Srrk... kedua mata mungil
yang semula terpejam kini terlihat mulai bergerak. Gadis cantik berusia tujuh
tahun itu terbangun sempurna saat seorang laki-laki dengan kaca mata minus
mengguncangkan tubuh mungilnya. Memintanya untuk terbangun.
"Ayah." Suara gadis
kecil itu terdengar parau dan lebih cenderung serak. Laki-laki yang di panggil
Ayah itu tersenyum dan mengusap pelipis gadis kecil kesayangannya itu.
"Selamat pagi Princess
Aurora Ayah?"
Gadis kecil itu tersenyum
lebar saat sapaan pagi itu kembali ia dengar. Sapaan yang selalu ia dengar
sejak tiga tahun yang lalu. Gadis itu beranjak dari duduknya dan mengucek kedua
matanya yang terasa kering dan diakhiri dengan menguap yang hasilnya membuat
Ayahnya tersenyum.
"Selamat pagi juga
pangeran princess Aurora." Balas gadis kecil itu.
Ayahnya tersenyum dan
memberikan kecupan manis di kening putri kecilnya. "Tadi malam ada mimpi
apa?" Tanyanya.
Gadis kecil itu terdiam
sejenak. Menatap dalam mata Ayahnya dan kemudian tersenyum manis. Beranjak
sedikit dan mencium pipi Ayahnya.
"Semalam Naina mimpi
indah, Yah." Jawab gadis yang bernama Naina. Naina Dhiafakhri.
"Oh iya? Mimpi apa?
Cerita dong sama Ayah."
Naina tersenyum. Melirik
jam weker di atas nakas dan ia pikir ia masih punya cukup waktu untuk bercerita
sebelum ia bersiap untuk pergi sekolah. Naina kembali menatap Ayahnya yang
masih menunggunya untuk bercerita.
"Naina mimpi,
Bunda." Ucap Naina mengawali ceritanya.
Ayahnya yang semula
tersenyum. Kini terdiam. Senyumnya sedikit luntur dan hanya menyisakan senyum
samar yang nyaris tak terlihat.
"Naina mimpi kalau
keluarga kayak dulu lagi. Ayah, Bunda, dan Naina. Kita ketemu setiap pagi.
Nemenin Naina main. Nemenin Naina belajar. Jalan bareng. Foto bareng.
Seru-seruan bareng. Di dalam mimpi Naina. Bunda masih baik. Gak kayak sekarang.
Bunda jahat, gak mau ngurusin Naina lagi. Di mimpi Naina. Setiap pagi yang
nyiapin sarapan itu Bunda, bukan Ayah-"
"Cukup!" Naina
menghentikan ucapannya dan menunduk. Ia tahu Ayahnya tidak suka ia menceritakan
ini.
"Apa ini mimpi yang
sama dengan mimpi-mimpi sebelumnya?" Tanya Ayahnya. Dan Naina mengangguk
dengan kepala menunduk.
Gadis kecil itu memejamkan
matanya saat merasakan nafasnya mulai tercekat. Terlebih saat bayangan wajah
cantik Bunda-nya melintas di kepala cantiknya.
"Naina cuma mau Bunda
kayak dulu, Yah. Peduli Naina. Peduli sama Ayah. Jujur, Naina kangen sama
Bunda, Yah." Lirih Naina.
Laki-laki yang berstatus
sebagai Ayahnya itu mengerti. Menarik Naina kedalam pelukannya dan berusaha
menghentikan tangisan yang mulai terpancing keluar dari bibir mungil Naina. Ia
tidak pernah bisa melihat malaikat kecilnya yang cantik ini menangis.
"Ada Ayah, sayang.
Jangan nangis ya? Bunda cuma lagi sibuk. Makanya dia gak bisa nemeni Naina
setiap saat kayak Ayah nemenin Naina." Bisiknya.
***
Naina menuruni tangga
dengan wajah murung seperti biasa. Sekarang ia sudah rapi dengan seragam
sekolah dan rambutnya yang panjang di gerai dengan hiasan bandana pita pink
yang cantik.
Langkah kaki nungilnya
terhenti saat sampai di anak tangga terakhir. Matanya menatap sendu kearah meja
makan. Memperhatikan Ayahnya yang sibuk menyiapkan roti untuk bekalnya di
sekolah.
"Sayang? Ayo sini.
Ayah udah bikin susu kesukaan kamu. Habisin ya? Habis itu kita berangkat. Ayah
gak bisa lama-lama. Ayah ada client di kantor."
Naina tidak membalas
senyuman Ayahnya. Hanya mengangguk dan segera melangkah menghampiri Ayahnya.
Naina bisa melihat wajah lelah Ayahnya saat ini. Tanpa berucap apapun Naina
meraih gelas berisi susu putih di atas meja dan segera meminumnya sampai habis.
"Ini bekal-nya ya?
Ayah bawain banyak. Kamu bilang kan temen kamu suka minta. Ayah gak mau anak
Ayah kelaparan karna rotinya cuma sedikit. Jadi Ayah buatin lebih banyak."
Naina masih menatap sendu
Ayahnya yang kini mulai memasukkan kotak makanan berisi roti ke dalam sebuah
tas kecil. Lalu merapikan dasinya dan meraih tas kerja.
"Kita berangkat
sekarang."
Naina merasa pertahanan
kelopak matanya rapuh dan membiarkan air sialan itu turun. Rasanya tidak tega
melihat Ayahnya seperti ini. Jarang istirahat. Harus antar jemput sekolah.
Belum lagi pekerjaan rumah yang minta di jamah.
"Ayah. Terima
kasih." Naina mengucapkannya dengan suara tercekat dan menghambur memeluk
Ayahnya.
"Sama-sama princess
Ayah. I love you."
Naina hanya mengangguk dan
mengeratkan lingkaran tangannya di leher sang Ayah. Membiarkan Ayahnya
mengangkat tubuh mungilnya untuk menuju garasi dan mengantarnya kesekolah
sebelum Ayahnya pergi ke kantor.
***
"Presentasi yang luar
biasa. Anda benar-benar luar biasa Manager (namakamu)."
Wanita yang di sebut
(namakamu) itu tersenyum dan mengucapkan banyak terima kasih karna
presentasinya untuk proyek pembangunan mall di terima dengan baik.
Rapat ini selesai dengan
sangat sukses. (Namakamu) segera mengemasi peralatannya dan melangkah keluar.
Jabatannya sebagai Manager MS Group membuatnya di hormati banyak orang.
Sifatnya yang tegas dan profesional banyak menerima decak kagum dan acungan
jempol.
"Manager
(Namakamu)!"
Langkah (namakamu) yang
anggun terhenti saat sebuah suara menyerukan namanya dengan sangat lantang dan
jelas. (Namakamu) memutar tubuhnya untuk melihat siapa pemilik suara itu.
"Ada yang bisa saya
bantu?" Tanya (namakamu) saat langkah seorang... gadis. Berhenti di
hadapannya.
Gadis itu tersenyum.
"Anda Manager (namakamu)?" Tanya gadis itu.
"Iya. Ada apa?"
(Namakamu) kembali bertanya.
Gadis itu tidak langsung
menjawab. Gadis itu semula mengulum senyumnya semakin lebar lalu mengulurkan
tangannya. "Saya Steffi. Sekertaris baru pak Iqbaal. Suami Anda."
Ucap gadis itu.
(Namakamu) tidak memasang
senyumnya. Bahkan matanya hanya sekali melirik tangan Steffi yang masih
menunggu jabatan tangannya. Hingga Steffi kembali menarik tangannya setelah
faham kalau (namakamu) tidak akan menerima salam perkenalan darinya.
"Saya sangat mengagumi
Anda. Saya datang kesini hanya untuk meminta tanda tangan Anda. Anda inspirasi
saya dalam hal bekerja. Boleh kah saya mendapat tanda tangan Anda?" Tanya
Steffi.
(Namakamu) hanya
menganggukkan kepalanya dan meraih bolpoin. Lalu menggoreskan tanda tangannya
pada kertas yang sudah Steffi siapkan.
"Kalau sudah tidak ada
yang di bicarakan saya permisi." (Namakamu) memutar tubuhnya hendak pergi.
"Tunggu!"
(Namakamu) menghela nafas saat Steffi menghentikan langkahnya lagi.
"Bukankah suami Anda
pemilik perusahaan Dhiafakhri Group? Kenapa Anda bekerja untuk MS Group?
Bukankah perusahaan suami Anda juga sedang berkembang pesat? Bahkan Dhiafakhri
Group menempati urutan ketiga sebagai perusaha maju di Indonesia? Kenapa Anda
memilih menjadi Manager MS Group?"
Pertanyaan Steffi membuat
(namakamu) memejamkan matanya. Dengan sekali bergerak (namakamu) memutar
tubuhnya dan menatap Steffi yang kini masih menatapnya dengan tatapan meminta
penjelasan.
"Saya dan suami saya
memiliki karir yang berbeda. MS Group memiliki pandangan yang berbeda dengan
Dhiafakhri Group. Dan saya lebih nyaman berada di sini. Perlu Anda tahu Nona
Steffi. Saya dan suami saya itu memiliki pola pikir yang berbeda, tujuan hidup
yang berbeda, cara kerja yang berbeda. Kalau saya bekerja di perusahaan suami
saya. Semua orang hanya akan menganggap saya sebagai nyonya besar atau istri
direktur dan itu tidak membuat saya nyaman. Semua tentang saya dan suami saya
itu berbeda. Hanya satu dari kami yang sama... hati. Permisi."
Steffi cukup tercengang
mendengar jawaban (namakamu). Semua dalam dirinya dan Iqbaal berbeda? Hanya
hati yang sama? Cukup romantis. Tapi lebih cenderung miris. Steffi meringis
saat menatap kertas berisi tanda tangan (namakamu) yang terukir dengan sangat
apik. Lalu matanya kembali menatap punggung (namakamu) yang kini sudah mulai
menjauh.
***
Iqbaal membenarkan posisi
kaca matanya. Kembali membuka berkas dan mulai menatap layar monitor di
hadapannya. Sampai fokusnya pecah saat ponselnya bergetar.
"Hallo?"
'Aku pulang malam. Ada
meeting sama client penting. Bilang sama Naina aku mencintainya.'
Tuut tuut tuut... Iqbaal
menghela nafas. Selalu seperti ini. Setelah selesai berbicara wanita itu
langsung mematikan sambungan telfonnya. Dan ia selalu berucap seperti ini
setiap harinya. Iqbaal bahkan sampai hafal kata-kata itu di luar kepala.
'Sampai kapan kamu kayak
gini, (namakamu)? Aku cuma gak tega sama Naina. Dia pengen kamu ada saat dia
lagi masa pertumbuhan dan saat ia belajar. Dia merindukan Bundanya.'
Iqbaal menghela nafas.
Melepaskan kaca matanya dan mengurut pelan tulang hidung di antara kedua
alisnya. Merasakan kepalanya pening memikirkan perasaan Naina yang mungkin akan
kembali kecewa karna Bundanya tidak akan pulang sebelum Naina tertidur.
Clek! Iqbaal segera
mengenakan kaca matanya saat seseorang memasuki ruangannya. Yang pasti bukan
sembarang orang. Iqbaal tersenyum saat laki-laki itu duduk di hadapannya.
"Apa kabar Bang
Kiki?" Tanya Iqbaal seraya menegakkan duduknya.
"Setiap hari lo
nanyain itu. Kenapa? Ada masalah?" Tanya Kiki yang melihat Iqbaal tampak
kusut hari ini. Terlebih mata pandanya semakin hari semakin terlihat.
"Biasa lah."
Jawab Iqbaal seraya tersenyum tipis.
Kiki menghela nafas.
Menyandarkan punggungnya dan memperhatikan langit-langit ruang kerja Iqbaal.
"Bang? Nanti lo bisa
bantuin gue?" Tanya Iqbaal.
Kiki mengalihkan
pandangannya kembali menatap Iqbaal dengan alis terangkat. Meminta Iqbaal
mengatakan bantuan apa yang bisa ia lakukan untuk Iqbaal.
"Jemput Naina di
sekolah ya? Gue capek banget. Nanti lo bawa aja Naina kesini. Biar nanti dia
pulang bareng sama gue setelah kerjaan gue selesai." Ucap Iqbaal.
"Cuma itu? Okey. Gak
masalah gue jemput Naina. Gue juga udah kangen banget anak lo yang satu
itu."
Iqbaal hanya tersenyum dan
mengucapkan terima kasih saat Kiki mengatakan ia sanggup untuk menjemput Naina
sekolah. Iqbaal menengadahkan kepalanya dan menghela nafas panjang. Lalu
memejamkan matanya. Merasakan seluruh badannya yang terasa remuk.
***
Kiki bersandar pada badan
mobilnya. Bersindekap dada dan memperhatikan para ibu-ibu muda yang baru saja
menjemput anak-anaknya. Kiki menyipitkan matanya untuk mencari Naina.
Dan beberapa detik kemudian
matanya menangkap sosok gadis kecil yang cantik tengah melangkahkan kakinya
dengan wajah murung. Tangan mungilnya menenteng tas biru berisi bekal yang di
siapkan Ayahnya tadi pagi. Kiki hanya tersenyum tipis melihat tatapan berkaca
yang di tujukan pada teman-teman sebayanya yang tengah bergandengan tangan
ibunya masing-masing.
"Naina!"
Suara teriakan Kiki mampu
membuat Naina mengalihkan pandangan padanya. Tatapannya masih sama tapi
langkahnya tertuju pada Kiki. Dan Kiki tersenyum saat Naina sudah berada di
hadapannya.
"Tos dulu."
Seperti biasa. Kiki selalu mengajak Naina untuk tos ketika mereka bertemu.
"Paman? Bunda udah
pulang?" Tanya Naina.
Kiki bisa mendengar jelas suara
tercekat Naina. Dengan seutas senyum. Kiki mengusap pipi Naina yang lembut.
"Yang harus Naina
tahu. Bunda pasti pulang. Sekarang, Naina harus ikut paman kekantor Ayah. Ayah
udah nungguin Naina di sana." Ucap Kiki.
Naina memasang wajah yang
lebih murung. Hampir setiap hari ia tidak melihat wajah Bundanya lagi sejak dua
tahun lalu. Kalau pun sempat bertemu. Itu kalau Bundanya pulang sebentar untuk
mandi dan kembali pergi dengan alasan meeting.
"Naina jangan sedih.
Masa princess-nya Paman sedih sih? Gini deh, paman beliin ice cream yuk?
Berapapun Naina minta. Paman beliin."
Naina menggelengkan
kepalanya. "Naina mau ketemu Ayah aja." Lirih Naina.
Kiki menelan ludahnya saat
Naina mengucapkan itu dan segera membuka pintu mobil. Kiki bisa melihat
seberapa besar kesedihan yang terpancar di raut wajah Naina. Gadis kecil yang
sangat merindukan Bundanya yang lebih memilih sibuk dengan pekerjaan.
Kiki melepaskan nafas
beratnya dan segera berlari kecil menuju kemudi mobil. Mengantarkan Naina ke
kantor Iqbaal dan membiarkan Naina beristirahat di sana sampai jam kerja Iqbaal
selesai.
Kiki menelan ludahnya saat
Naina mengucapkan itu dan segera membuka pintu mobil. Kiki bisa melihat
seberapa besar kesedihan yang terpancar di raut wajah Naina. Gadis kecil yang
sangat merindukan Bundanya yang lebih memilih sibuk dengan pekerjaan.
Kiki melepaskan nafas
beratnya dan segera berlari kecil menuju kemudi mobil. Mengantarkan Naina ke
kantor Iqbaal dan membiarkan Naina beristirahat di sana sampai jam kerja Iqbaal
selesai.
***
Naina terlihat sibuk dengan
buku gambar di pangkuannya dan sekotak pensil warna. Naina beberapa kali
menarik nafas panjang dan melirik Ayahnya yang sibuk dengan pekerjaannya.
"Hai?"
Naina mengangkat wajahnya
saat mendengar suara bisikan. Naina hanya tersenyum tipis saat melihat gadis
cantik di hadapannya. Gadis cantik yang setiap hari bertemu dengannya dan
memberinya cokelat. Si sekertaris. Steffi.
"Tante punya sesuatu
buat Naina." Bisik Steffi yang sesekali melirik kearah Iqbaal. Berharap
Ayah Naina itu tidak melihatnya yang tengah bersama Naina.
"Apa Tante?"
Tanya Naina.
Steffi tersenyum. Mulai
menarik kedua tangannya yang tersembunyi di balik punggungnya. Steffi semakin
mengembangkan senyumnya saat melihat Naina membulatkan matanya dan perlahan
mulai mengukir senyum manis.
"Naina suka panda
kan?" Tanya Steffi.
Steffi mengulurkan
tangannya untuk menyerahkan hadiah darinya. Satu buah boneka panda berukuran
tanggung dengan tangan kanan yang tengah memegang bambu muda dan satu helai
daun bambu.
"Suka banget Tante.
Ini buat Naina?" Tanya Naina yang kini memeluk boneka panda pemberian
Steffi setelah yakin kalau Steffi menganggukkan kepalanya.
"Tadi Tante gak
sengaja lewat toko boneka. Terus Tante liat boneka ini. Dan Tante inget kalau
Naina itu suka panda, jadi Tante beliin buat Naina." Ucap Steffi.
Naina tersenyum dan semakin
erat memeluk boneka pandanya yang baru. Dan dengan ini koleksi boneka pandanya
bertambah. "Makasih ya Tante?" Ucap Naina. Tak lupa di akhiri dengan
kecupan manis untuk Steffi di pipi kanan.
"Sama-sama,
sayang." Steffi merasa puas karna bisa membuat Naina tersenyum dan
menghilangkan raut wajah murung yang setiap saat menghiasi wajah manis Naina
karna terlalu merindukan Ibunya.
"Tante? Nanti mau gak
nemenin Naina beli ice cream? Naina bosen di sini nungguin Ayah." Tanya
Naina.
Steffi melirik ke arah
Iqbaal yang masih sibuk dengan berkas-berkasnya dan kembali menatap Naina.
Steffi hanya meminta Naina untuk ijin pada Iqbaal untuk pergi bersama. Dan
setelah itu Steffi pasti akan menemani Naina kemana pun gadis kecil itu mau
pergi.
***
(Namakamu) tersenyum manis
saat laki-laki yang menjadi atasannya itu menarik kursi untuknya dan memintanya
duduk. "Mau pesen apa?"
(Namakamu) melirik daftar
menu di hadapannya. Hampir satu menit (namakamu) sibuk memilih makanan yang
menarik untuknya.
"Kayak biasa aja
deh." Ucap (namakamu) yang akhirnya memilih menu yang biasa ia pesan saat
berada di sini.
Laki-laki itu menganggukkan
kepalanya. Ia sudah tahu apa yang (namakamu) mau. Dengan cepat ia memanggil
pelayan dan memesankan makanan untuk wanita cantik di hadapannya.
(Namakamu) mengedarkan
pandangannya sembari menunggu pesanannya datang. (Namakamu) menatap keluar
resto. Tepatnya menatap kedai ice cream seberang jalan. (Namakamu) menyipitkan
matanya. Seperti ada menganggu penglihatannya saat ini.
"Kenapa,
(namakamu)?" Tanya laki-laki di hadapan (namakamu).
"I-itu... itu kayak
Naina." Ucap (namakamu) sembari menunjuk pada gadis kecil yang kini
melangkah keluar dari kedai ice cream bersama seorang gadis. Mereka tertawa dengan
riang. Dan itu membuat (namakamu) merasakan suatu sensasi di dalam dadanya.
"Sekertaris
Steffi." Desis (namakamu).
"Kamu kenal sama
perempuan itu?"
(Namakamu) mengalihkan
pandangannya kearah laki-laki di hadapannya dan segera mengangguk.
"Sekertaris Iqbaal. Suamiku." Jawab (namakamu).
(Namakamu) kembali menatap
kearah Steffi yang masih melangkah dengan menggandeng tangan Naina dan tampak
membicarakan sesuatu yang lucu dan membuat mereka tertawa bersama. Percaya atau
tidak. Hal ini tidak pernah (namakamu) lakukan bersama Naina.
***
Iqbaal melonggarkan dasi
yang terasa mencekik lehernya. Meletakkan tas kerjanya diatas nakas dan melepas
sepatunya. Iqbaal merasa seluruh tubuhnya remuk. Iqbaal tidak pulang bersama
Naina. Gadis kecil itu mengaku sudah di telfon Ibu-nya dan akan pulang bersama
(namakamu).
Sebenarnya Iqbaal tidak
yakin kalau (namakamu) akan menjemput Naina di kantor. Tapi untungnya ada
Steffi yang mau menemani Naina sampai (namakamu) datang. Dan Naina mengatakan
ia akan aman jika bersama Steffi lalu meminta Iqbaal untuk segera pulang.
Iqbaal baru saja merebahkan
tubuhnya di atas kasur saat mendengar suara gaduh dari lantai bawah. Iqbaal
memejamkan matanya dan mendengus kesal. Tidak bisakah ia beristirahat sebentar?
Paling tidak sepuluh menit. Agar tubuhnya kembali rileks.
Suara gaduh itu membuat
Iqbaal mengacak rambutnya dengan kesal dan segera beranjak turun dan melihat
apa yang terjadi. Sebelumnya Iqbaal melepas dasi dan membuka kancing teratas
kemejanya untuk mengusir hawa panas yang membuatnya semakin merasa lelah.
"Naina cuma beli ice
cream sama Tante Steffi apa itu salah?"
Iqbaal menuruni tangga
sedikit lebih cepat setelah mendengar suara Naina yang bergetar. Iqbaal bisa
melihat (namakamu) menatap tajam Naina dan mencengkram tangan mungil putrinya.
