Srrk... kedua mata mungil
yang semula terpejam kini terlihat mulai bergerak. Gadis cantik berusia tujuh
tahun itu terbangun sempurna saat seorang laki-laki dengan kaca mata minus
mengguncangkan tubuh mungilnya. Memintanya untuk terbangun.
"Ayah." Suara gadis
kecil itu terdengar parau dan lebih cenderung serak. Laki-laki yang di panggil
Ayah itu tersenyum dan mengusap pelipis gadis kecil kesayangannya itu.
"Selamat pagi Princess
Aurora Ayah?"
Gadis kecil itu tersenyum
lebar saat sapaan pagi itu kembali ia dengar. Sapaan yang selalu ia dengar
sejak tiga tahun yang lalu. Gadis itu beranjak dari duduknya dan mengucek kedua
matanya yang terasa kering dan diakhiri dengan menguap yang hasilnya membuat
Ayahnya tersenyum.
"Selamat pagi juga
pangeran princess Aurora." Balas gadis kecil itu.
Ayahnya tersenyum dan
memberikan kecupan manis di kening putri kecilnya. "Tadi malam ada mimpi
apa?" Tanyanya.
Gadis kecil itu terdiam
sejenak. Menatap dalam mata Ayahnya dan kemudian tersenyum manis. Beranjak
sedikit dan mencium pipi Ayahnya.
"Semalam Naina mimpi
indah, Yah." Jawab gadis yang bernama Naina. Naina Dhiafakhri.
"Oh iya? Mimpi apa?
Cerita dong sama Ayah."
Naina tersenyum. Melirik
jam weker di atas nakas dan ia pikir ia masih punya cukup waktu untuk bercerita
sebelum ia bersiap untuk pergi sekolah. Naina kembali menatap Ayahnya yang
masih menunggunya untuk bercerita.
"Naina mimpi,
Bunda." Ucap Naina mengawali ceritanya.
Ayahnya yang semula
tersenyum. Kini terdiam. Senyumnya sedikit luntur dan hanya menyisakan senyum
samar yang nyaris tak terlihat.
"Naina mimpi kalau
keluarga kayak dulu lagi. Ayah, Bunda, dan Naina. Kita ketemu setiap pagi.
Nemenin Naina main. Nemenin Naina belajar. Jalan bareng. Foto bareng.
Seru-seruan bareng. Di dalam mimpi Naina. Bunda masih baik. Gak kayak sekarang.
Bunda jahat, gak mau ngurusin Naina lagi. Di mimpi Naina. Setiap pagi yang
nyiapin sarapan itu Bunda, bukan Ayah-"
"Cukup!" Naina
menghentikan ucapannya dan menunduk. Ia tahu Ayahnya tidak suka ia menceritakan
ini.
"Apa ini mimpi yang
sama dengan mimpi-mimpi sebelumnya?" Tanya Ayahnya. Dan Naina mengangguk
dengan kepala menunduk.
Gadis kecil itu memejamkan
matanya saat merasakan nafasnya mulai tercekat. Terlebih saat bayangan wajah
cantik Bunda-nya melintas di kepala cantiknya.
"Naina cuma mau Bunda
kayak dulu, Yah. Peduli Naina. Peduli sama Ayah. Jujur, Naina kangen sama
Bunda, Yah." Lirih Naina.
Laki-laki yang berstatus
sebagai Ayahnya itu mengerti. Menarik Naina kedalam pelukannya dan berusaha
menghentikan tangisan yang mulai terpancing keluar dari bibir mungil Naina. Ia
tidak pernah bisa melihat malaikat kecilnya yang cantik ini menangis.
"Ada Ayah, sayang.
Jangan nangis ya? Bunda cuma lagi sibuk. Makanya dia gak bisa nemeni Naina
setiap saat kayak Ayah nemenin Naina." Bisiknya.
***
Naina menuruni tangga
dengan wajah murung seperti biasa. Sekarang ia sudah rapi dengan seragam
sekolah dan rambutnya yang panjang di gerai dengan hiasan bandana pita pink
yang cantik.
Langkah kaki nungilnya
terhenti saat sampai di anak tangga terakhir. Matanya menatap sendu kearah meja
makan. Memperhatikan Ayahnya yang sibuk menyiapkan roti untuk bekalnya di
sekolah.
"Sayang? Ayo sini.
