Thursday, January 7, 2016

Optimus Patter

Srrk... kedua mata mungil yang semula terpejam kini terlihat mulai bergerak. Gadis cantik berusia tujuh tahun itu terbangun sempurna saat seorang laki-laki dengan kaca mata minus mengguncangkan tubuh mungilnya. Memintanya untuk terbangun.
"Ayah." Suara gadis kecil itu terdengar parau dan lebih cenderung serak. Laki-laki yang di panggil Ayah itu tersenyum dan mengusap pelipis gadis kecil kesayangannya itu.
"Selamat pagi Princess Aurora Ayah?"
Gadis kecil itu tersenyum lebar saat sapaan pagi itu kembali ia dengar. Sapaan yang selalu ia dengar sejak tiga tahun yang lalu. Gadis itu beranjak dari duduknya dan mengucek kedua matanya yang terasa kering dan diakhiri dengan menguap yang hasilnya membuat Ayahnya tersenyum.
"Selamat pagi juga pangeran princess Aurora." Balas gadis kecil itu.
Ayahnya tersenyum dan memberikan kecupan manis di kening putri kecilnya. "Tadi malam ada mimpi apa?" Tanyanya.
Gadis kecil itu terdiam sejenak. Menatap dalam mata Ayahnya dan kemudian tersenyum manis. Beranjak sedikit dan mencium pipi Ayahnya.
"Semalam Naina mimpi indah, Yah." Jawab gadis yang bernama Naina. Naina Dhiafakhri.
"Oh iya? Mimpi apa? Cerita dong sama Ayah."
Naina tersenyum. Melirik jam weker di atas nakas dan ia pikir ia masih punya cukup waktu untuk bercerita sebelum ia bersiap untuk pergi sekolah. Naina kembali menatap Ayahnya yang masih menunggunya untuk bercerita.
"Naina mimpi, Bunda." Ucap Naina mengawali ceritanya.
Ayahnya yang semula tersenyum. Kini terdiam. Senyumnya sedikit luntur dan hanya menyisakan senyum samar yang nyaris tak terlihat.
"Naina mimpi kalau keluarga kayak dulu lagi. Ayah, Bunda, dan Naina. Kita ketemu setiap pagi. Nemenin Naina main. Nemenin Naina belajar. Jalan bareng. Foto bareng. Seru-seruan bareng. Di dalam mimpi Naina. Bunda masih baik. Gak kayak sekarang. Bunda jahat, gak mau ngurusin Naina lagi. Di mimpi Naina. Setiap pagi yang nyiapin sarapan itu Bunda, bukan Ayah-"
"Cukup!" Naina menghentikan ucapannya dan menunduk. Ia tahu Ayahnya tidak suka ia menceritakan ini.
"Apa ini mimpi yang sama dengan mimpi-mimpi sebelumnya?" Tanya Ayahnya. Dan Naina mengangguk dengan kepala menunduk.
Gadis kecil itu memejamkan matanya saat merasakan nafasnya mulai tercekat. Terlebih saat bayangan wajah cantik Bunda-nya melintas di kepala cantiknya.
"Naina cuma mau Bunda kayak dulu, Yah. Peduli Naina. Peduli sama Ayah. Jujur, Naina kangen sama Bunda, Yah." Lirih Naina.
Laki-laki yang berstatus sebagai Ayahnya itu mengerti. Menarik Naina kedalam pelukannya dan berusaha menghentikan tangisan yang mulai terpancing keluar dari bibir mungil Naina. Ia tidak pernah bisa melihat malaikat kecilnya yang cantik ini menangis.
"Ada Ayah, sayang. Jangan nangis ya? Bunda cuma lagi sibuk. Makanya dia gak bisa nemeni Naina setiap saat kayak Ayah nemenin Naina." Bisiknya.
***
Naina menuruni tangga dengan wajah murung seperti biasa. Sekarang ia sudah rapi dengan seragam sekolah dan rambutnya yang panjang di gerai dengan hiasan bandana pita pink yang cantik.
Langkah kaki nungilnya terhenti saat sampai di anak tangga terakhir. Matanya menatap sendu kearah meja makan. Memperhatikan Ayahnya yang sibuk menyiapkan roti untuk bekalnya di sekolah.
"Sayang? Ayo sini. Ayah udah bikin susu kesukaan kamu. Habisin ya? Habis itu kita berangkat. Ayah gak bisa lama-lama. Ayah ada client di kantor."