"Tapi Bunda gak suka
kamu deket sama dia! Kamu itu anak Bunda anak Tante Steffi. Dan kamu bisa kan
beli ice cream sama Bunda atau Ayah? Jangan sama Tante Steffi!" Ucap
(namakamu). Nadanya cukup tinggi dan membuat Naina menyipitkan matanya untuk
menahan tangisnya melihat Ibunya semarah ini hanya karna ia dekat dengan
Steffi.
"Naina mau beli ice
cream sama Bunda. Tapi Bunda yang gak pernah mau nemenin Naina beli ice cream.
Bunda selalu sibuk dan gak pernah peduli sama Naina-"
Naina memejamkan matanya saat
melihat tangan (namakamu) mulai terangkat ke udara dan membuat kata-katanya
terhenti.
"Cuma masalah kecil.
Gak usah di besar-besarin."
Naina membuka matanya.
Melihat Ayahnya sudah berdiri di sampingnya dan menurunkan tangan Ibunya yang
tadi terangkat. Naina melangkah semakin dekat dengan Iqbaal. Bersembunyi di
balik tubuh Iqbaal dan semakin erat memeluk boneka pemberian Steffi tadi siang.
"Jangan pernah deketin
anak aku sama perempuan lain! Aku gak mau kalau Naina sampai sayang sama
perempuan lain selain aku!" Ucap (namakamu) tegas.
"Naina cuma butuh
figur Ibu. Dan aku gak bisa liat dia murung setiap hari. Cuma Steffi yang bisa
buat dia senyum. Kamu harusnya sadar. Kamu Ibunya. Tapi kamu gak pernah pernah
punya waktu buat Naina. Kamu lebih mentingin pekerjaan di banding Naina.
Bahkan, saat Naina ulang tahun kamu gak ngucapin sama sekali kan?"
(Namakamu) menghela nafas.
Menatap Iqbaal dengan tatapan datar dan seolah ucapan Iqbaal sama sekali tak
membuatnya mengerti. (Namakamu) merasakan ponselnya bergetar. Dan (namakamu)
kembali menatap Iqbaal.
"Aku harus pergi.
Naina... buang boneka itu!" Ucap (namakamu). Wanita itu lalu melangkahkan
kakinya keluar dari rumah ini dan kembali pergi. Seperti biasanya.
Naina menatap boneka panda
pemberian Steffi dan menghentakkan kakinya menuju kamar. Membiarkan Iqbaal
mengejarnya dan mengetuk pintu kamar yang sudah ia kunci. Naina merasa ingin
sendiri. Ayahnya tidak tahu apa saja yang (namakamu) katakan sepanjang
perjalanan pulang tadi. Dan itu cukup menyakitkan baginya. Di tambah saat ia
melihat layar ponsel (namakamu).
"Naina?" Suara
Iqbaal membuat Naina menatap pintu yang ada di belakangnya dan kembali menatap
boneka panda pemberian Steffi.
"Naina mau sendiri,
Yah." Lirih Naina.
Dan setelah itu tidak
terdengar lagi suara Iqbaal. Naina melangkah perlahan menuju bed kasur-nya.
Tangan kanannya masih menenteng boneka panda. Dan menjatuhkan tubuhnya begitu
saja di atas bed kasur. Membiarkan air matanya tumpah mengingat apa saja yang
ia dengar ketika ia berada di dalam taksi bersama (namakamu).
'Shafira jangan sedih dong.
Nanti Tante beliin boneka kok. Tapi sekarang Tante harus nganterin anak Tante
dulu.'
'Iya, Shafira yang nomor
satu.'
'Cuma sepuluh menit. Nanti
Tante ketemu sama Shafira sama Papa lagi ya?'
Naina memejamkan matanya.
(Namakamu) bisa berbicara semanis itu pada anak lain. Bahkan (namakamu)
tersenyum saat berbincang via telfon dengan gadis kecil bernama Shafira itu.
Tapi, kenapa (namakamu) tidak bisa manis padanya? Kenapa (namakamu) tidak bisa
tersenyum untuknya? Kenapa (namakamu) tidak bisa punya waktu dengannya tapi
bisa punya waktu untuk anak lain? Kenapa (namakamu) tidak bisa selalu ada
untuknya. Tapi selalu ada untuk anak lain? Apa (namakamu) sudah tidak
menyayanginya lagi? Oh Tuhan! Kenapa seperti ini? Kenapa (namakamu) berubah
sejak memutuskan untuk bekerja.
Naina menepis air matanya.
Memori otak kecilnya kembali berputar dan ia dengan jelas melihat foto yang
terpasang sebagi wallpaper layar ponsel (namakamu). Itu foto (namakamu) dengan
seorang anak kecil. Tapi bukan Naina.
"Kenapa Bunda kayak
gini? Kenapa Bunda sayang orang lain tapi gak sama Naina dan Ayah? Apa Bunda
udah gak sayang Naina sama Ayah lagi?"
Naina membenamkan wajahnya
pada boneka panda di dalam pelukannya. Membiarkan boneka itu menjadi penampung air
mata sakit hatinya atas sikap Ibu-nya sendiri.
***
(Namakamu) menutup pintu
taksi dan segera memasang senyum saat gadis kecil kesayangannya berlari
menyambutnya. Dengan senang hati (namakamu) merentangkan tangannya dan membawa
gadis kecil itu masuk kedalam pelukannya.
"Tante lama. Katanya
sepuluh menit." Ucap gadis kecil itu. Tak lupa memproutkan bibirnya dengan
lucu.
"Maaf sayang. Tadi kan
Tante di jalan kena macet jadi telat. Oh iya, kamu udah makan belum?"
Tanya (namakamu) mengalihkan pembicaraan agar gadis kecil itu tidak terus
menerus memasang wajah cemberutnya.
"Mau di suapin sama
Tante. Gak enak di suapin sama Papa."
(Namakamu) tersenyum,
menyimpan rambut panjang gadis itu di balik daun telinga kanan agar ia bisa
mencium pipi tembem gadis berusia lima tahun itu. "Yaudah Tante
suapin."
Gadis kecil itu bersorak
riang. Terlebih (namakamu) menggendongnya dan melangkah memasuki rumah tiga
lantai milik Ayahnya.
(Namakamu) tersenyum dan
beberapa kali memberikan kecupan gemas di pipi gadis kecil kesayangannya. Dan
langkahnya terhenti saat ia sampai di meja makan. Di sana sudah ada Ayah dari
gadis kecil itu yang tengah menyiapkan makanan untuk gadis kecil itu.
"Shafira gak mau aku
suapin. Yah, dia udah kebiasaan sama kamu. Nih?" Laki-laki itu mendekatkan
piring berisi makanan kesukaan Shafira.
(Namakamu) meraih piring
itu. Sebelumnya ia mendudukkan Shafira di atas kursi dan meminta Shafira untuk
menatapnya.
"Jelas Shafira gak
mau. Orang Papa Aldi matanya sipit. Gimana mau nyuapin Shafira. Nanti yang ada
makanannya bukan masuk mulut tapi malah masuk hidung." Ucap (namakamu)
dengan nada berbisik dan sesekali melirik kearah laki-laki yang ia sebut
bernama Aldi.
(Namakamu) terkikik pelan
saat melihat shafira tertawa mendengar ucapannya dan wajah tidak terima Aldi yang
menurutnya lucu. (Namakamu) segera menyuapkan satu sendok makanan kedalam mulut
Shafira. Dan dengan senang hati Shafira menerima suapan itu.
"Tante. Habis ini
tepatin janji ya?"
(Namakamu) menaikkan satu
alisnya dan kembali menyuapkan makanan kedalam mulut mungil Shafira.
"Apa?"
Shafira tidak langsung
menjawab. Mengunyah makanannya dengan tergesa dan segera meraih segelas air
putih dan ekpresinya yang lucu sukses membuat (namakamu) semakin gemas.
"Boneka panda."
Jawab Shafira.
"Oh itu. Iya. Nanti
habis makan kita jalan. Kita cari boneka panda yang Shafira mau." Ucap
(namakamu).
Aldi yang melihat Shafira
bersorak hanya tersenyum. Gadis kecilnya sudah menemukan sosok yang dia mau.
Dan Aldi bersyukur karna dua tahun lalu ia bisa menemukam (namakamu) di antara
ribuan calon karyawan yang memasukkan lamaran ke perusahaannya. Dan saat itu
Aldi sendiri yang meng-interview (namakamu) dan langsung menempatkan (namakamu)
sebagai manager tetap di MS Group.
***
Iqbaal tersenyum saat Naina
keluar dari pintu kamarnya dengan pakaian yang sudah rapi. Iqbaal hanya
menghela nafas saat melihat mata sembab gadis kecilnya. Naina masih membawa
boneka panda pemberian Steffi dan masih memeluknya seperti saat pertama kali
Steffi memberikannya.
"Nanti ada Tante
Steffi kan, Yah?" Tanya Naina.
Iqbaal hanya menganggukkan
kepalanya dan membalas genggaman tangan Naina. Lalu segera melangkahkan kakinya
keluar. Malam ini, Iqbaal ingin mengajak Naina keluar dan mencari hiburan untuk
gadis kecil itu agar tidak terus mengingat Ibunya yang belum pulang malam ini.
***
Steffi menyandarkan
punggungnya pada sandaran kursi foodcourt. Sesekali mengetukkan jari
telunjuknya pada meja dan melirik jam tangannya. Steffi mengedarkan
pandangannya. Dan beberapa detik kemudian senyumnya mengembang.
Steffi mengangkat tangannya
dan melambaikan tangannya. Steffi segera menurunkan tangannya saat Iqbaal dan
Naina sudah mendekati posisinya.
"Tante Steffi!"
Naina melepaskan genggaman tangannya dari tangan Iqbaal dan berlari menghampiri
Steffi. Lalu, duduk di samping Steffi dan memeluk Steffi sekali sebelum
akhirnya menegakkan duduknya.
"Udah lama? Maaf. Tadi
Naina minta beliin ice cream di luar." Ucap Iqbaal sembari membenarkan
posisi duduknya.
"Gak papa kok. Aku
juga belum lama." Ucap Steffi.
Iqbaal memang pernah mengatakan
pada Steffi agar tidak berbicara formal ketika di luar kantor dan di hadapan
Naina. Dan Steffi menyanggupinya.
"Tante, temenin Naina
main yuk? Naina gak laper. Naina cuma mau main."
Steffi tersenyum menatap
wajah Naina yang penuh harap. Tanpa suara Steffi menganggukkan kepalanya. Naina
jelas merasa senang. Dengan cepat ia turun dari kursinya dan menarik tangan
Steffi untuk menuju arena permainan. Lalu, di ikuti Iqbaal yang mengekor di
belakang Naina dan Steffi.
"Pelan-pelan, sayang.
Nanti kamu jatuh." Ucap Steffi saat Naina melepaskan genggaman tangannya
dan berlari mendahului Steffi.
Steffi hanya sesekali
tertawa pelan saat melihat langkah Naina yang mungil. Di tambah tubuhnya yang
kecil memeluk boneka panda pemberiannya.
Iqbaal menghela nafas. Hanya
bersyukur Naina bisa tersenyum dan melupakan sikap Ibunya sejenak. Hanya saat
Naina dekat dengan Steffi. Naina bisa tersenyum dan membuat Iqbaal tidak
khawatir.
Steffi mengernyitkan
alisnya saat melihat langkah Naina terhenti di depan sebuah toko boneka.
Tiba-tiba matanya kembali berkaca. Steffi maupun Iqbaal segera mendekat dan
mencari tahu apa penyebab Naina menghentikan langkahnya.
"Bunda." Desis
Naina.
Iqbaal menatap lebih dalam
toko boneka di hadapannya. Matanya kini terpaku pada satu titik. Seperti ada
yang meremas jantungnya saat ini dan sengaja mencabut jantungnya. Membuat
jantungnya menggelinding lepas dari tempatnya.
Iqbaal bisa melihat jelas
wajah (namakamu) yang tersenyum dengan seorang gadis kecil di dalam
gendongannya dan laki-laki yang dengan lancang melingkarkan tangannya di
pinggang (namakamu). Yang membuat Iqbaal kecewa adalah kenapa (namakamu) tidak
berontak? Kenapa (namakamu) tidak merasa risih dengan lengan pria asing yang
bertengger di pinggangnya? Kenapa (namakamu) terlihat santai dan menikmati
kebersamaan itu?
"Naina!"
Tatapan Iqbaal buyar saat
mendengar Steffi memekikkan nama Naina dan langkah kaki cepat yang menjauh.
Iqbaal melihat boneka panda milik Naina tergeletak begitu saja di lantai Mall.
Tapi Iqbaal masih setia pada posisinya. Berharap (namakamu) melihatnya berdiri
di sini dan menjelaskan apa yang tengah ia lalukan bersama anak kecil dan
laki-laki itu yang dengan sangat lancang menyentuh pinggang (namakamu).
***
Steffi hanya memeluk Naina
yang menangis dengan kencang. Steffi sengaja membawa Naina ke atap Mall agar
gadis kecil itu bisa leluasa menumpahkan rasa sakit hatinya. Steffi mengerti
bagaimana perasaan Naina saat ini. Melihat Ibunya sendiri bisa bersikap manis
pada anak lain. Itu menyakitkan.
"Kenapa Bunda jahat,
Tante? Kenapa Bunda gak bisa kayak Tante? Kenapa Bunda lebih milih jalan sama
anak itu dan sama Om itu ketimbang sama Naina sama Ayah? Apa Bunda udah gak
sayang Naina lagi?"
Steffi sejak tadi hanya
bisa menjadi pendengar yang baik dan selalu berusaha memberikan pelukan
terbaik. Ia tidak tahu harus mengatakan apa pada gadis kecil di dalam
pelukannya. Karna ia melihat sendiri bagaimana (namakamu) dengan raut wajah
bahagaia dan tanpa dosanya menemani anak orang lain membeli boneka.
"Naina benci
Bunda-"
"Naina gak boleh benci
sama Bunda. Mungkin Bunda punya alasan kenapa kayak gini. Tapi Naina gak boleh
benci sama Bunda. Bunda sayang kok sama Naina, sama Ayah. Naina harus percaya
itu." Bisik Steffi.
Naina tidak mengucapkan
apapun lagi. Hanya semakin mengeratkan pelukan pada tubuh Steffi yang
membuatnya merasa nyaman. Dalam hatinya. Naina menyesal. Menyesal karna
terlahir dari seorang ibu bernama (namakamu) yang jelas-jelaa sudah tidak
menyayanginya lagi. Dan Naina menyesal karna Tuhan tidak menciptakannya untuk
lahir dari rahim seorang Steffi yang jelas-jelas menyayanginya sepenuh hati.
Tapi ini takdir. Naina
tidak bisa menyalahkan takdirnya. Dan Naina hanya bisa menerima dan
melangkahkan kaki untuk menapaki takdir demi takdir yang sudah Tuhan gariskan
di hidupnya.
***
(Namakamu) masih memberikan
senyum dan terima kasih pada kasir setelah semua pembayaran selesai. Aldi
mengambil alih tubuh mungil Shafira dari tangan (namakamu) dan meminta Shafira
untuk berterima kasih pada (namakamu) yang sudah membelikannya boneka.
(Namakamu) mengedarkan
pandangannya. Dan matanya terhenti pada satu titik. Senyumnya yang manis
perlahan luntur. Nafasnya tiba-tiba saja tercekat saat melihat kearah luar
toko.
"Iqbaal?"
Desisnya.
(Namakamu) melihat Iqbaal
meraih boneka panda yang tergeletak di lantai Mall dan sempat menatapnya
sesaat. Lalu melangkah pergi.
"Tante ayo pulang.
Tapi Tante jangan pulang dari rumah Fira dulu ya? Temenin Fira sampai Fira
tidur." Ucap Shafira.
"Okey sayang."
Ucap (namakamu).
"(Namakamu)? Makasih
udah mau nemenin Shafira."
(Namakamu) hanya
menganggukkan kepalanya dan melangkah keluar dari toko. Ada perasaan bersalah
yang muncul saat melihat wajah kecewa Iqbaal terpancar jelas. Bagaimana saat ia
pulang nanti? Apa Iqbaal akan memarahinya? Atau mungkin tidak membukakan pintu
untuknya? (Namakamu) menghela nafas dan menggelengkan kepalanya. Tidak mau
terlalu memikirkan hal itu dan akan lebih baik jika ia memikirkan Shafira yang
begitu manyayanginya.
"(Namakamu)? Makasih
udah mau nemenin Shafira."
(Namakamu) hanya
menganggukkan kepalanya dan melangkah keluar dari toko. Ada perasaan bersalah
yang muncul saat melihat wajah kecewa Iqbaal terpancar jelas. Bagaimana saat ia
pulang nanti? Apa Iqbaal akan memarahinya? Atau mungkin tidak membukakan pintu
untuknya? (Namakamu) menghela nafas dan menggelengkan kepalanya. Tidak mau
terlalu memikirkan hal itu dan akan lebih baik jika ia memikirkan Shafira yang
begitu manyayanginya.
***
(Namakamu) membuka pintu
rumah. Tidak terkunci. (Namakamu) menghela nafas dan melangkah dengan lelah.
Melangkah menuju kamarnya dan Iqbaal untuk beristirahat. Sebelumnya ia sempat
melihat Naina di kamarnya dan hanya tersenyum tipis.
Kembali. (Namakamu)
menghela nafas saat memasuki kamarnya. Gelap. Iqbaal sama sekali tak menyalakan
lampu kamar atau lampu tidur. (Namakamu) melepas stiletto-nya dan berniat
melangkah menuju kamar mandi.
"Apa maksud
kamu?"
Langkah (namakamu) terhenti
saat Iqbaal secara tiba-tiba bersuara dan lampu kamar menyala dengan terang.
(Namakamu) memutar tubuhnya. Menatap Iqbaal yang kini duduk di tepi kasur
dengan kepala menunduk.
"Kenapa?" Tanya
(namakamu).
Iqbaal menengadahkan
wajahnya. Menatap (namakamu) yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi.
"Apa maksud kamu nyakitin hati Naina?" Tanya Iqbaal.
"Aku gak nyakitin
Naina. Aku sayang sama dia." Jawab (namakamu).
"Kalau kamu sayang
sama Naina kenapa kamu tega kayak gini ke dia? Selalu ada buat anak orang lain
tapi gak bisa ada waktu buat anak sendiri?" Tanya Iqbaal yang selalu
berusaha menahan emosinya.
(Namakamu) hanya tersenyum
tipis. Dan bersindekap dada. Ia tahu Iqbaal tidak akan pernah bisa marah
padanya. Iqbaal bukan laki-laki yang tega membentak atau menyakiti hati
perempuan. Dan Iqbaal sudah berjanji padanya saat pernikahan mereka delapan
tahun lalu. Iqbaal tidak akan pernah membentak, menatap tajam, atau pun berbuat
kasar padanya ketika ia salah.
Iqbaal beranjak dari
posisinya. Melangkah mendekati (namakamu) dan menatap (namakamu) selembut
mungkin. Sebisa mungkin ia menahan amarahnya karna teringat Naina yang menangis
hebat saat melihat (namakamu) di Mall tadi. Bahkan Naina sampai melarang Steffi
untuk pulang dan meminta Steffi untuk selalu menemaninya.
"Ada hubungan apa kamu
sama Aldi?" Tanya Iqbaal.
(Namakamu) menelan
ludahnya. Menatap wajah Iqbaal dengan kepala sedikit terangkat itu karna Iqbaal
memang lebih tinggi darinya.
"Harusnya aku yang
nanya sama kamu. Ada hubungan apa kamu sama Steffi? Kenapa dia bisa sedekat itu
sama Naina?" (Namakamu) tidak lagi bersindekap dada. Menatap dengan Iqbaal
dengan mata berkaca. Entahlah, (namakamu) merasa ada sesuatu yang mendorong air
matanya untuk turun.
"Kamu salah
faham." Ucap Iqbaal. Laki-laki itu memutar tubuhnya hendak meninggalkan
(namakamu) yang mulai menepis air matanya.
"Apa tugas seorang
sekertaris menemani putri direkturnya? Atau menjadi kekasih direkturnya yang
sudah beristri?"
Pertanyaan (namakamu)
membuat Iqbaal menautkan alisnya. Tidak mengerti dengan jalam fikiran
(namakamu). Entah apa yang (namakamu) katakan. Sepertinya wanita itu sudah
terlalu jauh salah faham.
"Maksud kamu apa nuduh
Steffi kayak gitu? Kamu udah berfikiran terlalu jauh!" Suara Iqbaal
tiba-tiba saja meninggi. Iqbaal kembali menatap (namakamu) dan kali ini cukup
tajam.
(Namakamu) menghela nafas
dan menetralkan suaranya yang tercekat. "Aku memang baru kemarin tatap
wajah langsung sama Steffi. Tapi aku tahu dia jadi sekertaris kamu setahun
terakhir kan? Dan dia sering nemenin Naina. Baal, kamu udah janji kan sama aku
kalau kamu gak akan ngambil sekertaris cewek? Tapi buktinya kamu tetep ngangkat
Steffi sebagai sekertaris kamu."
"Oh, jadi sikap kamu
ke Naina sekarang karna kamu cemburu sama Steffi? Kamu cemburu sama Steffi yang
bisa deket sama Naina? Dan karna Steffi sekertaris aku? Konyol." Iqbaal
menggelengkan kepalanya. Kembali memutar tubuhnya untuk menjauh dari (namakamu).