Ayah udah bikin susu kesukaan kamu. Habisin ya? Habis itu kita berangkat. Ayah
gak bisa lama-lama. Ayah ada client di kantor."
Naina tidak membalas
senyuman Ayahnya. Hanya mengangguk dan segera melangkah menghampiri Ayahnya.
Naina bisa melihat wajah lelah Ayahnya saat ini. Tanpa berucap apapun Naina
meraih gelas berisi susu putih di atas meja dan segera meminumnya sampai habis.
"Ini bekal-nya ya?
Ayah bawain banyak. Kamu bilang kan temen kamu suka minta. Ayah gak mau anak
Ayah kelaparan karna rotinya cuma sedikit. Jadi Ayah buatin lebih banyak."
Naina masih menatap sendu
Ayahnya yang kini mulai memasukkan kotak makanan berisi roti ke dalam sebuah
tas kecil. Lalu merapikan dasinya dan meraih tas kerja.
"Kita berangkat
sekarang."
Naina merasa pertahanan
kelopak matanya rapuh dan membiarkan air sialan itu turun. Rasanya tidak tega
melihat Ayahnya seperti ini. Jarang istirahat. Harus antar jemput sekolah.
Belum lagi pekerjaan rumah yang minta di jamah.
"Ayah. Terima
kasih." Naina mengucapkannya dengan suara tercekat dan menghambur memeluk
Ayahnya.
"Sama-sama princess
Ayah. I love you."
Naina hanya mengangguk dan
mengeratkan lingkaran tangannya di leher sang Ayah. Membiarkan Ayahnya
mengangkat tubuh mungilnya untuk menuju garasi dan mengantarnya kesekolah
sebelum Ayahnya pergi ke kantor.
***
"Presentasi yang luar
biasa. Anda benar-benar luar biasa Manager (namakamu)."
Wanita yang di sebut
(namakamu) itu tersenyum dan mengucapkan banyak terima kasih karna
presentasinya untuk proyek pembangunan mall di terima dengan baik.
Rapat ini selesai dengan
sangat sukses. (Namakamu) segera mengemasi peralatannya dan melangkah keluar.
Jabatannya sebagai Manager MS Group membuatnya di hormati banyak orang.
Sifatnya yang tegas dan profesional banyak menerima decak kagum dan acungan
jempol.
"Manager
(Namakamu)!"
Langkah (namakamu) yang
anggun terhenti saat sebuah suara menyerukan namanya dengan sangat lantang dan
jelas. (Namakamu) memutar tubuhnya untuk melihat siapa pemilik suara itu.
"Ada yang bisa saya
bantu?" Tanya (namakamu) saat langkah seorang... gadis. Berhenti di
hadapannya.
Gadis itu tersenyum.
"Anda Manager (namakamu)?" Tanya gadis itu.
"Iya. Ada apa?"
(Namakamu) kembali bertanya.
Gadis itu tidak langsung
menjawab. Gadis itu semula mengulum senyumnya semakin lebar lalu mengulurkan
tangannya. "Saya Steffi. Sekertaris baru pak Iqbaal. Suami Anda."
Ucap gadis itu.
(Namakamu) tidak memasang
senyumnya. Bahkan matanya hanya sekali melirik tangan Steffi yang masih
menunggu jabatan tangannya. Hingga Steffi kembali menarik tangannya setelah
faham kalau (namakamu) tidak akan menerima salam perkenalan darinya.
"Saya sangat mengagumi
Anda. Saya datang kesini hanya untuk meminta tanda tangan Anda. Anda inspirasi
saya dalam hal bekerja. Boleh kah saya mendapat tanda tangan Anda?" Tanya
Steffi.
(Namakamu) hanya
menganggukkan kepalanya dan meraih bolpoin. Lalu menggoreskan tanda tangannya
pada kertas yang sudah Steffi siapkan.
"Kalau sudah tidak ada
yang di bicarakan saya permisi." (Namakamu) memutar tubuhnya hendak pergi.
"Tunggu!"
(Namakamu) menghela nafas saat Steffi menghentikan langkahnya lagi.
"Bukankah suami Anda
pemilik perusahaan Dhiafakhri Group? Kenapa Anda bekerja untuk MS Group?
Bukankah perusahaan suami Anda juga sedang berkembang pesat? Bahkan Dhiafakhri
Group menempati urutan ketiga sebagai perusaha maju di Indonesia? Kenapa Anda
memilih menjadi Manager MS Group?"
No comments:
Post a Comment