Naina tidak membalas senyuman Ayahnya. Hanya mengangguk dan segera melangkah menghampiri Ayahnya. Naina bisa melihat wajah lelah Ayahnya saat ini. Tanpa berucap apapun Naina meraih gelas berisi susu putih di atas meja dan segera meminumnya sampai habis.
"Ini bekal-nya ya? Ayah bawain banyak. Kamu bilang kan temen kamu suka minta. Ayah gak mau anak Ayah kelaparan karna rotinya cuma sedikit. Jadi Ayah buatin lebih banyak."
Naina masih menatap sendu Ayahnya yang kini mulai memasukkan kotak makanan berisi roti ke dalam sebuah tas kecil. Lalu merapikan dasinya dan meraih tas kerja.
"Kita berangkat sekarang."
Naina merasa pertahanan kelopak matanya rapuh dan membiarkan air sialan itu turun. Rasanya tidak tega melihat Ayahnya seperti ini. Jarang istirahat. Harus antar jemput sekolah. Belum lagi pekerjaan rumah yang minta di jamah.
"Ayah. Terima kasih." Naina mengucapkannya dengan suara tercekat dan menghambur memeluk Ayahnya.
"Sama-sama princess Ayah. I love you."
Naina hanya mengangguk dan mengeratkan lingkaran tangannya di leher sang Ayah. Membiarkan Ayahnya mengangkat tubuh mungilnya untuk menuju garasi dan mengantarnya kesekolah sebelum Ayahnya pergi ke kantor.
***
"Presentasi yang luar biasa. Anda benar-benar luar biasa Manager (namakamu)."
Wanita yang di sebut (namakamu) itu tersenyum dan mengucapkan banyak terima kasih karna presentasinya untuk proyek pembangunan mall di terima dengan baik.
Rapat ini selesai dengan sangat sukses. (Namakamu) segera mengemasi peralatannya dan melangkah keluar. Jabatannya sebagai Manager MS Group membuatnya di hormati banyak orang. Sifatnya yang tegas dan profesional banyak menerima decak kagum dan acungan jempol.
"Manager (Namakamu)!"
Langkah (namakamu) yang anggun terhenti saat sebuah suara menyerukan namanya dengan sangat lantang dan jelas. (Namakamu) memutar tubuhnya untuk melihat siapa pemilik suara itu.
"Ada yang bisa saya bantu?" Tanya (namakamu) saat langkah seorang... gadis. Berhenti di hadapannya.
Gadis itu tersenyum. "Anda Manager (namakamu)?" Tanya gadis itu.
"Iya. Ada apa?" (Namakamu) kembali bertanya.
Gadis itu tidak langsung menjawab. Gadis itu semula mengulum senyumnya semakin lebar lalu mengulurkan tangannya. "Saya Steffi. Sekertaris baru pak Iqbaal. Suami Anda." Ucap gadis itu.
(Namakamu) tidak memasang senyumnya. Bahkan matanya hanya sekali melirik tangan Steffi yang masih menunggu jabatan tangannya. Hingga Steffi kembali menarik tangannya setelah faham kalau (namakamu) tidak akan menerima salam perkenalan darinya.
"Saya sangat mengagumi Anda. Saya datang kesini hanya untuk meminta tanda tangan Anda. Anda inspirasi saya dalam hal bekerja. Boleh kah saya mendapat tanda tangan Anda?" Tanya Steffi.
(Namakamu) hanya menganggukkan kepalanya dan meraih bolpoin. Lalu menggoreskan tanda tangannya pada kertas yang sudah Steffi siapkan.
"Kalau sudah tidak ada yang di bicarakan saya permisi." (Namakamu) memutar tubuhnya hendak pergi.
"Tunggu!" (Namakamu) menghela nafas saat Steffi menghentikan langkahnya lagi.

"Bukankah suami Anda pemilik perusahaan Dhiafakhri Group? Kenapa Anda bekerja untuk MS Group? Bukankah perusahaan suami Anda juga sedang berkembang pesat? Bahkan Dhiafakhri Group menempati urutan ketiga sebagai perusaha maju di Indonesia? Kenapa Anda memilih menjadi Manager MS Group?"

No comments:

Post a Comment