"Terus... kamu balas
dendam sama aku dengan cara deket sama direktur MS Group dan anaknya? Dan gak
peduli sama aku sama Naina?" Tanya Iqbaal lagi. Suaranya sudah tidak
tinggi seperti sebelumnya. Ia tidak ingin keadaan ini memanas jika ia menuruti
emosinya. Biarlah ia bertanya baik-baik dan (namakamu) menjelaskannya.
"Enggak. Aku deket
sama Aldi dan Shafira karna ada sesuatu. Bukan karna aku balas dendam ke kamu
karna Steffi yang sekarang lebih dekat sama Naina." Jawab (namakamu).
(Namakamu) segera
membalikkan tubuhnya untuk kembali masuk kedalam kamar mandi. Ingin segera
menyudahi percakapannya dengan Iqbaal malam ini. (Namakamu) rasa tidak ada
gunanya.
"Apa? Apa (namakamu)?
Apa yang kamu sembunyiin dari aku? Apa?" Desis Iqbaal.
Iqbaal memejamkan matanya
dan melepaskan kaca matanya lalu segera berbaring. Tak lupa sebelumnya ia
memadamkan lampu utama dan menggantinya dengan lampu tidur. Meskipun ia masih
memikirkan kata-kata (namakamu) sebelum wanita itu masuk ke dalam kamar mandi.
***
Naina menutup pintu
kamarnya dengan seragam lengkap. Langkah kaki mungilnya menuruni tangga dengan
hati-hati. Perlahan, Naina mulai menjenjangkan kepalanya untuk melihat kearah
meja makan untuk melihat siapa yang beraktifitas di sana pagi ini. Dan Naina
berharap itu adalah Bundanya.
"Selamat pagi
sayang?"
Langkah Naina terhenti saat
mendengar suara lembut yang dua tahun belakangan ini tidak menyapanya. Naina
berusaha menahan langkah kakinya yang serasa ingin berlari memghampiri meja
makan dan memeluk Ibu-nya yang pagi ini sibuk menyiapkan beberapa lembar roti
dan meletakkannya ke dalam kotak biru yang biasa Ayahnya isi dengan roti selai
strawberry kesukaannya.
"Kenapa diem di
tangga? Ayo sini, Bunda udah buatin susu putih kesukaan kamu."
Naina masih bertahan di posisinya.
Ia masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
"Bunda?" Naina
merasakan suaranya yang bergetar. Kedua kaki mungilnya mulai melangkah maju
untuk mendekati Ibu-nya yang saat ini baru saja menutup kotak biru. Kotak
bekalnya.
"Iya, Naina. Ayo sini
cepetan."
Naina melangkahkan kakinya
lebih cepat mendekat kearah (namakamu). Menatap (namakamu) dengan mata berkaca.
Merasa bahwa ini hanya mimpi. Mimpi yang terlalu indah.
"Ini minum
susunya."
Naina menatap segelas susu
putih yang kini berada di hadapannya. Biasanya susu itu di siapkan tangan
Ayahnya. Tapi hari ini. Tangan lembut Ibu-nya yang menyiapkan segelas susu itu.
Dengan tangan bergetar Naina mulai meraih gelas susu itu. Dan mulai meminumnya
secara perlahan.
"Ayah sakit. Tapi tadi
pagi Ayah keluar kota. Ada kerjaan yang harus Ayah urus. Bunda gak bisa cuti.
Tapi Bunda bawa seseorang buat nemenin kamu."
Ucapan (namakamu) membuat
acara minum susu Naina terhenti saat mendengar bahwa Ayahnya sakit tapi tetap
mengurus pekerjaan sampai keluar kota.
"Yang bakal nemenin
Naina Tante Steffi kan, Bun?" Tanya Naina.
Gerakan (namakamu)
terhenti. Wajahnya yang cantik mulai terlihat tak bersahabat mendengar nama
Steffi. (Namakamu) menatap Naina dengan wajah datar.
"Jangan harap Tante
Steffi datang ke sini! Bunda udah punya temen buat kamu." Ucap (namakamu)
kesal.
"Ayah kapan
pulang?"
"Dua hari lagi."
"Bunda nanti malam di
rumah kan?"
(Namakamu) menghela nafas
dan menganggukkan kepalanya. Dan bunyi klakson sebuah taksi membuat (namakamu)
memalingkan wajahnya. Lalu, meletakkan sebotol air mineral di sisi sebelah kiri
tas Naina.
"Taksinya udah datang.
Ayo cepat."
Naina meletakkan gelas susu
yang hanya menyisakan setengah gelas susu. Naina meriah tasnya yang telah siap
dan kemudian meraih tangan (namakamu). Naina menatap (namakamu) penuh harap.
"Bunda anterin Naina,
ya? Naina gak pernah naik taksi sendirian." Ucap Naina. Genggaman
tangannya mengerat dan berharap (namakamu) akan menganggukkan kepalanya. Tapi
kenyataannya (namakamu) menepis genggaman tangan mungil Naina.
"Bunda sibuk. Terus
Bunda juga harus jemput Shafira dari rumah neneknya. Kamu berangkat sendiri
aja." Ucap (namakamu) dengan mata yang sama sekali tak menatap Naina.
Kedua matanya sejak tadi fokus pada ponsel di tangannya.
Naina menundukkan
kepalanya. Menarik nafas panjang dan mulai melangkah perlahan meninggalkan
ruang makan dan pergi kesekolah seorang diri. Untuk pertama kalinya. (Namakamu)
bahkan tidak peduli saat Naina mulai melangkah meninggalkannya dan pergi
sekolah dengan taksi yang sudah dia pesan.
***
Steffi menghentikan
langkahnya saat berpapasan dengan Kiki yang baru saja keluar dari ruangan
Iqbaal untuk meletakkan beberapa berkas. Kiki hanya tersenyum.
"Selamat pagi, Pak
Kiki?" Steffi menyapa dengan sopan. Mengingat Kiki adalah manager di sini.
"Pagi. Oh iya. Iqbaal
tadi pagi berangkat keluar kota. Sepertinya lusa baru akan kembali. Semua
berkasnya sudah ada di meja. Kalau nanti Iqbaal sudah pulang kamu tinggal
beritahu dia."
Steffi segera menganggukkan
kepalanya pertanda ia mengerti dan Kiki membalasnya dengan senyum lalu
melangkah pergi.
Steffi merasakan getaran
ponsel di dalam tasnya. Dengan cekatan, tangan mulusnya meraih ponsel tersebut
dan melihat sebuah nama tertera di sana.
"Hallo, Pak
Iqbaal?" Steffi membuka ruangan Iqbaal. Melakukan tugasnya untuk menyusun
berkas di meja Iqbaal agar tertata rapi dan berurutan.
'Steff, pulang nanti bisa
tengokin Naina? Aku takut (namakamu) ninggalin dia sendirian.'
Steffi sempat terdiam
beberapa saat sebelum menjawabnya.
"Baik. Saya akan ke
sana."
'Gak usah formal, Steffi.
Aku lagi gak di kantor dan gak lagi kerja.'
Steffi terlihat menautkan
alisnya. Tidak di kantor? Tidak bekerja? Lalu sedang apa Iqbaal di luar kota?
"Hmm iya, tapi kalau
kamu lagi gak kerja. Kamu ngapain di luar kota?"
'Aku cuma mau istirahat
bentar. Kalau aku di rumah. Aku gak akan bisa istirahat sebelum Naina tidur dan
sebelum (namakamu) pulang. Jadi, aku pake alternatif ini. Maaf kalau aku
akhirnya ngerepotin kamu?'
Steffi menghela nafas.
Meraih kursi dan mulai menyusun berkas di meja Iqbaal sesuai dengan urutan.
Kepalanya sedikit miring untuk menghimpit ponselnya dengan bahu.
"Gak masalah. Aku gak
ngerasa di repotin kok." Ucap Steffi.
Steffi hanya mendengar
Iqbaal berdehem dan di akhiri dengan suara batuk beberapa kali.
"Kamu baik-baik aja?"
Steffi merasa penasaran dan mulai menanyakan keadaan Iqbaal.
'Iya, cuma sedikit gak enak
badan. Mungkin karna kecapekan aja.'
Steffi menghela nafas lega
dan beranjak dari duduknya seraya meraih tas dan melangkah menuju meja kerjanya
di depan ruangan Iqbaal.
"Syukurlah kalau
begitu. Istirahat yang banyak. Manfaatkan waktu yang ada untuk istirahat yang
cukup. Dan cepat kembali. Naina pasti sangat membutuhkanmu."
'Iya, terima kasih atas
perhatiannya, Steffi. Dan makasih udah sayang dan peduli sama Naina.'
"Sama-sama."
Tuut tuut tuut... Steffi
segera meletakkan ponselnya di atas meja dan mulai menghidupkan CPU komputernya
dan mulai bekerja.
***
Waktu sudah menunjukkan
pukul satu siang. Tapi Naina masih duduk di halte yang terletak di depan
sekolahnya. Hanya duduk dengan wajah murung seperti biasa. Ini sudah.... hampir
dua jam ia menunggu seseorang menjemputnya. Tapi tampaknya tak akan ada yang
menjemputnya hari ini.
"Ayah kenapa pergi,
sih? Naina butuh Ayah." Lirih Naina.
Dan suara mobil yang
berhenti di hadapannya membuat Naina menengadahkan kepalanya untuk melihat
siapa yang berhenti di depannya. Saat seseorang keluar dari 'taksi'. Senyuman
manis Naina kembali terlihat dan dengan semangat. Naina turun dari Halte.
Merentangkan tangannya menyambut siapa yang datang.
"Tante Steffi."
Naina menghembur kedalam pelukan Steffi yang langsung mendapat balasan. Naina
merasa bahwa Steffi adalah malaikat penyelamatnya saat Ayahnya tidak ada.
Steffi datang saat ia hanya duduk sendiri di sini seperti anak bodoh yang menunggu
orang tuanya menjemput.
"Naina kenapa gak
pulang? Kenapa duduk disini?" Tanya Steffi.
"Bunda gak jemput.
Ayah pergi." Lirih Naina.
Steffi tersenyum. Mengusap
pipi Naina dengan lembut dan kemudian menggenggam kedua tangan mungil Naina.
"Yaudah Tante anterin Naina pulang. Tapi kita beli ice cream buat Naina
dulu, yuk?"
"Tante beneran mau
beliin ice cream buat Naina?" Tanya Naina menegaskan pendengarannya. Dan
anggukan kepala dari Steffi membuat Naina tiba-tiba saja bersorak dan
menghadiahi Steffi sebuah kecupan manis di kedua pipi. Lalu menarik tangan
Steffi untuk masuk kedalam taksi dengan penuh semangat. Hal itu hanya membuat
Steffi tersenyum gemas dan menggelengkan kepalanya.
***
(Namakamu) menatap jam
dinding. Sudah hampir jam dua dan Naina belum pulang. Ada kecemasan yang
muncul. Sebenarnya ia mau saja menjemput Naina di sekolah. Tapi...
"Tante! Boneka
pandanya buat Fira ya? Fira suka banget!"
Suara Shafira yang
terdengar riang membuat lamunan tentang Naina buyar dan membuat (namakamu)
tersenyum manis saat melihat Shafira yang saat ini berada di rumahnya. Di depan
kamar... Naina. Dan memeluk boneka panda berukuran tanggung yang sebelumnya
sudah (namakamu) perintahkan untuk di buang.
"Iya sayang. Ambil
aja. Lagian kak Naina udah gak main boneka lagi." Ucap (namakamu).
"Kalau boneka yang
lainnya? Fira boleh ambil juga?" Tanya Shafira lagi.
"Semuanya Fira boleh
ambil." Jawab (namakamu) santai.
Shafira bersorak dan masuk
kedalam kamar Naina dengan sangat lancang. Lalu memilih boneka apa saja yang ia
suka. (Namakamu) hanya tersenyum melihat tingkah lucu nan menggemaskan putri
seorang Alvaro Maldini dengan Almarhum istrinya. (Namakamu) yakin kalau istri
Aldi pasti sangat cantik. Melihat Shafira yang sangat cantik dan sangat
menggemaskan.
"Tante. Boneka
ini?"
(Namakamu) melihat Shafira
yang kembali keluar dengan memeluk boneka panda berukuran sangat besar. Bahkan
lebih besar di banding tubuh Shafira. Senyuman (namakamu) sedikit luntur. Ia
masih ingat dengan jelas kalau boneka itu adalah hadiah ulang tahun Naina di usianya
yang ke lima tahun. Dan itu pemberian Iqbaal. Dan (namakamu) masih dengan jelas
mengingatnya betapa susahnya mendapatkan boneka panda berukuran besar yang
tengah menggendong bayi panda itu. Bahkan, Iqbaal sampai rela mengeluarkan
biaya besar demi boneka itu. Dan boneka itu menjadi boneka kesayangan Naina
sampai sekarang.
"Boleh sayang. Ambil
aja." Ucap (namakamu) santai. Bahkan tersenyum sangat manis.
"Gak boleh!"
(Namakamu) memutar
tubuhnya. Ia bisa melihat Naina yang kini berdiri tak jauh darinya dan
menggenggam tangan Steffi. Dan kehadiran Steffi membuat amarah (namakamu)
kembali terpancing.
"Itu boneka pemberian
Ayah! Jangan di ambil! Lagian kamu itu siapa sih? Main ambil barang aku
seenaknya! Balikin!" Bentak Naina.
"Tapi Fira suka boneka
ini! Tantee!" Shafira menatap (namakamu) yang kini menatap tak suka kearah
Steffi.
(Namakamu) mengalihkan
pandangannya kearah Shafira yang tengah memasang puppy eyes kearahnya. Dan
matanya beralih pada Naina yang menatap marah dengan mata berkaca kearah
Shafira.
"Naina. Dia Shafira.
Anak Om Aldi. Direktur di tempat Bunda kerja. Jadi hormati dia. Dan biarin dia
ambil boneka itu. Kamu kan bisa minta lagi sama Ayah nanti kalau Ayah
pulang." Ucap (namakamu).
Steffi yang mendengarnya
cukup tercengang. Merasakan genggaman tangan Naina mengerat. Dan air mata itu
sudah sangat jelas terlihat. Steffi kembali menatap kearah (namakamu) yang kini
kembali menatapnya.
"Apa yang Anda
lakukan? Itu hak Naina, bukan hak anak itu." Ucap Steffi.
(Namakamu) memasang wajah
datar. Menatap Steffi tak suka. "Keluar dari sini!" Tegas (namakamu).
"Tante jangan
tinggalin Naina." Naina menggenggam tangan kanan Steffi dengan kedua
tangan mungilnya.
"Keluar dari rumah
saya, Jalang!!" Bentak (namakamu).
Steffi terkejut. Jalang?
Apa maksudnya (namakamu) mengatainya jalang? Ini penghinaan. Tatapan mata
Steffi mengeras. Menatap (namakamu) dengan tatapan yang semula lembut kini
berubah marah. Tidak terima dengan penghinaan yang di berikan (namakamu).
"Jalang? Anda bilang
saya jalang?" Tanya Steffi.
"Iya! Dan rumah saya
tidak boleh di injak oleh wanita jalang seperti Anda! Penggoda suami
orang!" Bentak (namakamu).
"Apa maksud Anda
berbicara seperti itu?!" Suara Steffi mulai meninggi. Ini benar-benar
penghinaan untuknya.
"Tanpa saya jelaskan
Anda pasti sudah tahu maksud saya! Jadi silakan keluar dari rumah saya!"
Bentak (namakamu).
Steffi tidak mengucapkan
apapun lagi. Menepis genggaman tangan Naina dan memilih pergi. Steffi merasa
harga dirinya terluka dengan kata-kata jalang yang (namakamu) lontarkan. Apa
salah Steffi? Apa karna Steffi selalu bersedia membantu Iqbaal mengurus Naina?
"Tante jangan
pergi!"
Steffi sudah tidak mau
mendengarkan suara Naina lagi. Dengan amarah yang membumbung tinggi, Steffi
pergi dari rumah ini dan tidakakan berminat lagi untuk menginjakkan kaki di
rumah ini. Bahkan membantu Iqbaal lagi sepertinya ia tidak akan mau lagi.
Naina menatal (namakamu)
yang saat ini sudah menghampiri Shafira dan memeluk Shafira yang masih memeluk
boneka miliknya. Naina tidak mau boneka itu di ambil orang yang tak di
kenalnya. Itu boneka spesial pemberian dari Iqbaal.
"Balikin
bonekanya!" Naina mencoba menarik boneka berukuran sangat besar itu dari
tangan Shafira.
Tentu saja Shafira mencoba
mempertahankam boneka itu. Itu boneka pilihannya. Boneka yang paling ia
inginkan di banding boneka Naina yang lain.
"Tantee..." suara
berirama yang memelas meminta bantuan.
"Naina inget apa kata
Bunda tadi kan? Kasih aja buat Shafira. Nanti kalau Ayah udah pulang, Naina
minta lagi sama Ayah!"
"Gak mau Bunda! Ini itu
kado ulang tahun dari Ayah! Ini kesayangan Naina!" Tegas Naina.
(Namakamu) mengehela nafas
dan memejamkan matanya. Lalu, mencoba melepaskan kedua tangan mungil Naina dari
boneka itu. Dan setelah tangan Naina terlepas dari boneka panda besar itu.
(Namakamu) segera menarik Naina turun menuju lantai dasar. Membawa Naina masuk
kedalam salah satu kamar tamu.
"Bunda itu bone-"
"Syuut! Dengerin
Bunda! Kamu harus hormati Shafira. Kamu harus kasih apa yang dia mau! Kalau dia
mau boneka itu yaudah kasih aja! Lagian boneka kayak gitu kan Ayah kamu bisa
nyari!" Suara (namakamu) meninggi. Nyaris membentak.
"Kasian Ayah kalau
Ayah harus nyari boneka kayak gitu lagi, Bunda. Itu aja Ayah nyarinya susah.
Harusnya Bunda belain Naina bukan dia!"
(Namakamu) menggelengkan kepalanya.
Tidak mau mengucapkan apapun lagi. Dan segera melangkahkan kakinya. Menutup
pintu dan mengunci pintu kamar. Naina tidak berontak atau berusaha menggedor
pintu. Ia tahu itu akan percuma. Ibu-nya tidak sama dengan Ayahnya. Ibu-nya
tidak menyayanginya. Tapi Ayahnya sangat, sangat, sangat menyayanginya.
"Kasian Ayah kalau Ayah harus nyari boneka kayak gitu lagi,
Bunda. Itu aja Ayah nyarinya susah. Harusnya Bunda belain Naina bukan
dia!"
(Namakamu) menggelengkan kepalanya. Tidak mau mengucapkan apapun
lagi. Dan segera melangkahkan kakinya. Menutup pintu dan mengunci pintu kamar.
Naina tidak berontak atau berusaha menggedor pintu. Ia tahu itu akan percuma.
Ibu-nya tidak sama dengan Ayahnya. Ibu-nya tidak menyayanginya. Tapi Ayahnya
sangat, sangat, sangat menyayanginya.
***
Denting sendok yang beradu dengan piring terdengar menghiasi
ruang makan yang sepi. Ketiga manusia ini hanya diam dan menikmati makanan di
hadapannya. Naina menatap kearah (namakamu) yang duduk di hadapannya. Perlahan
senyum manisnya mulai terlihat. Ini pemandangan yang sangat langka. (Namakamu)
makan malam bersamanya itu adalah hal yang langka.
"Tante nanti bacain Fira cerita sebelum tidur kayak
biasanya, ya?" Shafira bertanya dengan senyum manis seolah-olah hanya ada
dia dan (namakamu) di sini.
Naina hanya terdiam. Seperti biasanya? Jadi maksudnya (namakamu)
sering membacakan cerita untuk Shafira? Apa-apaan ini? Naina menatap (namakamu)
dengan mata beningnya. Berharap (namakamu) menolak permintaan Shafira dan
memilih untuk menemaninya.
"Iya sayang. Mau cerita apa? Nanti Tante ceritain. Pokoknya
selama Papa lagi gak bisa jagain kamu. Tante bakal turutin semua kemauan
kamu." Ucap (namakamu).
Naina menarik nafas panjang dan menunduk. Harusnya ia tidak
perlu berharap. Ia harusnya sudah tahu jawaban apa yang akan (namakamu) berikan
pada Shafira. Dan Naina tidak perlu bertanya apa (namakamu) mau menemaninya.
"Bunda. Naina punya tugas. Bunda bisa bantu Naina ngerjain
tugasnya?" Naina mencoba bertanya dan berharap mendapat jawaban sesuai
dengan yang ia inginkan.
Naina melihat (namakamu) mulai menatapnya. Tapi siluet wajahnya
tidak tersenyum semanis saat menatap Shafira.
"Kamu kan tadi denger kalau malam ini Bunda harus bacain
cerita buat Shafira. Lagian Bunda denger dari Ayah, kamu itu anak yang pintar.
Kamu bisa kerjain tugasnya sendiri kan? Bunda gak suka punya anak manja."
Naina merasa ada yang terhempas di dadanya. Dan harusnya Naina
sadar dari awal kalai jawaban itu lah yang akan ia dapat. Dan harusnya Naina
sadar kalau (namakamu) tidak menyayanginya seperti Ayahnya menyayanginya.
Naina merasa nafsu makannya hilang. Dengan perlahan ia turun
dari kursi dan meraih piringnya. Menyimpannya di tempat yang seharusnya dan
mencuci tangan. Tidak ingin berlama-lama berhadapan dengan (namakamu) yang secara
terang-terangan memanjakan Shafira. Si anak asing.
"Eeh, kamu mau kemana?"
