sakit Iqbaal. Dadanya benar-benar sesak. Nafasnya tercekat kuat.
"Ayah... i love you too, Dad. I love you." Hanya itu yang mampu Naina ucapkan untuk membalas ungkapan cinta dari Ayahnya. Hanya itu kata yang mampu keluar dari bibir mungilnya yang kini bergetar hebat.
Batinnya benar-benar terkoyak. Sakit. Hancur. Bahkan mungkin hatinya sudah seperti butiran debu yang beterbangan saat tertiup angin kencang. Naina mulai merasa ada yang aneh. Pelukan Iqbaal merenggang dan bahkan lengannya terkesan lemas seperti sengaja bertengger memeluknya.
"Ayah?" Naina mencoba memanggil Iqbaal.
Tak ada respon.
Naina mulai merasa takut. Air matanya masih setia mengalir saat ia menengadahkan wajahnya untuk melihat wajah Iqbaal.
Terpejam dan pucat.
Naina menelan ludah pahitnya. Merasakan jantungnya yang lepas dan menggelinding menjauh dari tempatnya. Naina bangkit, mengubah posisi Iqbaal yang semula miring menjadi berbaring. Percayakah bahwa suara Naina sudah tidak bisa keluar lagi sekarang?
"Ayah!" Naina mulai mengguncangkan bahu Iqbaal. Dan tidak ada respon apapun.
Naina menepuk kedua pipi Iqbaal. "Ayah bangun! Ayah jangan becanda!" Naina mulai membentak. Tidak terdengar seperti bentakan karna suaranya yang serak.
"Ayah jangan tinggalin Naina! Ayah!"
Tangisan itu kembali meledak dan Naina menjatuhkan tubuhnya di atas dada bidang Iqbaal. Memeluk tubuh Iqbaal yang kini hanya terkulai lemah tanpa 'nyawa'. Naina menangis, berteriak, menyerukan kata 'Ayah' berulang kali. Dan Naina benar-benar berharap bahwa ini hanyalah mimpi. Ayahnya tidak benar-benar pergi meninggalkannya. Ayahnya hanya tidur untuk sementara. Yah, Naina harap seperti itu.
***
(Namakamu) menepis air matanya. Saat ini. Hari ini. Ia berdiri di depan sebuah pusara yang masih basah dan di penuhi bunga. (Namakamu) mengaku bahwa dadanya sesak. Pernikahan itu tidak batal. Hanya di t-u-n-d-a.
"Iqbaal."
(Namakamu) memejamkan matanya. Merasakan kembali air matanya yang tak terbendung. Ia merasa semangat hidupnya sudah hilang 'satu'. Ia kehilangan satu semangat hidupnya. (Namakamu) mengaku bahwa ini semua salahnya. Semua ini berawal karnanya. Karnanya yang mengenal Aldi dan selalu menghabiskan waktu bersama Aldi bahkan melakukan hubungan lebih bersama laki-laki itu dalam waktu yang lama.
"Maafin aku, Baal. Aku mohon maafin aku... aku salah. Aku minta maaf."
(Namakamu) mulai memukul-mukul dadanya sendiri. Semuanya menghilang. Iqbaal. Naina. Semuanya pergi. Iqbaal sudah meninggalkannya karna Tuhan menceraikannya dengan Iqbaal. Naina? Naina tidak mau lagi tinggal bersamanya. Gadis kecil itu kini tinggal bersama Kiki sesuai permintaan Iqbaal.
"Ya Tuhan. Iqbaal." (Namakamu) membekap bibirnya.
(Namakamu) sadar bahwa ia masih sangat mencintai Iqbaal. Masih sangat membutuhkan laki-laki itu untuk terus ada di sampingnya. Tapi, Tuhan sudah berkehendak. Dan mungkin Tuhan lelah melihat Malaikatnya terus di hancurkan oleh Iblis yang tak mempunyai hati seperti (namakamu). Tuhan lelah melihat Malaikatnya terus berusaha membahagiakan Iblis seperti (namakamu). Dan Tuhan ingin Malaikatnya beristirahat. Bagi-Nya. Semua ini sudah cukup menyakitkan dan berat bagi malaikatnya. Mau sekuat apapun Malaikat itu berjuang mengubah Iblis menjadi Malaikat. Semua itu hanya akan sia-sia. Karna kenyataannya Malaikat dan Iblis di ciptakan jauh berbeda.
Dan penyesalan selalu menjadi penutup sebuah cerita rumit yang hanya bisa di pecahkan oleh kematian!
TAMAT~
                                                                                                      Karya : liantinita

No comments:

Post a Comment