Langkah Naina terhenti saat ia baru saja berpijak pada anak
tangga kedua. "Naina mau ke kamar. Mau ngerjain tugas sekalian
istirahat." Jawab Naina.
"Kamar kamu kan di bawah? Yang di atas itu kamar
Shafira." Ucap (namakamu).
"Tapi itu kamar Naina!" Tegas Naina.
"Enggak! Kamu mau di kamar tamu atau di gudang?!"
Suara (namakamu) tiba-tiba saja meninggi. Membuat Naina merasakan sesuatu yang
terluka di dalam relung hatinya.
Naina tidak mengucapkan apapun lagi. Segera melangkahkan kakinya
menapaki anak tangga untuk sampai di kamarnya. Jemari mungilnya mulai bergerak
mengusap pipinya yang lembut. Menepis bulir-bulir air matanya yang jatuh secara
bergantian dan tanpa henti. Tujuannya saat ini adalah mengemasi barangnya dan
pindah ke kamar tamu yang ada di lantai dasar.
Naina membuka pintu kamarnya. Memperlihatkan nuasa pink.
Wallpaper kupu-kupu berbagai warna yang dulu di buat dengan kedua tangan
Ayahnya. Bed kasur dengan sprai dan bed cover bermotif princess disney. Di
tambah jejeran boneka panda berbagai ukuran. Bisakah Naina membiarkan kamar ini
di tempati orang lain yang tidak ia kenal sebelumnya?
Naina menutup pintu kamarnya. Bersandar pada daun pintu dan
membirkan tubuh mungilnya terjatuh. Tangisnya tertahan. Naina tidak mau
(namakamu) mendengar tangisannya karna tidak rela meninggalkan kamar
kesayangannya yang ia desain dengan Ayahnya sendiri.
"Ayah cepet pulang."
Suaranya yang bergetar dan tertahan membuat siapapun yang
mendengarnya pasti akan merasa iba. Di tambah tangisnya yang tertahan membuat
Naina terlihat memprihatinkan untuk di lihat.
Perlahan tubuhnya bergerak. Berdiri dan melangkah dengan pelan
menuju lemari berwarna ungu muda. Menarik kopernya dari samping lemari dan
mulai membukanya. Memasukkan baju-bajunya kedalam koper. Masih berusaha menahan
tangisnya. Naina mengemasi baju-baju dan barang-barangnya. Meskipun hanya
sementara sampai Ayahnya pulang. Ini tetap saja menyakitkan baginya. Bayangkan
saja bagaimana rasanya jika ibu sendiri mengusir kita dari kamar pribadi kita
yang seharusnya tidak pernah di masuki oleh orang lain.
Naina menarik nafas panjang. Meredam tangisnya dan membersihkan
wajahnya dari air mata. Meraih tas, koper, dan boneka panda yang tadi sempat di
minta Shafira. Boneka panda berukuran sangat besar yang tengah menggendong bayi
panda. Dan dengan berat hati. Naina keluar dari kamar kesayangannya. Ternyata
kepergian Ayahnya dan keberadaan Ibunya membuatnya jauh lebih sakit di banding
sebelumnya.
"Tante bonekanya kok di bawa. Itu kan boneka Fira!"
Naina yang baru saja turun segera menghentikan langkahnya.
Menatap Shafira yang kini menunjuk ke arahnya dan boneka yang tengah ia peluk.
"Naina. Jangan bawa bonekanya." Ucap (namakamu).
Naina mengeratkan pelukannya pada boneka panda kesayangannya.
Dan...berlari sekencang mungkin. Lalu masuk kedalam kamar tamu yang hari ini
menjadi kamarnya. Menutup dan mengunci pintunya. Tidak peduli dengan suara
teriakan (namakamu) yang memintanya untuk memberikan boneka itu.
"Tanteeee!"
Naina memejamkan matanya saat mendengar teriakan Shafira. Naina
lalu menghela nafas. Boneka ini tidak boleh jatuh ke tangan siapapun kecuali
dirinya dan Iqbaal. Sampai kapanpun boneka ini hanya miliknya.
Naina meraih gagang telepon rumah yang tersedia di kamar
tersebut buka kotak pensilnya dan melihat nomor Iqbaal. Dengan hati-hati jari
mungilnya mulai menekan dua belas digit nomor Iqbaal. Lalu meletakkan gagang
telepon itu pada telinga kanannya. Tersambung dan ia hanya tinggal menunggu
Iqbaal menjawab telfonnya.
'Halo?'
"Ayah." Percayalah. Naina sudah berusaha menetralkan
suaranya. Tapi tetap saja terdengar bergetar dan berbeda.
'Naina? Hai sayang. Gimana hari kamu? Seneng gak di temenin
Bunda? Oh iya, Bunda hari ini dirumah kan jagain kamu?'
Naina tersenyum miris. Bulir air matanya kembali jatuh saat
mendengar pertanyaan-pertanyaan dari Iqbaal. Entahlah, rasanya pertanyaan itu
sangat menyakitkan bagi Naina.
"Iya, Yah. Bunda seharian di rumah. Nyiapin sarapan,
nyiapin susu, nganter Naina sekolah. Pokoknya Bunda mirip banget sama Ayah kalo
lagi di rumah." Oh Tuhan! Anak ini berbohong.
Naina kembali tersenyum. Membekap bibirnya dengan telapak
tangannya. Rasanya benar-benar sesak dan membuat Naina serasa ingin berteriak.
Mengatakan pada dunia bahwa ia sangat membenci ibunya.
'Syukurlah kalau gitu. Kamu udah makan, sayang? '
"Udah, Yah. Ayah kapan pulang? Naina denger Ayah sakit.
Tapi Ayah tetep maksa pergi karna ada tugas."
'Secepatnya Ayah pulang, sayang. Ayah gak papa. Cuma kecapek-an
aja. Gak usah di fikirin ya?'
Naina tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Lalu kembali
menepis air matanya.
'Naina kenapa? Dari tadi kok suaranya beda? Naina nangis?'
Naina tersenyum dan kembali menepis air matanya. Menarik nafas
dalam-dalam dan kembali berusaha menetralkan suaranya.
"Naina nangis karna kangen sama Ayah. Makanya Ayah cepet
pulang."
'Iya, Ayah akan cepat pulang. Jangan nangis lagi, ya?'
"Iya, Ayah."
'Yaudah kamu tidur. Ini udah malam. Good night and I love you.'
"Night and love you too."
Naina kembali meletakan gagang telepon itu setelah sambungan
teleponnya terputus. Sedikit lega setelah mendengar suara Iqbaal. Naina menatap
boneka panda yang kini terbaring di tengah ranjang berukuran king size. Sangat
besar.
Naina menjatuhkan tubuhnya begitu saja. Dan kepalanya tepat
berada di badan besar boneka panda itu. Menarik nafas panjang dan mulai
memejamkan matanya. Mencoba untuk menghilang dan membuat dunianya sendiri.
Dunia mimpi yang bisa ia ciptakan sendiri sesuai kemauannya. Melupakan apa yang
terjadi hari ini.
***
Kiki berdiri di depan pagar rumah Iqbaal. Berkali-kali melirik
jam tangannya dan berharap yang ia tunggu segera keluar. Tadi pagi, Iqbaal
menghubunginya dan memintanya untuk mengantar Naina ke sekolah pagi ini.
Dan senyuman itu mengembang saat melihat Naina keluar dari dalam
rumah seorang diri. Tapi senyuman itu luntur saat melihat kedua mata cantik
Naina yang sembab parah pagi ini.
"Selamat pagi, Paman Kiki." Naina tersenyum menyapa
Kiki dan memberikan salam dengan mencium punggung tangan Kiki.
"Pagi, sayang. Kita berangkat sekarang?" Tanya Kiki.
Naina hanya menganggukkan kepalanya. Segera masuk kedalam mobil
setelah Kiki membukakan pintu untuknya. Naina hanya berharap hari ini semuanya
akan lebih baik di banding hari sebelumnya. Meskipun tadi pagi juga menyakitkan
baginya. Karna (namakamu) sama sekali tak mau bicara dengannya karn ia membawa
boneka yang di inginkan Shafira.
"Kenapa, sayang? Kok diem gitu?" Tanya Kiki.
Naina tersenyum dan membenarkan posisi duduknya. "Gak papa,
Paman." Jawab Naina.
Kiki tahu itu bohong. Kiki bisa melihat kedua mata Naina
berkaca-kaca dan siap menangis. Kiki menghela nafas. Melirik kembali jam
tangannya. Masih ada waktu cukup panjang.
"Kita mampir sebentar, ya?" Tanya Kiki.
"Terserah Paman." Jawab Naina.
Kiki kembali tersenyum. Mengusap puncak kepala Naina dan
kemudian memarkirkan mobilnya di depan kedai ice cream 'miliknya' yang masih
tutup. Kiki segera membukakan pintu untuk Naina dam menarik lengan Naina dengan
perlahan memasuki kedai ice cream yang masih bertuliskan closed.
"Naina mau ice cream rasa apa?" Tanya Kiki yang kini
mengangkat tubuh mungil Naina untuk naik keatas kursi tinggi di depan meja
kasir. Dimana pengunjung bisa melihat langsung ice cream buatannya tersaji
dengan manis.
"Ini kan masih tutup, Paman."
Kiki untuk kesekian kalinya tersenyum dan meraih celemek lalu
mengenakannya dan berjalan menuju posisinya di hadapan Naina dan di depan
beberapa rasa ice cream yang baru saja di buat tadi malam sebelum tutup.
"Ini kedai milik Paman. Jadi Naina mau ice cream kapan aja.
Paman bisa kasih. Sekarang, Naina mau ice cream rasa apa? Cokelat? Strawberry?
Vanilla? At-
"Strawberry aja." Potong Naina cepat.
Kiki menganggukkan kepalanya dan segera meracik ice cream
spesial untuk Naina. Sesuai dengan rasa ice cream favorite Naina. Strawberry.
Gadis kecil itu memang penggemar berat strawberry.
Hampir lima menit Kiki menyiapkan ice crem yang baru setengah
jadi itu. Dan kini, satu gelas ice cream rasa strawberry dengan toping kacang,
lecy utuh, dan siraman madu tersaji dengan manis di hadapan Naina.
"Ice cream Strawberry spesial untuk keponakan Paman yang
cantik." Ucap Kiki seraya memberikan setangkai mawar merah pada Naina.
"Terima kasih, Paman." Naina memberikan satu kecupan
di pipi kanan Kiki dan mulai meraih sendok ice cream. Menyendoknya dengan
perlahan. Meskipun begitu tetap saja belepotan dan itu membuat Kiki tertawa
pelan melihatnya.
Setidaknya dengan hal ini Naina melupakan kesedihannya sejenak
dan berimajinasi dengan rasa manis ice cream yang bercampur dengan madu murni
beserta kacang. Meskipun Naina bukan keponakan kandungnya. Kiki sangat
menyayangi Naina seperti keponakan bahkan putrinya sendiri.
***
Naina melangkahkan kakinya dengan santai seperti biasanya.
Memperhatikan teman-temannya yang terlihat bahagia bersama Ibunya
masing-masing. Naina hanya bisa tersenyum miris. Lalu, matanya menatap kearah
pagar. Dan senyumnya mengembang.
"Paman Kiki?" Naina berlari menghampiri Kiki yang
sudah menjemputnya.
Di sambut pelukan dan usapan manis di puncak kepala membuat
Naina tersenyum sangat manis. "Kita pulang, ya? Paman punya kejutan buat
Naina."
"Kejutan?"
Kiki menganggukkan kepalanya. Membuka pintu mobilnya dan segera
meminta Naina untuk masuk. Kiki mengulum senyumnya. Dan berlari kecil menuju
kemudi mobil dan mengantar Naina pulang.
***
"Kamu gak bisa bertindak kayak gini! Ini berlebihan! Itu
kamar Naina dan itu hal Naina. Aku sendiri yang nyusun kamar itu dan desain
kamar itu bareng Naina! Kamu gak bisa seenaknya ngasih kamar itu buat anak
orang lain yang jelas-jelas bukan anggota keluarga kita!"
(Namakamu) hanya menatap datar. Melangkahkan kakinya dengan
santai untuk meletakkan majalah. "Kamu baru pulang, Baal. Jangan
marah-marah. Lagian kamu bilang kalau kamu pulang dua hari lagi. Kenapa hari
ini udah pulang?"
Iqbaal melonggarkan dasi yang mencekik lehernya. Menatap
(namakamu) dengan raut wajah kesal dan tidak terima. Masalahnya ini sudah
berlebihan di mata Iqbaal. Semua milik Naina, (namakamu) berikan pada Shafira
begitu saja.
"Aku sengaja pulang lebih awal dari jadwal karna aku tahu
kamu pasti gak bersikap baik sama Naina! Dan benar kan? Kamu tega nyuruh anak
kamu tidur di kamar tamu dan ngebiarin anak gak tahu asal usul itu tidur di
kamar Naina dan mainin mainan Naina sesuka hat-"
"TUTUP MULUT KAMU! Jangan pernah ngatain Shafira anak gak
tahu asal usul!-"
"Kenapa?! Apa yang buat kamu lebih belain anak orang lain
di banding anak kandung kamu sendiri?! Apa aku punya salah?! Atau Naina punya
salah?! Kalau iya, kamu kasih tahu aku apa salah aku!" Iqbaal tidak tahan
lagi. Membentak menjadi satu-satunya pilihan. Melanggar janji pernikahan sudah
tidak Iqbaal pedulikan lagi.
Yang terpenting adalah Naina. Malaikat kecilnya yang manis dan
cantik. Tidak peduli jika akhirnya (namakamu) besar padanya. Yang penting Naina
tetap mendapatkan haknya sebagai putri Dhiafakhri di rumah ini.
Iqbaal menarik nafas panjang dan memejamkan matanya.
"Sekarang aku tanya sama kamu... kamu masih cinta sama aku?" Tanya
Iqbaal.
"Iya, aku cinta sama kamu. Aku cinta banget sama
kamu." Jawab (namakamu) cepat. Matanya terlihat mulai berkaca-kaca saat
ini. Mungkin wanita ini mulai merasakan sesak.
"Kalau kamu cinta sama aku... bisa kamu keluar dari MS
Group?"
(Namakamu) menatap Iqbaal intens. Terlihat berfikir dan merasa
sesak saat melihat tatapan memohon di mata Iqbaal. Jujur (namakamu) tidak tega
melihatnya.
"Maaf aku gak bisa. Sampai kapanpun aku gak bisa keluar
dari MS Group." (Namakamu) segera memalingka wajahnya dan mulai melangkah
meninggalkan Iqbaal dengan menepis air matanya yang tiba-tiba saja turun. Sejujurnya
ia tidak bisa menyakiti Iqbaal.
"Kenapa? Jelasin sama aku, (namakamu). Kenapa? Saat kita
nikah delapan tahun lalu kamu udah janji sama aku kalau gak akan ada satu pun
rahasia yang kamu sembunyiin dari aku." Tanya dan ucap Iqbaal dengan suara
lirih..
(Namakamu) memejamkan matanya dan merasakan dadanya mulai sakit
menahan sesak. (Namakamu) memejamkan matanya kuat-kuat untuk menahan tangisnya.
Ini pertanyaan yang cukup menyakitkan baginya.
"Maaf aku gak bisa. Suatu saat kamu akan tahu apa alasanku.
Maaf, Baal." Lirih (namakamu).
Iqbaal menghela nafas dan menunduk. Hanya mendengarkan suara
langkah kaki (namakamu) yang menjauh. Tuhan, apa maksud semua ini? Iqbaal
merasa lelah. Sangat lelah. (Namakamu) juga mengingkari janji pernikahan
mereka.
"Apa ini kejutannya, Paman?"
Kiki dan Naina berdiri di ambang pintu sejak tadi. Mendengar
semua percakapan dan pertengkaran antara Iqbaal dan (namakamu). Dan Kiki bisa
merasakan tangan mungil Naina menggenggamnya dengan sangat erat. Dan suara
bergetar Naina yang membuat hati Kiki merasakan apa yang Naina rasakan.
"Apa ini kejutannya,
Paman?"
Kiki dan Naina berdiri di
ambang pintu sejak tadi. Mendengar semua percakapan dan pertengkaran antara
Iqbaal dan (namakamu). Dan Kiki bisa merasakan tangan mungil Naina menggenggamnya
dengan sangat erat. Dan suara bergetar Naina yang membuat hati Kiki merasakan
apa yang Naina rasakan.
***
Naina melemaskan tubuhnya.
Membiarkan tubuh mungilnya bersandar pada tubuh Ayahnya. Memperhatikan langit
malam yang tidak di hiasi bintang sama sekali. Tampaknya awan mendung sedang
memenuhi kota. Sejak sepuluh menit yang lalu, ia dan Iqbaal duduk di balkon
kamar Naina. Hanya diam dan bergulat dengan pikiran masing-masing.
"Ayah? Naina boleh
nanya?" Naina mulai buka suara. Berharap keheningan ini segera berakhir.
"Boleh."
Naina tersenyum tipis.
Sempat melirik wajah Ayahnya yang berada tepat di atas kepalanya. Lalu menghela
nafas dan sedikit menunduk. Naina merasa ragu menanyakan hal ini pada Iqbaal.
"Salah gak sih, Yah?
Kalau Naina sekarang benci sama Bunda. Naina gak mau punya Bunda kayak
Bunda?" Tanya Naina lirih.
Iqbaal menghela nafas dan
memejamkan matanya. Semakin mengeratkan kedua lengannya yang melingkar pada
tubuh mungil Naina yang kini bersandar pada tubuhnya.
"Salah. Naina gak
boleh benci sama Bunda. Naina harus sayang Bunda." Bisik Iqbaal.
"Tapi Bunda gak sayang
Naina. Bunda sayang anak itu. Bunda juga gak sayang Ayah." Suara Naina
mulai terdengar bergetar di akhir kalimat. Iqbaal hanya tersenyum mendengarnya
dan memberikan ciuman lembut di puncak kepala Naina. Lalu kembali memeluk Naina
lebih erat.
"Bunda sayang Naina.
Bunda sayang Ayah. Naina harus percaya itu." Ucap Iqbaal.
Naina hanya menggelengkan
kepalanya. Dan bergerak berputar. Membenamkan wajah manisnya pada dada bidang
Iqbaal dan mulai terisak di sana. Iqbaal bisa merasakan kedua tangan mungil
Naina mencengkram kemeja yang ia kenakan saat ini.
"Ini cuma sementara,
sayang. Ayah yakin Bunda pasti kembali kayak dulu. Bunda pasti akan jauh lebih
sayang sama Naina suatu saat nanti." Ucap Iqbaal.
Ucapan Iqbaal sama sekali
tak membuat tangis Naina berhenti. Yang ada gadis kecil itu semakin mencengkram
kuat kemejanya dan mencoba memyembunyikan isak tangis menyakitkan yang cukup
memilukan jika di dengar.
Dan malam ini Iqbaal
habiskan untuk menghentikan tangisan Naina dan membuat Naina percaya kalau
semuanya akan kembali seperti dulu lagi.
***
(Namakamu) duduk di salah
satu kursi yang terdapat di hadapan meja makan. Mendudukan Shafira di
pangkuannya dan terlihat menyuapi Shafira semangkok sereal plus susu. Sesekali
(namakamu) jahil dengan sengaja membuat Shafira kesal karna salah mengarahkan
sendok pada hidung. Dan itu berakhir dengan tawa manis keduanya.
(Namakamu) mengalihkan
pandangannya. Menatap Naina yang pagi ini sudah rapi dengan seragam sekolahnya
dan berdiri di anak tangga terakhir. Naina menatapnya dengan wajah muram
seperti biasa.
"Ini susu pagi ini,
sayang."
Pandangan (namakamu) kini
terhalangi tubuh Iqbaal yang berdiri tepat di hadapan Naina dan memberikan
segelas susu pada Naina. (Namakamu) menghela nafas dan kembali dengan
aktifitasnya bersama Shafira.
"Kita berangkat
sekarang aja, ya?"
Naina menatap Iqbaal yang
kini tersenyum kearahnya. Tanpa Iqbaal katakan pun Naina bisa melihat dengan
jelas gurat kelelahan di wajah Iqbaal. Dan itu membuat Naina di serang rasa
tidak tega jika Ayahnya mengantarnya sekolah hari ini.
"Naina berangkat pake
taksi aja, Yah. Ayah istirahat aja." Ucap Naina seraya meletakkan gelas
yang masih menyisakan setengah gelas susu putih di atas meja yang terletak tak
jauh dari tangga dengan vas bunga besar di atasnya.
"Ayah gak capek.
Lagian sejak kapan Naina naik taksi sendiri? Pokoknya Ayah anterin."
Iqbaal segera meraih lengan Naina dan menariknya dengan lembut meninggalkan
rumah dengan pemandangan manis di meja makan.
Naina mengalihkan
pandangannya. Melirik kearah (namakamu) yang saat ini kembali sibuk dengan
Shafira yang entah sampai kapan tinggal di sini dan menginjak-injak hak-nya
sebagai Nona Dhiafakhri di rumah ini.
***
Steffi menutup ruangan
Iqbaal setelah selesai meletakan berkas yang harus Iqbaal selesaikan. Kembali
ke posisinya dan kembali bekerja. Kemarin ia sama sekali tak menemui Naina.
Steffi merasa malas datang kerumah itu karna (namakamu) pasti ada di rumah,
mengingat bocah kecil itu masih ada di rumah Iqbaal.
"Kenapa kemarin
telfonnya gak di angkat?"
Steffi hampir saja
berteriak saat sebuah kepala tiba-tiba saja muncul di hadapannya dengan sebuah
pertanyaan. Steffi menghela nafas dan menggelengkan kepalanya dengan samar.
"Maaf, Pak Iqbaal.
Kemarin saya sibuk." Jawab Steffi.
Steffi melihat Iqbaal
menghela nafas dan tegak berdiri. Dan Steffi bisa melihat kalau Iqbaal masih
memperhatikannya.
"Kemarin... kamu gak
nemuin Naina? Padahal Naina bilang dia kangen sama kamu." Tanya dan ucap
Iqbaal lagi.
"Sekali lagi maaf,
Pak. Tapi sepertinya Anda harus melihat jabatan saya di perusahaan ini. Saya
seorang sekertaris. Bukan baby sister." Ucap Steffi. Wajah cantiknya
tampak sangat serius. Mirip para sekertaris pada umumnya dan tidak seperti
Steffi yang sebelumnya.
"Aku gak pake bahasa
formal-"
"Meskipun begitu Anda
adalah atasan saya, direktur perusahaan ini. Dam sudah sepantasnya saya
menghormati Anda dengan berbicara sopan. Saya hanya tidak ingin mendapat
julukan tidak mengenakan seperti yang di katakan Nyonya (namakamu)."
Iqbaal menautkan alisnya.
Julukan tidak mengenakan dari (namakamu)? Iqbaal mencondongkan tubuhnya untuk
melihat wajah serius Steffi yang kini terfokus pada layar monitor di hadapannya
dan sibuk menyelesaikan tugas-tugasnya.
"(Namakamu) bilang apa
sama kamu?" Tanya Iqbaal.
"Akan lebih baik jika
Anda bertanya langsung pada Nyonya (namakamu) tentang apa yang sudah beliau
katakan pada saya."
Iqbaal kembali menghela
nafas dan menegakkan kembali tubuhnya. Steffi tampaknya sedang tidak baik.
Terlihat marah tapi cara bicaranya masih lembut. Iqbaal menganggukkan kepala
tanpa berucap apapun. Mulai berfikir akan menghubungi (namakamu) dsn meminta
penjelasan tentang apa yang Steffi katakan.
***
Aldi terdiam. Menatap pada
sebuah benda yang selalu membuatnya tersenyum saat melihat isinya. Itu hal
manis bagi Aldi. Tapi sepertinya tidak bagi orang lain yang melihatnya. Dan
komentar menjijikan pasti akan ia dapat ketika ada yang melihatnya.
"Maaf kalau akhirnya
akan ada yang tersakiti sama hal ini (namakamu). Maaf kalau akan ada yang
kecewa. Tapi... aku gak bisa nahan semuanya. Shafira sayang banget sama kamu
dan berkali-kali bilang sama aku buat jadiin kamu Ibu-nya. Tapi aku gak bisa.
Aku gak mau ngerusak rumah tangga kamu sama Iqbaal."
Aldi melunturkan senyumnya
saat mengingat bahwa (namakamu) sudah memiliki keluarga. Aldi memejamkan
matanya. Tidak adakah cara lain yang lebih manis selain ini?
Aldi kembali membuka
matanya dan menganggukkan kepalanya secara samar. Ia mantap dengan apa yang ada
di fikirannya. Jemarinya mulai bergerak di atas keyboard. Membuka sebuah situs
online dan mulai berjelajah di sana. Masa bodo jika ada yang mengatainya gila
atau semacamnya. Aldi tidak peduli itu.
***
Naina pulang dengan di
jemput Kiki lagi. Sempat mampir ke kedai ice cream milik Kiki dan menikmati ice
cream strawberry kesukaannya. Naina melihat rumahnya kosong. Sepertinya
(namakamu) dan Shafira pergi. Naina menarik nafas panjang. Menaiki tangga dan
menuju kamarnya untuk beristirahat di dalam kamar Ayahnya.
Suara telepon menghentikan
langkah mungil Naina. Dengan perlahan ia kembali turun dan segera menerima
telepon yang masuk.
"Halo?"
'Naina... jangan buka tivi
ya? Ayah mohon.'
Naina menautkan alisnya.
Suara Iqbaal bergetar dan berat.
"Ayah kenapa?"
Naina terlihat khawatir saat ini. Menggenggam gagang telepon dengan cukup kuat.
'Ayah baik-baik aja. Naina
jangan buka tivi. Jangan buka youtube. Jangan buka sosial media... Ayah mohon.'
"Ee, iya, Yah. Naina
gak akan buka."
'Terima kasih, sayang.'
Naina hanya menganggukkan
kepalanya. Dan sambungan telfon itu terputus. Naina meletakkan kembali gagang
telepon itu dan melangkah dengan alis bertaut. Ada apa? Itu yang kini memenuhi
benak Naina.
***
Iqbaal menjambak rambutnya
kasar. Tidak percaya dengan pemberitaan salah satu media dan sebuah video
youtube yang ternyata baru di unggah tadi pagi. Iqbaal masih sangat tidak
percaya dengan apa yang ia lihat. Sangat sulit di percaya.
Steffi mengalihkan
pandangan kearah Kiki yang berdiri di sebelahnya. Sesekali melirik kearah layar
monitor Iqbaal yang masih menampilkan sebuah gambar dan video. Steffi tahu
Iqbaal pasti terkejut dengan ini.
"Baal? Lo baik-baik
aja kan?" Kiki mencoba bertanya.
Iqbaal hanya diam
memejamkan matanya dan menopang keningnya dengan kedua telapak tangannya. Ini
terlalu sakit untuk di terima. Iqbaal merasakan nafasnya berat. Dadanya
benar-benar sesak. Setelah ini apa yang akan terjadi? Iqbaal harap bukan hal
yang buruk.
"Itu pasti cuma
kerjaan orang yang iseng. Jangan langsung percaya." Ucap Kiki lagi.
Iqbaal semakin merasakan
dadanya sesak. Sakit. Sangat tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Iqbaal
sangat yakin setelah ini tidak akan ada yang baik-baik saja. Termasuk Naina.
"Tinggalin gue
sendiri." Desis Iqbaal.
Steffi kembali menatap Kiki
dan menganggukkan kepalanya. Lalu menarik tangan Kiki. "Kendaliin emosi
kamu. Minta penjelasan sama (namakamu) secara baik-baik. Aku yakin semuanya
akan baik-baik saja." Ucap Steffi.
Kiki mengangguk menyetujui
ucapan Steffi dan detik selanjutnya Steffi berhasil menarik tangan Kiki untuk
keluar dari ruangan Iqbaal dan meninggalkan Iqbaal dengan kesendiriannya.
Praang! Iqbaal melempar
semua foto (namakamu) yang semula terpajang rapi di atas meja kerjanya.
Membiarkan foto itu rusak karna pecahan beling. Membiarkan wajah cantik di foto
itu rusak karna pecahan beling.
Kiki dan Steffi hanya bisa
menghela nafas mendengarnya. Wajar jika Iqbaal sangat marah dan kecewa. Ini
sudah sangat keterlaluan dan kelewat batas.
"Kita harus nemuin
Naina. Jangan sampai Naina tahu soal ini sebelum Iqbaal yang ngasih tahu."
Ucap Kiki.
Steffi sempat menunduk
sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya. "Aku gak pernah nyangka kalau
direktur MS Group bisa setega itu ngunggah video itu."
Kiki hanya tersenyum tipis.
Nyaris tidak terlihat. Sekarang yang Kiki fikirkan hanya Naina. Gadis kecil itu
tidak boleh tahu tentang hal ini. Kecuali Iqbaal sendiri yang
memberitahukannya. Kiki hanya tidak mau Naina bersedih atas kasus ini.
***
Shafira melangkahkan
kakinya dengan riang dan menggenggam tangan (namakamu) dengan lembut. Melewati
berbagai toko. Dan tiba-tiba langkah (namakamu) terhenti saat sampai di depan
sebuah toko televisi yang menampiln satu channel tivi nasional. Sebuah berita
yang akhirnya membuat jantungnya lepas dari rongganya.
'Video asusila itu tersebar
luar beberapa jam setelah di unggah. Sampai saat ini kami belum bisa
menghubungi direktur dari MS Group dan istri dari direktur Dhiafakhri Group
atas kasus ini.'
(Namakamu) bisa
mendengarnya dengan jelas dan sebuah video yang di putar dan di blur secara
penuh. (Namakamu) segera melepaskan genggaman tangan Shafira dan meraih
ponselnya. (Namakamu) mulai mencari sebuah kontak.
Kasus ini jelas menyita
banyak perhatian publik. Mengingat MS Group dan Dhiafakhri Group adalah dua
perusaha paling berpengaruh di Indonesia dan perusahaan paling maju di
Indonesia.
"Tante? Itu kan foto
Papa sama Tante? Kenapa ada di tivi?" Tanya Shafira.
(Namakamu) menutup
teleponnya setelah berkali-kali tak ada jawaban sama sekali. (Namakamu) menepis
air matanya. Ia tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Ia tidak pernah
berfikir bahwa ini akan terungkap secepat ini.
Sekarang, (namakamu) sangat
berharap Iqbaal atau pun Naina tidak melihatnya!
***
Iqbaal melangkahkan kakinya
dengan pelan menapaki satu per satu anak tangga rumahnya. Rumahnya kosong karna
Kiki dan Steffi sudah mengajak Naina pergi keluar. Berkali-kali Iqbaal mengusap
wajahnya dengan kasar. Mencoba untuk tidak percaya dengan kenyataan.
Terduduk di tepi kasur
dengan wajah menunduk dan prustasi. Iqbaal memilih untuk tidak menyalakan lampu
dan membiarkan semuanya gelap. Ini akan membuat keadaannya menjadi lebih baik.
Braak! Iqbaal memejamkan
matanya saat pintu kamarnya terbuka dengan sangat kasar dan langkah kaki yang
mendekat. Iqbaal memalingkan wajahnya. Meskipun gelap. Ia bisa melihat wajah
siapa yang kini berada di hadapannya melalui cahaya yang masuk dari celah-celah
ventilasi di kamar ini.
"Maaf."
Iqbaal menarik nafas
panjang dan mencoba menahan sesaknya. Terlebih suara bergetar dari bibir manis
istrinya terdengar memukul gendang telinga dan relung hatinya. Dan kali ini
Iqbaal merasakan kedua lengan (namakamu) memeluk kedua kakinya dan menyandarkan
kepalanya pada dengkul Iqbaal.
"Apa ini yang kamu
maksud? Apa ini yang nyebab-in sifat dan sikap kamu berubah ke aku dan
Naina?" Tanya Iqbaal. Suara masih terdengar pelan. Tapi (namakamu) tahu
kalau Iqbaal sangat kecewa padanya.
"Aku... aku minta
maaf, Baal. Aku gak bermaksud khianatin kamu. Tapi itu terjadi gitu aja. Aku
minta maaf." Lirih (namakamu). Isak tangisnya mulai terdengar kencang. Menandakan
bahwa ia menyesal.
"Apa maaf kamu bisa
ngembaliin semuanya? Aku udah gagal bimbing kamu jadi istri yang baik. Aku
gagal ngajarin kamu buat jaga diri kamu dari hasutan setan... aku gagal jadi
suami yang baik buat kamu." Lirih Iqbaal.
(Namakamu) terlihat
memejamkan matanya. Semakin erat memeluk kaki Iqbaal dan meminta maaf pada
suaminya. Mengakui bahwa semua ini adalah salahnya. Mengakui bahwa semua ini
kesalahan terfatal yang pernah ia buat secara sadar.
"Apa salah aku? Apa
salah aku sampai kamu berani lakuin ini ke aku? Kamu sadar? Kamu ngancurin
hidup aku. Nyakitin hati aku. Dan nyakitin hati anak aku!" Suara Iqbaal
mulai terdengar tegas.
(Namakamu) hanya bisa
menggumamkan kata maaf dan maaf. Mulai ada rasa takut saat Iqbaal menepis kedua
lengannya dan beranjak. (Namakamu) segera meraih tangan Iqbaal. Tidak akan
membiarkan Iqbaal pergi sebelum memaafkannya.
"Aku gak akan
ngingkarin janji aku sewaktu aku nikahin kamu dulu. Aku gak akan bentak kamu.
Tapi maaf... aku gak pernah janji buat gak benci sama kamu!" Iqbaal segera
menepis tangan (namakamu) dari tangannya. Melangkah meninggalkan (namakamu)
yang sampai saat ini masih menggumamkan kata maaf.
"Aku mohon maafin aku,
Baal. Aku sayang sama kamu. Aku minta maaf!"
Iqbaal bisa mendengar
teriakan itu saat Iqbaal sudah menuruni anak tangga. Dan dalam hatinya Iqbaal
sudah berkata kalau ia tidak akan pernah bisa memaafkan (namakamu). Tidak akan
pernah bisa menerima wanitanya yang ternyata sudah mengkhianatinya sejak dua
tahun yang lalu. Dan dengan tanpa dosa wanitanya membuat malaikat kecilnya
sakit hati setiap harinya.
***
Naina menuruni anak tangga.
Pagi tadi ia di antar pulang Kiki. Naina merasa cukup senang karna akhirnya
Shafira pulang ke rumahnya sendiri dan Naina bisa menempati kamarnya lagi.
Naina menjenjangkan lehernya untuk melihat aktifitas di meja makan. Dan ia
mendapati Ayahnya yang beraktifitas seperti biasa.
"Pagi, Ayah?"
Naina menghambur dalam pelukan Iqbaal dan terlihat memaksakan sebuah senyuman.
"Pagi, sayang."
Serak. Itu yang Naina dengar.
Naina tersenyum tipis.
Menggerakkan lengannya untuk meminta Ayahnya menekuk lutut dan mensejajarkan
tingginya. Dan Iqbaal menurut.
"Kenapa?" Tanya
Iqbaal seraya tersenyum.
Naina tersenyum. Matanya
mulai kembali berkaca-kaca. Jemari mungilnya mulai menelusuri kedua pipi Iqbaal
dan menyentuh mata dengan lingkaran panda yang terlihat memprihatinkan.
"Ayah jangan sedih.
Naina tahu Ayah gak bisa terima semua ini. Naina tahu semuanya, Yah. Naina tahu
semua tentang Bunda. Naina ngerti perasaan Ayah. Tapi Naina salut sama Ayah
yang gak marahin Bunda. Naina cuma berharap Ayah sama Bunda gak akan pisah cuma
gara-gara ini. Ayah bener. Naina gak benci sama Bunda. Naina sayang sama Bunda.
Dan Naina gak mau gara-gara masalah ini Ayah sama Bunda pisah. Naina yakin. Ada
jalan terbaik di tengah masalah ini."
Naina membiarkan air
matanya terus turun mengingat seberapa besar kesalahan yang sudah di buat
Ibu-nya. Naina bahkan tidak menghapus air matanya sama sekali. Kedua tangan
mungilnya masih mengusap-usap lingkaran panda di sekitar mata Iqbaal.
"Naina tahu
semuanya?" Tanya Iqbaal.
Naina menganggukkan
kepalanya. Dan memejamkan mata saat memori otak kecilnya kembali berputar pada
hari kemarin. Di mana ia tidak menuruti perintan Ayahnya untuk tidak menonton
televisi atau pun youtube.
"Naina tahu Ayah sakit
sama semua ini. Tapi Naina mohon jangan turutin hati Ayah. Naina tahu isi hati
Ayah. Naina gak mau, Yah." Lirih Naina lagi.
Iqbaal menepis bulir air
mata dari kedua pipi malaikatnya. Tersenyum miris dan menatap dalam mata Naina.
"Semua pasti akan baik-baik aja." Ucap Iqbaal.
"Tapi Naina gak mau,
Ayah! Naina cuma mau Ayah sama Bunda! Jangan, Ayah! Naina mohon." Naina
mulai menangis kencang layaknya anak kecil pada umumnya. Tidak seperti tadi
yang tertahan.
"Percaya sama Ayah kalau
itu yang terbaik, sayang. Ayah yakin semua akan baik-baik saja." Iqbaal
mengakhiri ucapannya dengan sebuah kecupan di kening Naina dan di lanjutkan
pelukan hangat. Membiarkan air mata Naina membasahi kemejanya dan membuat
kemejanya kotor. Iqbaal tidak pernah memperdulikan hal itu.
Iqbaal mendengar suara
ketukan stiletto yang terdengar cukup keras. Iqbaal melihat kearah tangga.
(Namakamu) turun dengan pakaian kantornya yang rapi. Raut wajahnya bahkan sudah
berubah. Seperti biasanya.
"Wartawan gak ada yang
tahu alamat rumah kita kan?" Tanya (namakamu) dengan sesekali membenarkan
posisi jam tangannya.
"Aku pulang malam. Dan
masalah ini... aku harap kamu bisa lupain. Lagian ini juga hal biasa. Aku kan
udah nikah duluan sama kamu. Jadi gak ada yang rugi di sini.... aku
pergi." Lanjutnya.
Kata-kata yang terucap
sangat santai dan tanpa beban membuat Iqbaal tak percaya. Itukah istrinya?
Hanya merasa bersalah ketika ia marah? Dan beberapa jam setelahnya akan kembali
santai tanpa memikirkan seberapa sakit hatinya Iqbaal? Oh Tuhan! Bisakah bunuh
Iqbaal sekarang?
"Ayah jangan dengerin
Bunda. Pokoknya Ayah gak boleh lakuin! Kalau sampai Ayah lakuin itu... Naina
bakal benci sama Ayah!" Naina menatap Iqbaal penuh harap. Berharap Ayahnya
tidak menuruti kata hatinya. Naina tidak ingin itu terjadi.
Iqbaal menunduk.
"Maaf."
"Ayah jangan dengerin Bunda. Pokoknya Ayah gak boleh
lakuin! Kalau sampai Ayah lakuin itu... Naina bakal benci sama Ayah!"
Naina menatap Iqbaal penuh harap. Berharap Ayahnya tidak menuruti kata hatinya.
Naina tidak ingin itu terjadi.
Iqbaal menunduk. "Maaf."
***
(Namakamu) menundukkan kepalanya. Memakai kaca mata hitam dan
syal merah. Berlari kecil menghindari kerumunan orang-orang yang menamakan diri
mereka sebagai reporter dan wartawan.
"Nyonya (namakamu). Bisa minta waktu Anda sebentar? Kami
hanya perlu penjelasan Anda tentang video yang beredar luas di masyarakat saat
ini. Apa benar bahwa Anda berselingkuh dari suami Anda?"
"Apakah semua itu Anda lakukan demi mempertahankan posisi
Anda sebagai manager terbaik MS Group?"
"Apa yang Anda pikirkan saat Anda berani melakukan hal
itu?"
"Apa Anda tidak sadar bahwa hal ini sangat merusak citra
Anda sebagai istri direktur Dhiafakhri Group dan juga citra pak Aldi sebagai
pemilik dari MS Group dan sekaligus pelaku utama dalam video asusila yang saat
ini beredar?"
(Namakamu) menggeram kesal. Merasakan kedua telinganya panas.
(Namakamu) tidak akan pernah bersuara dan memilih untuk segera masuk ke dalam
lobby kantor dan meninggalkan kerumunan manusia cerewet yang terus bertanya dan
meneriaki namanya.
"Selamat pagi?"
(Namakamu) mengalihkan pandangannya. Mendapati seorang laki-laki
tampan di berdiri di hadapannya dengan senyum manis tanpa ada sedikit pun
beban.
"Pagi, Al." (Namakamu) segera melepas kaca mata dan syal
merah yang mengalung di lehenya. Lalu mengayunkan kedua kakinya secara
beriringan bersama Aldi.
"Pagi ini rasanya spesial. Banyak manusia cerewet di depan
kantor." Ucap Aldi yang di akhiri dengan kekehan kecil.
(Namakamu) menganggukkan kepalanya dan segera masuk ke dalam
lift bersama Aldi. Keduanya terlihat biasa saja. Seperti tidakada beban sama
sekali bahkan seperti tidak merasa bersalah sama sekali.
"Kamu... marah gak soal video itu?" Tanya Aldi.
"Marah? Kenapa harus marah. Kan kita udah biasa kayak gitu.
Udahlah. Itu cuma orang-orang aja yang terlalu lebay lihat video itu. Lagian
kan sebelum kita kayak gini, aku udah nikah sama Iqbaal. Jadi kalau pun aku
hamil, aku gak perlu takut. Karna aku punya suami." Jawab (namakamu).
Aldi tersenyum mendengar penjelasan (namakamu). Entahlah, ia
rasa (namakamu) mulai menaruh perasaan padanya. Itu terbukti dengan tidak
marahnya (namakamu) jika ia menyebar video itu. Bahkan wanita itu juga tidak
pernah menolak jika ia ingin mengabadikam moment yang menurut Aldi 'penting'.
Dan kenyataannya (namakamu) bukan hanya wanita milik Iqbaal. Tapi miliknya
juga.
***
Iqbaal menatap benda yang di pegangnya. Antara yakin dan tidak.
Iqbaal memejamkan matanya, mencoba mencari opini lain untuk tidak melakukan
ini. Tapi suara decitan pintu membuat Iqbaal segera membuka mata dan menyimpan
benda itu di dalam lagi mejanya sebelum seseorang itu melihat.
"Di luar banyak wartawan. Apa lo gak mau nemuin mereka
sebentar? Keberadaan mereka mengganggu kenyaman kerja."
Iqbaal menghela nafas. Menegakkan duduknya dan menatap Kiki yang
kini berdiri di hadapannya. "Usir mereka. Bukan maksud gue gak mau nemuin
mereka dan jelasin semuanya. Tapi karna gue gak tahu apa-apa. Dan gue gak mau
konsetrasi kerja gue terganggu karna mereka... gue harus tunggu (namakamu) buat
bikin conferensi pers. Cuma (namakamu) sama Aldi yang bisa jawab
semuanya." Ucap Iqbaal.
Kiki menganggukkan kepalanya mengerti. Menghela nafas dan
menarik kursi. Sebelum ia pergi. Ia ingin menanyakan keadaan Iqbaal hari ini.
Pasalnya, saat Iqbaal datang. Ia melihat Iqbaal yang begitu lemas. Dugaan
sementara Kiki adalah Iqbaal syok dengan kabar ini.
"Lo gak papa kan?" Tanya Kiki.
Iqbaal hanya menganggukkan kepalanya. Melepaskan nafas berat dan
menunduk. Otaknya yang pintar masih terus di penuhi dengan pemberitaan kemarin
siang tentang (namakamu). Itu membuat Iqbaal merasa pusing dan lelah.
"Tapi kayaknya hari ini lo lemes banget. Kalo gitu nanti
gue aja yang jemput Naina." Ucap Kiki lagi.
Iqbaal hanya menganggukkan kepalanya dan kembali bersandar pada
sandaran kursi besar yang ia duduki saat ini.
"Steffi bilang hari ini dia yang mau jagain Naina."
Hanya sekedar basa basi. Tidak ada obrolan yang lebih penting.
Dan Iqbaal hanya menganggukkan kepalanya untuk membalas ucapan demi ucapan yang
Kiki lontarkan. Iqbaal hanya merasa tidak percaya dengan kenyataan yang ada di
hadapannya. Sama sekali tidak percaya.
***
Naina terduduk di halte yang biasa ia duduki saat menunggu
jemputan yang datang terlambat. Naina duduk di sini sejak sepuluh menit yang
lalu dan melamun. Naina sempat membuka ikatan di rambutnya dan membiarkan
rambut panjangnya menutupi wajahnya yang kini berhias malu.
Naina pikir hal ini tidak akan berdampak pada pergaulannya di
sekolah dan hanya berdampak padanya dan Ayahnya. Tapi sayangnya Naina salah.
Teman-temannya menjauhinya karna pemberitaan miring tentang Ibunya yang
berselingkuh di belakang Ayahnya. Bahkan orang tua teman-temannya secara
terang-terangannya menyindir Ibunya di depannya secara langsung dan mengatakan
bahwa Ibunya adalah wanita jalang yang gila harta.
Itu jelas menyakitkan. Orang-orang memandang ibunya dengan
sebelah mata. Terlebih tuduhan bahwa ibunya adalah wanita gila harta. Naina
sempat mengumpat di dalam hatinya dan mengatakan bahwa ibunya bukan wanita
seperti itu. Tapi , bukti ada di depan mata. Dan Naina sama sekali tak bisa
mengelak untuk membela ibunya yang mulai saat ini akan selalu mendapat cibiran
dari semua orang.
Naina mulai menggerakkan tangannya dan mengusap pipinya yang
mulai basah. Yang Naina fikirkan saat ini adalah Iqbaal. Naina tidak tahu
bagaimana perasaan Ayahnya saat ini. Apa rasa sakit Ayahnya sama dengan rasa
rakit yang ia rasakan saat ini? Naina bahkan tidak bisa membayangkannya.
Saat Naina mulai tertunduk lebih dalam dan isak tangis mulai
terdengar. Sebuah tangan terulur dengan memberikan satu cup kecil ice cream
strawberry saus cokelat. Naina menengadahkan kepalanya. Menatap siapa yang saat
ini duduk di sampingnya dan mengulurkan ice cream padanya.
"Tante Steffi?" Desis Naina.
Steffi. Saat ini duduk di samping Naina. Sebenarnya ia sudah
duduk di samping Naina sejak tiga menit yang lalu. Dan ia lebih memilih
memperhatikan Naina sejenak sebelum menyerahkan ice cream yang baru saja ia
beli.
"Tante udah pernah bilang kan sama kamu kalau kamu gak
boleh nangis? Maaf beberapa hari yang lalu Tante marah sama kamu karna Bunda
kamu? Ini Tante bawain Ice cream. Di makan. Habis itu ikut Tante, ya?"
Naina meraih ice cream dari tangan Steffi lalu kembali menatap
Steffi dengan tatapan bertanya.
"Ikut Tante jalan-jalan. Dan nanti Naina tidur di rumah
Tante, ya? Naina harus tahu kalau Ayah butuh waktu buat sendiri. Biarin Ayah
kamu sendiri dulu. Besok biar Tante yang anterin kamu sekolah." Ucap
Steffi.
"Tapi kasian kalau Ayah sendirian, Tante. Nanti kalau Ayah
kenapa-kenapa gimana?"
Steffi tersenyum tipis mendengar ucapan Naina. Tangan Steffi
bergerak mengusap lembut rambut Naina dan memberikan kecupan manis di kening
gadis kecil itu.
"Biarin Ayah selesain masalahnya sama Bunda. Naina ngerti
kan maksud Tante?"
Naina butuh waktu beberapa detik untuk menganggukkan kepalanya
dan mendapat pelukan dari Steffi. Naina balas memeluk. Ia tidak pernah
merasakan pelukan senyaman ini kecuali pelukan Ayahnya yang super nyaman.
***
Iqbaal kembali membiarkan kamarnya gelap. Iqbaal memang masih
belum tidur dan sibuk melamun. Di tangannya ada sebuah benda yang akan mengubah
hidupnya. Terutama rumah tangganya.
Getaran ponsel membuat lamunan Iqbaal buyar. Iqbaal menatap
layar ponselnya yang saat ini menampilkan nama seseorang. Iqbaal segera
menggeser tombol hijau yang tertera di layar ponselnya.
'Baal? Aku pulang kerumah Aldi. Shafira butuh aku. Dan... aku
gak pulang!'
"Gak perlu ngomong. Bukannya kamu udah sering kayak
gini?"
'Bagus deh kalo kamu tahu. Dan bilang sama Naina-'
"Naina di rumah Steffi!" Potong Iqbaal cepat.
Hening.
Iqbaal tidak mendengar suara (namakamu) setelah memberitahukan
keberadaan Naina. Butuh waktu sekitar lima sampai sepuluh detik untuk
(namakamu) kembali bersuara.
'Aku bakal jemput Naina!' Bentak (namakamu).
"Bu-"
Tuut tuut tuut... Iqbaal menghela nafas. Sambungan telfonnya
terputus begitu saja setelah (namakamu) membentaknya. Iqbaal memejamkan mata.
Menggenggam lebih erat benda yang ada di tangannya. Iqbaal harus melakukan ini
agar semua orang tidak menghina (namakamu) lagi.
***
Naina bertepuk tangan kecil saat Steffi kembali dengan sepiring
spagetti lezat yang siap di santap. Saat ini Naina terduduk di meja makan rumah
Steffi dan menikmati kebersamaan bersama Steffi.
"Di makan, ya? Habisin. Ini spesial buat Naina." Ucap
Steffi yang baru saja memasangkan sapu tangan ke dua paha Naina agar baju Naina
tidak kotor jika ada makanan yang terjatuh.
"Makasih, ya, Tante." Naina segera meraih sendok dan
garpu untuk menikmati spagetti buatan Steffi.
Steffi tersenyum. Senang rasanya bisa melihat Naina makan
selahap ini dan tidak mengingat (namakamu) sama sekali. Menurut Steffi itu
lebih baik. Karna memang harusnya gadis sekecil Naina tidak memikirkan
permasalah yang terjadi di antara kedua orang tuanya.
Suara bel yang berdenting membuat pandangan Steffi beralih
fokus. "Naina tunggu di sini, ya? Tante buka pintu dulu."
"Naina ikut Tante!" Naina segera turun dari kursinya
dan berlari menghampiri Steffi yang sudah sampai di depan pintu.
Steffi segera menarik handle pintu dan membuka pintu tersebut.
Dan senyuman Steffi menghilang saat melihat siapa yang bertamu di rumahnya
malam ini. Steffi segera menatap Naina yang kini bersembunyi di balik
punggungnya dan menggenggam ujung baju Steffi denga kuat bahkan terkesan
menarik.
"Ngapain lo kesini?" Tanya Steffi ketus.
"Gue mau jemput Naina! Dia gak boleh ada di rumah lo!"
Steffi kembali melirik Naina yang semakin mencengkram kuat baju
yang Steffi kenakan saat ini dan kembali menatap wanita yang kini berdiri di
hadapannya dengan angkuh.
"Naina pulang!!" Bentakan itu meluncur dari bibir
(namakamu) saat melihat Naina mengintip dari balik punggung Steffi.
"Enggak. Naina mau di sini sama Tante Steffi." Lirih
Naina.
(Namakamu) berdecak kesal. Melangkah mendekat kearah Steffi dan
mengulurkan tangannya untuk meriah tangan Naina secara kasar sehingga Naina
berada di sampingnya. Perlakuan itu tentu membuat Steffi menggeram kesal.
"Lo itu kenapa selalu kasar sama Naina?! Lo bisa bujuk dia
baik-baik kan?!" Bentak Steffi.
(Namakamu) menggenggam. Tepatnya mencengkram. Tangan Naina
dengan kuat dan membuat Naina mulai meringis. Naina menatap Steffi dengan
tatapan meminta tolong dan mata berkaca.
"Dia anak gue! Gue berhak mau apain dia! Dan lo! Lo cuma
orang asing yang coba ngerusak rumah tangga gue sama Iqbaal!" Bentakan itu
kembali terdengar.
Steffi membulatkan matanya? (Namakamu) menuduhnya sebagai
penghancur rumah tangga (namakamu) dan Iqbaal? Steffi tersenyum miring dan
sinis.
"Lo nuduh gue yang ngancurin rumah tangga lo sama Iqbaal?!
Lo punya kaca gak, sih? Lo ngaca dong yang ngancurin rumah tangga lo sama
Iqbaal itu siapa?! Elo sendiri!!"
(Namakamu) merasa ada yang ingin meledak di dalam rongga
dadanya. Steffi tidak mau di salahkan. Tapi (namakamu) merasa kalau kehadiran
Steffi lah yang membuat hubungannya dengan Iqbaal menjadi hancur seperti ini.
"Semua ini karna lo yang masuk ke dalam kehidupan gue sama
Iqbaal!" Bentak (namakamu).
Steffi tersenyum miring dan bersindekap dada. "Gue? Lo
masih aja gak nyadar kalau lo itu gak lebih dari sampah dan pantes di sebut
jalang!" Ucap Steffi sinis.
"LO!!"
"Fakta kan? Lo itu jalang! Mana ada seorang istri yang
berani melakukan hubungan intim bersama laki-laki lain di saat perempuan itu
masih berstatus sebagai istri! Apa lo gak sadar kalau lo itu udah berzina di
belakang Iqbaal dan ngancurin rumah tangga lo sendiri!!" Bentak Steffi.
Nafas (namakamu) terlihat mulai semakin memburu. Genggaman
tangannya pada tangan Naina dan berhasil membuat gadis kecil itu berteriak
kesakitan. (Namakamu) merasa harga dirinya di injak-injak oleh Steffi secara
kejam.
(Namakamu) merasa hatinya panas dan dirinya yang sangat ingin
meledak dan memukul Steffi karna semua ucapannya. (Namakamu) segera memutar
tubuhnya dan menarik Naina dengan kasar.
"Tante!" Teriak Naina.
Steffi tersadar bahwa Naina di tarik paksa (namakamu) saat ini.
Steffi segera melangkahkan kakinya dan berhasil meraih tangan Naina yang masih
bebas. Menariknya dan menghentikan langkah (namakamu).
"Naina tetap di sini!" Tegas Steffi.
"Naina anak gue! Gue yang berhak atas Naina! Sekarang
lepasin Naina atau lo gue tuntut ke pengadilan!" Bentak (namakamu) lagi.
"Tante lepasin. Biarin Bunda bawa Naina. Di rumah ada Ayah.
Naina gak papa, Tante." Lirih Naina.
"Lo denger kan?!" (Namakamu) segera membuka pintu
mobilnya dan memaksa Naina masuk ke dalam mobil.
Steffi terpaksa melepaskan Naina karna Naina sendiri yang minta.
Steffi memejamkan mata dan menghela nafas. Mencoba meredam emosinya yang sudah
mencai ubun-ubun. Tidak rela sebenarnya membiarkan Naina pulang bersama wanita
iblis itu. Steffi segera meraih ponselnya dan mencari kontak nama Iqbaal.
Mungkin ia akan memberitahu laki-laki itu bahwa Naina di bawa pulang
(namakamu).
***
"Bunda udah bilang jangan berhubungan lagi sama Tante
Steffi! Kenapa kamu gak bisa nurut sama Bunda?!" Bentakan itu menggema
memenuhi seluruh sudut ruangan.
(Namakamu) menekuk lututnya. Mencengkram dagu Naina dan meminta
gadis kecil itu untuk segera menjawab. Tapi yang ada Naina malah semakin
kencang menangis dan mengatakan bahwa ia merasa kesakitan.
"JAWAB! KAMU ITU GAK BISU NAINA!!" Bentakan kasar itu
segera melukai hati Naina yang mendengarnya.
"Naina... sayang... Tante Steffi. Dan Tante Steffi sayang
sama Naina... gak kayak Bunda... jahat!" Ucap Naina lirik.
(Namakamu) merasa kupingnya panas mendengar jawaban Naina.
Cengkraman dagu itu terlepas dan beralih mencengkram tangan Naina seperti
sebelumnya dan meremasnya dengan sangat kuat. Hal itu tentu membuat Naina
berteriak kesakitan.
"Ayaah!!" Naina berharap Iqbaal ada di kamarnya dan
mendengar teriakannya.
Naina memejamkan matanya karna (namakamu) yang seperti sangat
marah dan melampiaskan kemarahannya pada Naina.
"Aku udah bilang jangan pernah kasar sama Naina!"
Bentakan lain menggema bersamaan dengan terhempasnya tangan Naina.
Naina membuka matanya dan melihat Iqbaal berdiri di hadapan
(namakamu). Naina segera bersembunyi di balik punggung Iqbaal. Menatap
pergelangan tangannya yang memerah dan terasa sangat sakit.
"Aku gak suka dia berhubungan sama Steffi!"
"Kenapa?! Kamu aja deket sama Shafira! Kenapa Naina gak boleh
deket sama Steffi?!" Iqbaal balas membentak.
"Steffi itu peng-"
"Kamu sendiri yang ngancurin keluarga kita! Kamu selingkuh
di belakang aku! Sayang sama anak lain tapi benci sama Naina! Dan parahnya kamu
udah berani berhubungan intim sama laki-laki lain yang bukan muhrim kamu!! Apa
itu gak cukup bukti kalau kamu yang udah ngancurin pernikahan kita yang udah
jalan delapan tahun?!"
(Namakamu) bungkam. Mulai menyadari bahwa yang di ucapkan Iqbaal
semuanya benar. Ia memang menyayangi Shafira dan melupakan Naina. Ia lebih
menyayangi Aldi dan mengabiskan waktu bersama Aldi di banding Iqbaal. Semua itu
adalah kenyataannya.
"Aku harap kamu introspeksi diri! Dan lihat kalau semua ini
kesalahan kamu! Bukan orang lain!" Ucap Iqbaal tegas.
"Kita naik Naina." Iqbaal segera menggendong Naina
dengan lengan kanannya. Membawa Naina masuk kedalam kamarnya untuk
beristirahat. Tidak peduli dengan (namakamu) yang saat ini masih terdiam di
tempatnya.
Dan suara stiletto yang melangkah menjauh menuju pintu keluar.
Iqbaal memutar kepalanya dan melihat (namakamu) yang menjauh keluar dari rumah
ini. Iqbaal hanya menggelengkan kepalanya. (Namakamu) pergi lagi dan Iqbaal
tidak perlu bertanya kemana istrinya itu akan pergi. Yang pasti kerumah
laki-laki yang mungkin sudah menggeser posisinya di hati (namakamu).
***
Aldi membenarkan jasnya dan tersenyum tipis. Lalu, menarik kursi
resto dan berhadapan dengan...
"Ada apa Anda meminta saya datang ke sini... Pak
Iqbaal?" Tanya Aldi.
Iqbaal tidak tersenyum sama sekali. Sempat melirik kearah sisi
kanannya. Naina. Gadis kecil itu menatapnya dengan mata berkaca dan memohon
pada Iqbaal.
Iqbaal menghela nafas. Merogoh saku celananya dan menunjukkan
benda yang sejak kemarin membuat hatinya sangat hancur. Lalu meletakkannya di
atas meja di hadapan Aldi.
"Saya ingin melamar Anda... untuk istri saya."
Iqbaal tidak
tersenyum sama sekali. Sempat melirik kearah sisi kanannya. Naina. Gadis kecil
itu menatapnya dengan mata berkaca dan memohon pada Iqbaal.
Iqbaal menghela nafas. Merogoh saku celananya dan menunjukkan benda yang sejak
kemarin membuat hatinya sangat hancur. Lalu meletakkannya di atas meja di
hadapan Aldi.
"Saya ingin melamar Anda... untuk istri saya."
Aldi membulatkan matanya saat mendengar ucapan Iqbaal. Terlebih saat melihat
benda bundar berkilau dan sebuat benda kecil panjang yang kini berada di atas
meja di hadapannya. Aldi sempat melirik kearah Naina yang kini memeluk Iqbaal
dari samping tanpa mendapat balasan dari Iqbaal.
"A-Anda?" Aldi menghentikan kata-katanya. Lalu matanya kembali
menatap apa yang kini ada di hadapannya.
"Anda sudah menghamili istri saya. Dan Anda harus bertanggung jawab. Jika
saja video... Hhh mesum itu tidak tersebar. Mungkin saya tidak akan pernah tahu
jika Anda yang sudah menghamili istri saya san saya pasti akan beranggapan jika
itu adalah anak saya. Tapi... kenyataannya itu adalah bayi Anda. Jadi Anda yang
harus bertanggung jawab." Ucap Iqbaal menjelaskan.
Aldi terdiam. Hamil? (Namakamu) hamil? Dengannya? Aldi masih tidak percaya jika
hubungan itu membuahkan hasil yang luar biasa untuknya. Perlahan namun pasti,
Iqbaal bisa melihat Aldi tersenyum. Dan apakah ada yang tahu bahwa senyuman itu
sangat melukai hati Iqbaal dan Naina?
***
Iqbaal terduduk di pojok kamarnya. Di tempat paling gelap saat malam tiba dan
paling gelap saat ia tidak menyalakan lampu sama sekali. Adakah yang tahu kalau
Iqbaal saat ini... menangis? Tidak salahkan jika seorang laki-laki menangis
karna sakit hati? Semua manusia bebas untuk berekspresi. Jadi tidak ada
salahnya jika Iqbaal menangisi kenyataan yang saat ini ia hadapi. Kenyataan
terburuk yang pernah ia terima.
Tidak ada hal lain yang Iqbaal lakukan selain melamun dan... menangis. Jujur
Iqbaal masih bingung tentang apa kesalahannya pada (namakamu) sampai-sampai
wanita itu membombardir dirinya seperti ini.
Iqbaal mulai menunduk menggenggam rambutnya sendiri dan mulai menjambaknya. Ia
sangat berharap Tuhan mencabut nyawanya sekarang. Ini terlalu sakit untuk di
terima. Atau lebih baik jika Tuhan memberinya sebuah penyakit agar ia bisa tahu
apakah (namakamu) khawatir dan takut kehilangan dirinya atau tidak. Agar ia
tahu apakah (namakamu) memang masih mencintainya atau tidak.
Suara decitan pintu terdengar. Tapi Iqbaal tidak beranjak dari duduknya sama
sekali. Bahkan ia masih menjambak rambutnya dengan kasar saat lampu utama di
kamar ini menyala dengan sangat terang. Lalu di susul suara ketukan sepatu
stiletto yang mendekat. Iqbaal tidak peduli dengan semuanya. Yang ia pedulikan
hanya hatinya yang saat ini terasa hancur dan tidak bisa merasakan apapun.
Tapi sebuah pelukan hangat membuat Iqbaal semakin memejamkan matanya. Ia
mengenali aroma citrus di dekatnya saat ini. Dan ia mengumpat karna tidak
mengunci pintu sebelumnya dan membuat (namakamu) melihat keadaannya.
"Apa salah aku sampai kamu tega giniin aku, (namakamu)?" Tanya Iqbaal
lirih. Tidak berniat membalas pelukan (namakamu). Hanya membiarkan wanita itu memeluknya
semakin erat.
"Maaf. Kamu sama sekali gak punya salah." Jawab (namakamu). Suaranya
mulai terdengar bergetar.
Iqbaal menghela nafas. Memejamkan matanya dan merasakan lagi rasa sakit yang
mulai menjalar sampai ke jantungnya. "Tapi kenapa? Kenapa kamu lakuin ini?
Kenapa kamu ngancurin aku? Kenapa kamu ngancurin rumah tangga kita?" Tanya
Iqbaal lagi.
(Namakamu) memejamkan matanya dengan perlahan. Merasakan dadanya yang tiba-tiba
saja terasa sangat sesak. (Namakamu) mulai merasa menyesal melakukan semuanya.
Tapi, semuanya sudah terjadi. Waktu tidak bisa berputar kembali kebelakang.
Semua kenyataan harus di hadapi dengan perasaan siap atau tidak siap. Dan Tuhan
kembali mengingatkan bahwa penyesalan selalu menghiasi akhir sebuah cerita
dramatis.
"Aku... aku sayang sama Aldi. Aku akui aku cinta sama Aldi dan aku sayang
sama Shafira. Saat aku sama Aldi. Aku lupa semuanya. Dan aku akui kalau aku
terlalu larut saat sama Aldi. Maaf Iqbaal." Ucap (namakamu) lirih.
Iqbaal menarik nafas panjang. Merasakan ada yang meledak di dalam dadanya dan
membuatnya hancur dalam sekejap. Tidak adakah yang lebih sakit dari ini?
***
Naina mengayunkan kedua kaki mungilnya menapaki lantai lantai kantor Iqbaal.
Tadi pagi ia sudah berjanji pada Ayahnya untuk datang dan menunggu Iqbaal
selesai kerja untuk jalan bersama. Naina tidak takut datang ke kantor ini
seorang diri. Ia sudah mengenal semua pegawai di kantor ini dengan baik dan
mereka tidak akan berani berbuat maca-macam padanya.
"Tante Steffi!"
Naina tersenyum manis saat ia berdiri di depan meja kerja Steffi dan melihat
Steffi yang sibuk dengan komputer dan kertas-kertas yang tidak Naina mengerti.
Dan senyuman itu semakin mengembang saat Steffi menatapnya dengan wajah yang
sedikit terkejut.
"Kamu ngapain kesini?" Tanya Steffi dengan intonasi suara yang
lembut.
"Mau ketemu Ayah."
Naina bisa melihat Steffi tersenyum dan mengalihkan pandangan sejenak. Lalu
kembali menatapnya. "Ayah ada di dalam. Kamu masuk aja." Ucap Steffi.
Naina menganggukkan kepalanya dan mengucapkan terima kasih pada Steffi
sebelumnya dan segera melangkahkan kakinya menuju ruangan Iqbaal yang tertutup
rapat. Mendorong pintu kaca yang tertutup gorden cokelat dan segera melangkah
masuk.
Naina menutup pintu perlahan. Melangkah menuju sofa marun untuk meletakkan tas
sekolahnya dan kemudian menghampiri Iqbaal yang saat ini menidurkan kepalanya
di atas meja kerja yang berukuran besar.
Langkah mungilnya terayun dengan sangat pelan saat ia menyadari bahwa Ayahnya
tertidur. Melangkah semakin dekat dan berhenti saat jaraknya sudah sangat
dekat. Naina memperhatikan setiap lekukan wajah Ayahnya yang sangat
menggambarkan sebuah kelelahan. Kantung matanya masih terlihat jelas di balik
kaca mata minus yang selama ini menghiasi kedua matanya.
Naina merasa ada yang berontak di dalam dadanya. Melihat Ayahnya terlelap
seperti ini dengan wajah lelah membuatnya merasa tidak tega. Tangan mungilnya
perlahan terangkat. Menyentuh pipi Iqbaal dan merasakan kulit halus Iqbaal yang
hangat. Tahukah jika mata Naina sudah berkaca-kaca sekarang?
Naina mengalihkan pandangannya menatap apa yang yang berada di tangan Iqbaal
yang tergeletak di atas meja. Lengan yang Iqbaal gunakan sebagai bantal. Naina
melihat frame foto berukuran kecil. Dan foto itu membuat Naina membiarkan bendungannya
jebol dan membiarkan air matanya jatuh secara bergantian. Foto itu. Foto saat
ulanh tahunnya yang ke lima. Tepatnya dua tahun lalu.
Di dalam foto itu semua masih terlihat baik-baik saja. Ayahnya yang tersenyum
dan mencium pipi kirinya. Lalu, Ibunya mencium pipi kanan dan dirinya yang
berada di tengah tersenyum lebar. Naina masih ingat jelas saat foto itu di
ambil. Foto bahagia terakhir yang pernah mereka abadikan. Saat Naina ulang
tahun ke enam. (Namakamu) hanya memberikan ucapan selamat lewat skype karna
(namakamu) berada di luar kota bersama Aldi. Dan tahun kemarin (namakamu)
bahkan sama sekali tidak mengucapkan apapun saat Naina ulang tahun. Jangankan
mengucapkan. Ingat saja mungkin tidak.
"Ayah... Naina minta maaf kalau selama ini nyusahin Ayah. Selama ini buat
Ayah harus sibuk ngurusin semua keperluan Naina. Naina minta maaf sama Ayah
karna Naina selalu aja buat Ayah sedih dengan banding-bandingin Ayah sama
Bunda. Naina minta maaf karna Naina udah buat Ayah kayak gini." Lirih
Naina.
Jemari mungilnya bergerak dengan sangat pelan dan berhenti pada lingkaran hitam
di sekitar mata Iqbaal. Naina merasa semakin bersalah karna sudah membuat
Ayahnya sampai kelelahan seperti ini.
"Sekarang Naina gak akan halangi Ayah buat nentuin pilihan. Naina terima
semua keputusan Ayah. Naina terima soal yang Ayah kemarin. Tapi Naina minta
satu dari Ayah... jangan capek lagi, Yah. Jangan siksa diri Ayah sendiri.
Jangan sakitin diri Ayah sendiri cuma buat Naina sama Bunda. Ayah berhak
bahagia. Ayah berhak dapetin semua kebahagiaan Tuhan. Atas nama Bunda... Naina
minta maaf, Yah." Ucap Naina lirih.
Naina menepis air matanya. Bergerak mendekat dan memberikan satu kecupan tulus
di pipi Iqbaal. Melepas kaca mata minus milik Iqbaal. Lalu mencium kedua mata
Iqbaal yang di hiasi lingkaran hitam. Dan setelah itu tangisnya meledak.
"Naina sayang Ayah. Naina sayang banget sama Ayah. Naina mau selamanya
sama Ayah. Naina gak mau pisah dari Ayah. Ayah itu Ayah terbaik buat Naina dan
gak akan pernah ada yang bisa gantiin Ayah di hati Naina. Ayah satu-satunya
orang tua Naina. Naina sayang banget sama Ayah." Suaranya kini tidak lagi
terdengar lirih. Tapi serak dan bergetar hebat.
Naina merasa sangat sesak dan sangat sulit untuk bernafas. Naina membekap
bibirnya yang hampir saja meneriakan kesakitan yang ia rasakan di dalam relung
hatinya. Ini terlalu sakit untuk bocah berusia tujuh tahun seperti Naina.
Naina segera melangkahkan kakinya meninggalkan meja Iqbaal dan berlari menuju
sofa marun. Meraih bantal sofa dan membenamkan wajahnya di sana. Membenakan
tangis yang tak tertahan. Dan Naina harap Iqbaal tidak bangun sebelum ia
selesai menangis.
***
"Jadi sekarang Fira boleh panggil Tante, Bunda?" Shafira tersenyum
dengan mata yang berbinar mendengar ucapan (namakamu) yang kini duduk di sofa
di dalam ruangan Aldi.
"Iya sayang. Sebentar lagi Tante bakal jadi Bunda kamu. Dan kamu tahu?
Sebentar lagi kamu punya adik." Ucap (namakamu) yang diakhiri dengan
tangan yang mengusap perut datarnya.
Shafira jelas membulatkan matanya. Menatap (namakamu) dengan tatapan yang sulit
untuk di artikan. Lalu matanya menatap perut (namakamu) yang masih datar.
"Tan- Bunda?"
(Namakamu) segera menganggukkan kepalanya dengan senyum manis. "Iya, Bunda
hamil. Dan sebentar lagi Bunda bakal nikah sama Papa Aldi." Jawab
(namakamu).
Shafira bersorak dan segera merentangkan tangannya untuk memeluk (namakamu)
yang di balas dengan kekehan gemas yang keluar dari bibir (namakamu). Shafira
sangat bahagia mendengar kabar ini. Bahkan gadis kecil itu sampai menitikkan
air mata karna terlalu bahagia. Terlebih di rahim calon ibunya ada si jabang
bayi calon adiknya yang tengah tumbuh. Hal itu adalah hadiah plus plus yang ia
terima.
"Kalau Bunda udah nikah sama Papa. Apa Bunda akan tinggal sama Om Iqbaal
dan anak itu?" Tanya Shafira.
"Jelas enggak dong, sayang. Bunda akan tinggal sama kamu. Sama Papa."
Jawab (namakamu) santai.
Shafira kembali memeluk (namakamu) dengan sangat erat. Impiannya menjadikan
(namakamu) sebagai Ibu barunya akan segera terwujud. Shafira benar-benar tidak
bisa menggambarkan dengan kata-kata lagi. Seberapa ia bahagia? Sangat, sangat,
sangat, sangat, sangat bahagia!.
***
Naina mengerjapkan matanya. Kedua matanya menyipit dan ia mulai terduduk.
Memperhatikan di mana ia tertidur. Dan helaan nafas itu terdengar dari bibir
mungil Naina. Kedua mata cokelat gelapnya mengedar. Ia masih berada di ruang
kerja Ayahnya. Tapi ia tidak melihat keberadaan Ayahnya di sini.
"Ayah?"
Naina beranjak dari duduknya. Mencoba mencari keberadaan Iqbaal saat ini. Naina
sempat melirik jam dinding yang berada tak jauh dari sofa marun tempatnya
tertidur dan jam itu baru saja menunjukkan pukul tiga sore.
Clek! Naina yang saat ini sibuk mencari Iqbaal di seluruh sudut ruangan segera
mengalihkan pandangannya kearah pintu. Dan Naina mendapati Kiki masuk dengan
membawa tiga map hijau di tangannya.
"Naina? Sejak kapan kamu di sini?" Pertanyaan itu membuat Naina
segera melangkah mendekat kearah Kiki yang masih berdiri di ambang pintu.
"Paman. Tahu di mana Ayah? Pas Naina bangun Ayah gak ada." Tanya
Naina.
Kiki terdiam sejenak. Lalu tersenyum tipis. Melangkah untuk meletakkan tiga map
berisi berkas itu lebih dulu dan kembali pada Naina yang masih menunggu
jawabannya. Kiki menekuk lututnya, menyentuh pelipis Naina dengan lembut.
"Naina jangan takut. Ayah baik-baik aja." Ucap Kiki seraya tersenyum
tipis.
"Memangnya Ayah di mana?" Tanya Naina lagi.
Kiki kembali tersenyum. "Ayah tadi kelelahan. Dan pingsan di lift. Tapi
Ayah udah gak papa. Nanti sore Ayah jemput Naina di sini." Jawab Kiki
selembut mungkin.
Padahal Kiki berharap dengan senyuman dan suara lembut yang di bumbui harapan
bisa membuat Naina tidak menangis saat mendengar kabar tentang Iqbaal. Tapi
gadis kecil itu tetap saja menangis. Tidak meraung-raung memang. Tapi tangisnya
tertahan.
"Jangan nangis, hei. Tadi Ayah udah bilang sama Paman kalau nanti sore
Ayah jemput Naina di sini. Ayah baik-baik aja, sayang." Ucap Kiki lembut.
Naina menunduk dan mengkatup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia teringat
apa yang ia ucapkan pada Iqbaal. Ia ingat bagaimana wajah lelah Iqbaal tertidur
lelap. Dan bayangan itu sangat melukai hati kecilnya yang rapuh. Iqbaal
segalanya baginya. Iqbaal satu-satunya orang tua yang selalu ada dan
menyayanginya. Jadi wajar jika Naina menangis mendengar Iqbaal sakit bahkan
sampai pingsan seperti apa yang di katakan Kiki.
"Ayah di mana, Paman?" Tanya Naina lirih.
Kiki menghela nafas. Dan saat ia akan menjawab pertanyaan Naina, suara decitan
pintu membuatnya memutar sedikit kepalanya untuk melihat siapa yang masuk ke
dalam ruangan ini.
"Naina? Kamu sudah bangun?"
Naina yang mendengar pertanyaan itu segera menengadahkan wajahnya. Dan ia
melihat Iqbaal berdiri di depan pintu yang sudah tertutup dan tangan kanannya
terlihat menenteng kantong kresek biru berisi banyak sekali snack dan... ice
cream. Itu tidak akan pernah tertinggal.
"Ayah." Desis Naina.
Naina segera melangkahkan kakinya menghampiri Iqbaal dan menyentuh telapak
tangan Iqbaal. Merasakan suhu tubuh Iqbaal yang normal dan menengadahkan wajahnya
untuk menatap wajah Iqbaal yang jauh lebih tinggi darinya.
"Ayah gak papa?" Tanya Naina.
Iqbaal menautkan alisnya. Lalu menekuk kedua lututnya agar tingginya sejajar
dengan Naina. Iqbaal hanya tersenyum tipis saat melihat Kiki mengkode untuk ia
pergi. Dan setelah mendapat anggukan kepala dari Iqbaal. Kiki segera
melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan ini. Meninggalkan Iqbaal menghabiskan
waktu bersama malaikat kecilnya.
"Ayah baik-baik aja. Lebih baik sekarang kita duduk. Nih, Ayah udah beliin
snack sama ice cream." Ucap Iqbaal seraya menunjukkan kantong kresek yang
berada di tangannya.
Naina masih belum tersenyum. Gadis kecil itu malah memperhatikan siluet wajah
Iqbaal yang terlihat sangat lelah. Jemari mungilnya kembali bergerak dan
menyentuh kedua pipi Iqbaal dengan lembut. Lalu berhenti pada kantung mata
berwarna gelap atau yang orang-orang sebut lingkaran mata panda. Dan dua
jempolnya bergerak samar di daerah itu. Seperti berusaha menghapus warna gelap
yang menetap di sana san membuat wajah Iqbaal terlihat jauh lebih tua.
"Ayah harus tahu. Naina sayang banget sama Ayah. Naina mau selamanya hidup
Naina sama Ayah. Sampai kapanpun sama Ayah. Bareng sama Ayah. Karna Ayah adalah
Ayah terbaik yang pernah Tuhan takdirin buat jadi Ayah Naina." Ucap Naina
lirih.
Iqbaal tersenyum haru mendengarnya. Putri kecilnya bisa berbicara seperti itu
padanya. Untuknya. "Ayah jauh lebih sayang Naina. Ayah juga berharap yang
sama. Ayah harap kita bisa selamanya bersama. Sampai suatu saat Naina sudah
besar dan tahu arti keluarga. Betapa berharganya sebuah keluarga. Dan tahu
betapa susahnya menjaga keharmonisan keluarga. Ayah harap Ayah bisa dampingin
Naina sampai saat itu tiba. Tapi tetap. Tuhan yang menentukan semuanya. Sampai
kapan Ayah bisa nemenin Naina. Ayah cuma bisa merencanakan. Dan Tuhan yang
memutuskan."
Naina tersenyum mendengarnya. Melangkah lebih dekat dan memeluk Iqbaal dengan
dua lengan mungilnya. Naina benar-benar tidak tega melihat Ayahnya kesakitan
seperti ini karna ulah Ibunya. Menurut Naina, (namakamu) sudah sangat
keterlaluan dan sikapnya yang tidak wajar itu membuat kebencian perlahan tumbuh
di dalam hati Naina untuk (namakamu). Ibunya.
"I love you, Dad." Bisik Naina.
"Love you too, My Angel." Iqbaal balas berbisik.
Naina membenamkan wajahnya di leher Iqbaal. Menikmati pelukan hangat Ayahnya
yang begitu tulus dan nyaman. Perasaan tidak tega itu kembali mencuat saat
bayangan mengerikan tentang kelakuan Ibunya kembali berputar bak roll film yang
sadis. Apa semuanya harus berakhir seperti ini? Tuhan. Ini terlalu mengerikan!
***
Hari sudah berlalu. Dan hari itu kian dekat. Iqbaal berkali-kali mengumpat
waktu yang berjalan terlalu cepat. Besok! Hari mengerikan dalam hidupnya akan
terjadi. Berkali-kali pula Iqbaal tidak ingin mempercayai yang namanya takdir.
Saat ini Iqbaal duduk berhadapan dengan Steffi. Gadis itu duduk di hadapan
Iqbaal di sebuah resto yang sering mereka kunjungi. Entah itu berdua, bertiga
dengan Kiki atau Naina, dan kadang ber-empat bersama Kiki dan Naina. Tapi kali
ini mereka hanya berdua. Naina masih berada di jam sekolah.
"Steffi? Aku harap besok kamu datang dan temani Naina. Aku gak tahu apa
aku bisa lihat semua itu." Lirih Iqbaal.
Steffi menganggukkan kepalanya dan menghela nafas. Sebenarnya ada yang ingin ia
tanyakan pada Iqbaal. Dan ia sudah sejak kemarin ingin bertanya. Tapi waktunya
selalu tidak tepat.
"Ee, Baal? Bukannya seorang perempuan itu tidak boleh memiliki suami lebih
dari satu? Kecuali yang satu bercerai."
Iqbaal tersenyum mendengarnya. Ia tentu sudah memikirkan ini sebelum ia
mengambil keputusan terberat ini. Iqbaal menatap Steffi lebih intens dan sebuah
senyuman menghiasi wajah tampannya saat ini.
"(Namakamu) hanya akan memiliki satu suami." Jawab Iqbaal. Dan
jawaban ini tentu saja membuat Steffi menautkan alisnya.
"Maksudnya?"
"Lihat besok. Besok akan ada jawabannya. Yang pasti, suami (namakamu)
hanya satu." Iqbaal mengakhiri ucapannya dengan sebuah senyuman manis.
Steffi hanya memasang ekspresi bingung dan segera meraih minuman pesanannya.
Sejujurnya ia merasakan ada sesuatu yang berbeda. Seperti ada yang di
sembunyikan Iqbaal. Steffi mencicipi sedikit minumannya dan kembali tersenyum.
Matanya terus memperhatikan siluet wajah Iqbaal dan mencoba untuk mencari apa
yang sebenarnya di sembunyikan Iqbaal dari semua orang.
"Lihat besok. Besok
akan ada jawabannya. Yang pasti, suami (namakamu) hanya satu." Iqbaal
mengakhiri ucapannya dengan sebuah senyuman manis.
Steffi hanya memasang
ekspresi bingung dan segera meraih minuman pesanannya. Sejujurnya ia merasakan
ada sesuatu yang berbeda. Seperti ada yang di sembunyikan Iqbaal. Steffi
mencicipi sedikit minumannya dan kembali tersenyum. Matanya terus memperhatikan
siluet wajah Iqbaal dan mencoba untuk mencari apa yang sebenarnya di
sembunyikan Iqbaal dari semua orang.
***
Naina berdiri di depan
cermin lemari. Menatap tubuh mungilnya yang berbalut gaun putih ala putri raja.
Rambutnya yang semula lurus kini terlihat bergelombang di bagian bawah dan
sebuah bandana putih dengan pita putih menghiasi kepalanya.
Gadis kecil itu terlihat
sangat cantik dengan wajahnya yang 'kalem' dan senyumnya yang manis. Tapi hari
ini, Naina tidak akan pernah tersenyum manis. Naina menepis air matanya yang
mulai berjatuhan. Otak kecilnya mulai membayangkan bagaimana kondisi hati
Ayahnya saat ini. Yang Naina tahu hanya satu. Hancur. Mungkin tidak ada lagi
kata-kata yang bisa menggambarkan bagaimana kondisi hati Ayahnya saat ini.
"Kita turun sekarang,
sayang. Om Aldi sama Shafira udah datang. Dan bentar lagi Bunda kamu
turun."
Naina merasa dadanya sesak
saat mendengar suara Steffi yang terdengar lembut. Ia tidak mau melihat
semuanya. Ia tidak mau melihat Ibunya bersanding dengan laki-laki lain selain
Ayahnya. Naina memejamkan mata dan menundukkan kepalanya. Rasanya terlalu sakit
membayangkan perasaan Ayahnya.
"Tante? Boleh gak
Naina ketemu Ayah sekarang? Sebelum Bunda nikah sama Om Aldi?" Tanya
Naina.
Steffi terdiam saat
mendengar suara serak Naina dan mata berkaca gadis kecil itu. Steffi melangkah
mendekat. Menekuk lututnya dan menepis air mata Naina yang membuat wajah cantik
dan manis Naina sedikit tertutup dengan kesedihan.
"Boleh. Tapi Naina
harus janji... Naina gak boleh nangis kayak gini di depan Ayah. Naina harus
bisa keliatan bahagia di depan Ayah. Lakuin itu demi Ayah. Naina pasti tahu kan
gimana perasaan Ayah sekarang?"
Naina menganggukkan
kepalanya. Lalu meraih tissue dan menghapus bulir-bulir air matanya. Saat
melihat Steffi tersenyum. Naina segera meraih tangan Steffi dan meminta Steffi
membawanya bertemu dengan Iqbaal.
***
Iqbaal menunduk. Berkali-kali
memukul dadanya yang terasa sesak dan sakit. Iqbaal berkali-kali mengutuk
dirinya karna sudah membiarkan hari ini terjadi. Menyesal? Sudah pasti. Iqbaal
merasa bodoh karna sudah membiarkan (namakamu) bahagia di atas semua air mata
kesakitannya.
Iqbal membuka mata saat
mendengar suara pintu terbuka. Iqbaal mengusap wajahnya kasar dan menarik nafas
panjang. Lalu, memutar tubuhnya untuk melihat siapa yang datang. Dan senyumnya
mulai tertarik saat melihat malaikatnya melangkah mendekat dengan senyuman manis
yang terpancar jelas.
"Ayah gak papa?"
Naina yang baru saja berdiri di hadapan Iqbaal segera bertanya seraya menyentuh
telapak tangan Iqbaal untuk memastikan bahwa Ayahnya baik-baik saja.
Iqbaal jelas tersenyum dan
memberikan sentuhan lembut di pelipis Naina. "Ayah baik-baik saja."
Jawab Iqbaal.
Naina tersenyum. Lalu,
berusaha untuk naik dan duduk di pangkuan Iqbaal. Memeluk tubuh kurus Iqbaal
dengan kedua tangan mungilnya yang lembut dan menyandarkan kepalanya pada dada
bidang Iqbaal. Berusaha mendengarkan teriakan kesakitan dari dalam hati Iqbaal.
"Nai, Ayah boleh minta
sesuatu?"
Naina hanya menganggukkan
kepalanya. Membuka telinga lebar-lebar untuk mendengarkan apa permintaan
Ayahnya.
"Setelah Bunda
menikah... Naina mau gak? Tinggal sama Paman Kiki?" Tanya Iqbaal dengan
hati-hati.
Naina menautkan alisnya.
Sedikit melirik keatas untuk melihat raut wajah Iqbaal. Dan hasilnya. Naina
melihat kedua mata Iqbaal berkaca-kaca dan terlihat susah payah untuk menahan
tangisnya.
"Emangnya Ayah kemana?
Naina gak mau ikut siapapun. Naina mau ikut Ayah." Lirih Naina.
Iqbaal memejamkan mata.
Memeluk Naina semakin erat dan air mata itu jatuh secara perlahan. Iqbaal
merasakan dadanya sangat sesak. Bisakah semua ini berakhir sekarang Tuhan?
"Naina gak bisa ikut
Ayah. Naina gak boleh ikut Ayah. Tapi Ayah gak mau Naina tinggal sama Bunda.
Karna Ayah tahu Naina gak akan bahagia sama Bunda. Dan satu-satunya orang yang
bisa bahagiain Naina kayak Ayah bahagiain Naina itu cuma Paman Kiki." Ucap
Iqbaal. De
Dengan susah payah Iqbaal
menahan suaranya agar tidak terdengar bergetar. Mengucapkan semua itu membuat
hatinya merasakan sakit yang luar biasa. Dan Iqbaal bisa merasakan kedua tangan
Naina mulai mencengkram jas hitam yang ia kenakan.
"Naina gak mau jauh
dari Ayah. Naina mau sama Ayah aja." Lirih Naina.
Iqbaal kembali tersenyum
tipis. Memberikan kecupan lembut pada puncak kepala Naina. Memeluk Naina jauh
lebih erat dari pada sebelumnya. Ini hari yang sangat menyakitkan baginya. Hari
yang mematikan. Hari yang paling menghancurkannya.
***
Naina duduk bersama Steffi
di kursi barisan ke tiga. Sedangkan Iqbaal di barisan pertama. Saat ini semua
tamu undangan sudah hadir dan duduk pada kursi berhias kain putih dan bunga
yang berjejer rapi menghadap ke depan. Mereka semua siap menyaksikan janji suci
yang akan segera di ucapkan dua insan manusia yang saling mencintai. Mungkin.
Naina duduk di antara Kiki
dan Steffi, berkali-kali menepis air matanya saat melihat Shafira yang berdiri
di samping Aldi dan tersenyum sangat manis. Gadis kecil itu... merebut Ibunya.
Semua tamu undangan berdiri
saat (namakamu) mulai keluar dari balik pintu dan melangkah dengan sangat
anggun di atas karpet merah. Gaun panjang berwarna putih yang menjuntai dan
menyapu lantai membuat penampilannya terlihat sangat cantik dan anggun.
Iqbaal memejamkan mata dan
menundukkan kepalanya. Delapan tahun lalu, (namakamu) berjalan anggun seperti
ini untuk menghampirinya dan bersama-sama berjanji pada hati dan Tuhan untuk
hidup bersama. Tapi kali ini, (namakamu) kembali melangkah seperti delapan
tahun lalu untuk kedua kalinya dan untuk laki-laki lain.
Suara tepuk tangan membuat
Iqbaal membuka matanya dan menengadah. Melihat Aldi yang mengulurkan tangannya
untuk menyambut (namakamu). Dan tangan mungil Shafira pun menyambut (namakamu) dengan
kebahagiaan yang terpancar sangat jelas di mata ketiganya.
Naina memilih memeluk Kiki
yang masih duduk di kursinya. Tidak mau melihat adegan yang begitu menyakitkan
hatinya. Terlebih melihat Ayahnya yang sudah pasti terluka sangat dalam. Dan
luka itu semakin dalam saat (namakamu) sama sekali tak merasa bersalah atas
perbuatannya.
BRUUK! Suara itu terdengar
sangat jelas di susul dengan suara gaduh dan terkejut yang memekakan telinga.
"Iqbaal!" Kiki
setengah berteriak dan segera melepaskan pelukan Naina yang langsung di ambil
alih Steffi.
(Namakamu) yang baru saja
akan memulai pernikahannya dengan Aldi merasa sangat terkejut saat Iqbaal
tiba-tiba saja jatuh tak sadarkan diri di atas rerumputan yang menjadi lantai
pernikahan (namakamu) dan Aldi.
"Ayah kenapa
Tante?" Naina berteriak. Mencoba melepaskan pelukan Steffi dari tubuh
mungilnya dan mencoba berlari untuk melihat apa yang terjadi pada Iqbaal.
"Iqbaal." Desisan
itu keluar dari bibir (namakamu) yang di hiasi lipstick pink yang manis.
Entahlah, matanya saat ini berkaca dengan sendirinya. Bunga yang semula ia
genggam sudah terlepas entah kemana.
(Namakamu) menjinjing
gaunnya dan coba untuk mendekat kearah kerumunan orang yang saat ini
memgerumuni Iqbaal. Rasa khawatir itu muncul secara tiba-tiba. Dan kini ia bisa
melihat Kiki yang berusaha menekan-nekan dada Iqbaal bekali-kali untuk
pertolongan pertama.
Dan suara
"Bruuk!!" Itu kembali terdengar saat (namakamu) menjatuhkan tubuhnya
tepat di samping Iqbaal. Ia bisa melihat wajah Iqbaal yang berubah pucat dan
wajah panik Kiki yanh terus berusaha menekan dada Iqbaal sampai ambulance
datang.
Samar-samar (namakamu)
mendengar Naina yang terus berteriak memanggil Ayahnya. Teriakan dan tangisan
itu sukses membuat hati (namakamu) terluka untuk pertama kalinya. Tangannya
meraih telapak tangan Iqbaal. Menggenggamnya dengan erat dan merasakan nafasnya
yang mulai tercekat.
"Baal-"
"Ambulance datang! Ayo
cepat!" Seseorang berteriak.
Kiki langsung menghentikan
pertolongannya. Membantu beberapa petugas medis mengangkat tubuh Iqbaal dan
segera melarikannnya ke rumah sakit. Kiki sempat menatap sinis (namakamu) yang
masih terduduk dan dengan cukup kasar menepis tangan (namakamu) yang
menggenggam tangan Iqbaal.
"Naina." Kiki
segera menggendong Naina yang menangis melihat Ayahnya di bawa pergi petugas
berseragam putih.
Di ikuti Steffi yang
berlari kecil di belakang Kiki. Sedangkan (namakamu) masih terdiam. Seolah
mencerna apa yang baru saja terjadi pada... suaminya. Biar bagaimanapun juga
(namakamu) masih mencintai Iqbaal. Dan masih menganggap Iqbaal sebagai suaminya
yang sah.
***
Steffi berkali-kali
mengusap puncak kepala Naina. Berusaha menghentikan tangisan gadis kecil itu.
Steffi tahu kalau Naina sangat mengkhawatirkan Iqbaal saat ini. Iqbaal sangat
berharga bagi Naina.
Steffi mengalihkan
pandangannya saat pintu ICU terbuka dan Kiki baru saja keluar. Wajahnya
menunjukkan Sesuatu yang tidak baik. Steffi mencoba berfikit positive dan
beranggapan bahwa Iqbaal pasti baik-baik saja.
"Nai..." Kiki
menghentikan ucapannya saat sampai di hadapan Steffi dan menekuk lututnya agar
sejajar dengan Steffi yang saat ini duduk di kursi ruang tunggu. Jemari
tangannya menyentuh rambut Naina penuh kelembutan.
"Ayah mau ketemu sama
kamu. Ada yang mau Ayah omongin sama Naina." Lanjutnya.
Naina segera merenggangkan
pelukannya. Menepis air matanya dan segera turun dari pangkuan Steffi. Lalu,
menatap Kiki yang menatapnya dengan senyum tipis dan terkesan di buat-buat.
"Naina boleh
masuk?" Tanya Naina dengan suaranya yang terdengar sangat parau dan serak.
Kiki menganggukkan
kepalanya. Sebelum Naina masuk. Kiki sempat meraih ikat rambut yang sebelumnya
ia minta dari Steffi lalu mengikat rambut panjang Naina. Dan diakhiri dengan
mengusap kedua pipi Naina yang lembab.
"Jangan nangis ya,
sayang?" Ucap Kiki. Sangat kentara kalau saat ini Kiki menahan suaranya
yang tercekat agar terdengar baik-baik saja.
Naina hanya menganggukkan
kepalanya tanpa berjanji. Kiki segera membukakan pintu ICU di mana Iqbaal saat
ini terbaring. Lalu menutupnya kembali setelah Naina masuk.
"Ada apa? Semua
baik-baik saja kan?" Steffi mulai tidak tahan untuk tidak mengetahui
kebenarannya. Dan setelah Steffi bertanya. Kiki memilih duduk dan menunduk.
"Komplikasi ginjal.
Dan semua itu karna Iqbaal terlalu sering kelelahan, konsumsi makan tidak
sehat, dan kurang minum air putih. Yah, semua ini pantas Iqbaal dapat.
Laki-laki itu sudah terlalu banyak menanggung beban.
***
Naina melangkahkan kakinya
dengan hati-hati. Takut sepatunya menimbulkan suara dan akan mengusik tidur
Iqbaal. Tapi, akhirnya Naina melihat mata Iqbaal terbuka. Dan kepalanya
bergerak sangat pelan.
"Sayang?" Desisan
itu membuat langkah Naina terhenti. Gadis kecil itu merasakan kedua kakinya
berat dan nafasnya tercekat. Hal itu terus mendorong air matanya untuk turun
jauh lebih deras dari pada sebelumnya.
Mask oksigen itu, infus
itu, selang dan kabel yang tidak Naina tahu fungsinya itu berhasil membuat
batin kecilnya terkoyak. Dengan susah payah Naina melangkah mendekat. Berdiri
di sisi kanan ranjang Iqbaal dan menyentuh tangan Iqbaal yang di infus.
"Ayah." Lirih
Naina.
Iqbaal yang mendengar itu
tahu kalau putri kecilnya takut melihatnya seperti ini. Tangan kirinya bergerak
melepaskan mask oksigen yang menutupi hidung dan mulutnya. Dengan susah payah
Iqbaal menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum.
"Naina... sini naik,
sayang." Lirih Iqbaal.
Naina segera menarik kursi
yang terletak tak jauh dari ranjang Iqbaal dan menggunakannya sebagai pijakan.
Lalu, naik ke sisi ranjang yang masih kosong. Berbaring dengan posisi miring
dengan lengan kanan Iqbaal sebagai bantal dan tangan kanannya memeluk tubuh
Iqbaal. Itu semua permintaan Iqbaal.
"Naina sayang gak sama
Ayah?" Tanya Iqbaal.
Naina segera menganggukan
kepalanya dan mengeratkan pelukannya.
"Naina sayang Paman
Kiki?" Tanya Iqbaal lagi.
Dan lagi-lagi Naina
mengangguk. Tidak mengucapkan apapun karna saat ini Naina sibuk dengan rasa
sakitnya.
"Naina sayang Tante
Steffi?" Iqbaal kembali bertanya.
"Iya, Yah. Naina
sayang Ayah, Paman Kiki, Tante Steffi. Naina sayang kalian bertiga." Lirih
Naina.
"Naina gak sayang
Bunda?" Untuk kesekian kalinya Iqbaal bertanya.
Naina terdiam beberapa
saat. Lalu, dengan ragu menggelengkan kepalanya. Dan pelukan tangan mungilnya
semakin mengerat. Iqbaal bisa merasakannya.
"Naina gak sayang
Bunda. Naina benci Bunda. Bunda jahat, Bunda udah buat Ayah kayak gini. Bunda
itu gak punya hati!" Ucap Naina. Sedikit berteriak. Mungkin untuk
mengungkapkan bahwa ia membenci Ibunya yang jahat.
Iqbaal memejamkan matanya.
Ada yang membuatnya merasakan sakit. Iqbaal menarik nafas panjang dan membuka
matanya lagi. Memberikan kecupan pada puncak kepala Naina dan membalas pelukan
putri kecilnya. Malaikat kecilnya. Berharap waktu ini tidak akan cepat
berakhir.
"Naina, Ayah sayang
sama Naina. Sayang banget. Naina harus tahu kalau Ayah sebenernya pengen bareng
Naina terus sampai Naina dewasa nanti. Ayah mau lihat Naina lulus sekolah,
lulus kuliah dan jadi orang yang berhasil. Ayah pengen dampingi Naina sampai
Naina jadi orang yang berguna, dewasa, punya keluarga, bahkan sampai Naina tua
nanti. Ayah pengen selalu ada di samping Naina. Tapi..." Iqbaal
menghentikan ucapannya. Menarik nafas panjang untuk mengisi paru-parunya yang
hampir kehabisa oksigen karna sesak yang mendera.
"Tapi... waktu Ayah
gak panjang-"
"Ayah!" Naina
memotong ucapan Iqbaal dengan cepat. Naina tahu apa maksud Iqbaal. Dan pelukan
itu terasa begitu erat.
Iqbaal memejamkan matanya
kuat. Sebisa mungkin ia menahan rasa sakitnya dan bersikap biasa saja di depan
Naina.
"Ayah gak boleh
ngomong gitu. Ayah pasti ada di samping Naina sampai Naina dewasa nanti, Yah.
Ayah jangan buat Naina takut." Ucap Naina. Dan kini Naina secara
terang-terangan menangis di dalam dekapan Iqbaal.
Iqbaal memberikan kecupan
pada kening Naina, menciumnya dengan lembut dan cukup lama. Merasakan lembutnya
kulit halus putri kecilnya yang mungkin sebentar lagi tidak akan pernah ia
rasakan lagi. Miris memang. Tapi ini takdir.
"Naina harus ingat.
Ayah... Iqbaal Dhiafakhri sangat menyayangi Naina Dhiafakhri. Putri kecil Ayah,
malaikat kecil Ayah, hidup Ayah." Bisik Iqbaal.
Naina menangis semakin
kencang. Dari bisikan itu Naina tahu bahwa Iqbaal menahan sakit. Naina merasa
tidak ada lagi kata-kata yang bisa menggambarkan kondisi hatinya. Sakit? Lebih.
Takut? Lebih. Hancur? Lebih dari itu.
"Naina harus janji sama
Ayah. Saat Ayah pergi Naina harus bahagia. Naina gak boleh nangis atau sedih
karna harus pisah dari Ayah. Naina harus jadi anak baik, Naina harus sukses
suatu hari nanti, Naina harus nurut sama Paman Kiki sama Tante Steffi... dan
Naina harus maafin Bunda. Jangan benci Bunda lagi. Biar bagaimana pun juga
Bunda itu Bunda kamu. Orang yang paling Ayah sayang setelah kamu."
Naina kembali terisak.
Meremas baju rumah sakit yang Iqbaal kenakan saat ini. Naina berharap semua
yang di ucapkan Iqbaal itu bohong. Sema ucapan Iqbaal hanyalah lelucon yang
sudah pasti tidak lucu. Adakah yang tahu seberapa rasa takut Naina kehilangan
Iqbaal sekarang?
"Ayah jangan tinggalin
Naina. Ayah... Naina sayang Ayah, Naina gak mau Ayah pergi. Kalau Ayah pergi
Naina juga harus pergi. Gak ada yang sayang sama Naina kecuali Ayah. Naina
mohon jangan tinggalin Naina sendirian, Yah... Naina minta maaf karna selama
ini Naina nyusahin Ayah sampai Ayah sakit kayak gini. Sekali lagi Naina mohon,
Ayah."
Naina membenamkan wajahnya
di dalam dada bidang Iqbaal. Membenamkan tangisnya yang terdengar sangat
menyakitkan. Bahkan Iqbaal tidak bisa lagi menahan air matanya melihat Naina
menangis dan memohon seperti ini. Mungkin rasa sakit Naina tidak sesakit apa
yang Iqbaal rasakan. Tapi bagi gadis kecil seusia Naina ini sudah terlalu
menyakitkan.
Iqbaal memejamkan matanya
mencium kening Naina lamat-lamat dan menikmati setiap detik hidupnya yang
mungkin akan berakhir sebentar lagi
Menikmati semua akhir dari perjalannya di dalam dekapan Naina. Putri kecilnya
yang cantik.
Sejujurnya, Iqbaal sangat
berharap (namakamu) ada di sini. Mengucapkan kata cinta untuknya sebelum
semuanya berakhir. Memberikan pelukan terhangat dan paling tulus untuknya.
Hanya untuk kali ini. Tapi, Iqbaal sadar bahwa sudah tidak ada lagi namanya di
hati (namakamu). (Namakamu) sudah menghapusnya. Menghapusnya tanpa perceraian.
Dan berakhir dengan Tuhan yang menyelesaikan semuanya.
"I love you, Naina
Dhiafakhri... Princess kesayangan Ayah. I love you." Bisik Iqbaal.
Naina semakin terisak dan
semakin meremas kuat baju rumah sakit Iqbaal. Dadanya benar-benar sesak.
Nafasnya tercekat kuat.
"Ayah... i love you
too, Dad. I love you." Hanya itu yang mampu Naina ucapkan untuk membalas
ungkapan cinta dari Ayahnya. Hanya itu kata yang mampu keluar dari bibir
mungilnya yang kini bergetar hebat.
Batinnya benar-benar
terkoyak. Sakit. Hancur. Bahkan mungkin hatinya sudah seperti butiran debu yang
beterbangan saat tertiup angin kencang. Naina mulai merasa ada yang aneh.
Pelukan Iqbaal merenggang dan bahkan lengannya terkesan lemas seperti sengaja
bertengger memeluknya.
"Ayah?" Naina
mencoba memanggil Iqbaal.
Tak ada respon.
Naina mulai merasa takut.
Air matanya masih setia mengalir saat ia menengadahkan wajahnya untuk melihat
wajah Iqbaal.
Terpejam dan pucat.
Naina menelan ludah
pahitnya. Merasakan jantungnya yang lepas dan menggelinding menjauh dari
tempatnya. Naina bangkit, mengubah posisi Iqbaal yang semula miring menjadi
berbaring. Percayakah bahwa suara Naina sudah tidak bisa keluar lagi sekarang?
"Ayah!" Naina
mulai mengguncangkan bahu Iqbaal. Dan tidak ada respon apapun.
Naina menepuk kedua pipi
Iqbaal. "Ayah bangun! Ayah jangan becanda!" Naina mulai membentak.
Tidak terdengar seperti bentakan karna suaranya yang serak.
"Ayah jangan tinggalin
Naina! Ayah!"
Tangisan itu kembali
meledak dan Naina menjatuhkan tubuhnya di atas dada bidang Iqbaal. Memeluk
tubuh Iqbaal yang kini hanya terkulai lemah tanpa 'nyawa'. Naina menangis,
berteriak, menyerukan kata 'Ayah' berulang kali. Dan Naina benar-benar berharap
bahwa ini hanyalah mimpi. Ayahnya tidak benar-benar pergi meninggalkannya.
Ayahnya hanya tidur untuk sementara. Yah, Naina harap seperti itu.
***
(Namakamu) menepis air
matanya. Saat ini. Hari ini. Ia berdiri di depan sebuah pusara yang masih basah
dan di penuhi bunga. (Namakamu) mengaku bahwa dadanya sesak. Pernikahan itu
tidak batal. Hanya di t-u-n-d-a.
"Iqbaal."
(Namakamu) memejamkan
matanya. Merasakan kembali air matanya yang tak terbendung. Ia merasa semangat
hidupnya sudah hilang 'satu'. Ia kehilangan satu semangat hidupnya. (Namakamu)
mengaku bahwa ini semua salahnya. Semua ini berawal karnanya. Karnanya yang
mengenal Aldi dan selalu menghabiskan waktu bersama Aldi bahkan melakukan
hubungan lebih bersama laki-laki itu dalam waktu yang lama.
"Maafin aku, Baal. Aku
mohon maafin aku... aku salah. Aku minta maaf."
(Namakamu) mulai
memukul-mukul dadanya sendiri. Semuanya menghilang. Iqbaal. Naina. Semuanya
pergi. Iqbaal sudah meninggalkannya karna Tuhan menceraikannya dengan Iqbaal.
Naina? Naina tidak mau lagi tinggal bersamanya. Gadis kecil itu kini tinggal
bersama Kiki sesuai permintaan Iqbaal.
"Ya Tuhan.
Iqbaal." (Namakamu) membekap bibirnya.
(Namakamu) sadar bahwa ia
masih sangat mencintai Iqbaal. Masih sangat membutuhkan laki-laki itu untuk
terus ada di sampingnya. Tapi, Tuhan sudah berkehendak. Dan mungkin Tuhan lelah
melihat Malaikatnya terus di hancurkan oleh Iblis yang tak mempunyai hati
seperti (namakamu). Tuhan lelah melihat Malaikatnya terus berusaha
membahagiakan Iblis seperti (namakamu). Dan Tuhan ingin Malaikatnya
beristirahat. Bagi-Nya. Semua ini sudah cukup menyakitkan dan berat bagi
malaikatnya. Mau sekuat apapun Malaikat itu berjuang mengubah Iblis menjadi
Malaikat. Semua itu hanya akan sia-sia. Karna kenyataannya Malaikat dan Iblis
di ciptakan jauh berbeda.
Dan penyesalan selalu
menjadi penutup sebuah cerita rumit yang hanya bisa di pecahkan oleh kematian!
TAMAT~
Karya : liantinita